Membaca Alquran adalah salah satu ibadah yang memiliki keutamaan besar, ganjaran pahala yang didapatkan oleh pembacanya dihitung perhuruf dengan sepuluh kebaikan, hal ini selaras dengan hadis Nabi yang berbunyi:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa yang membaca satu huruf dari Alquran, maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).
Di kalangan para penghafal Alquran, ada istilah bil ghaib dan bin nadzar. Bil ghaib yakni membaca Alquran dengan hafalan tanpa melihat mushaf, sedangkan bin nadzar membaca Alquran dengan melihat mushaf. Dari hal ini muncul pertanyaan, mana yang lebih utama antara dua cara membaca Alquran tersebut?
Baca Juga: Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya
Pertanyaan ini sudah dijawab oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitabnya, al-Itqan fi Ulumil Qur’an di bab adab membaca Alquran. Pada penjelasannya, as-Suyuti mengutip pendapat Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa melihat mushaf adalah bentuk ibadah juga, maka membaca Alquran bin nadzar menjadi lebih utama, demikian pula pendapat para salaf dan an-Nawawi tidak menemukan adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.
Lebih lanjut an-Nawawi menyatakan bahwa persoalan tentang yang lebih utama antara dua hal tersebut sebenarnya bersifat relatif dan berbeda untuk tiap orang. Jika seseorang dapat khusyuk mentadabburi ayat saat membaca dengan melihat mushaf, maka lebih utama membaca Alquran bin nadzar. Sebaliknya, jika seseorang merasa lebih khusyuk dengan tanpa melihat mushaf, maka bil ghaib lebih utama, ini adalah pendapat yang hasan (bagus).
Selanjutnya Imam as-Suyuti turut memvalidasi keutamaan membaca Alquran bin nadzar dengan menyadur hadis yang diriwayatkan at-Thabrani dan Baihaqi dari hadis Aus ats-Tsaqafi secara marfu’ yang berbunyi:
قِرَاءَةُ الرَّجُلِ فِي غَيْرِ الْمُصْحَفِ أَلْفُ دَرَجَةٍ وَقِرَاءَتُهُ فِي الْمُصْحَفِ تُضَاعَفُ أَلْفَيْ دَرَجَةٍ
“Bacaan (Alquran) seorang laki-laki tanpa mushaf (ganjarannya) adalah seribu derajat, sedangkan yang membacanya dengan mushaf dilipatgandakan menjadi dua ribu derajat”
Imam as-Suyuti juga menampilkan riwayat lain yang dikutip az-Zarkasyi dalam kitabnya, al-Burhan fi Ulumil Qur’an bahwa membaca Alquran dengan hafalan lebih utama secara mutlak. Imam Ibnu Abdissalam memilih pendapat ini karna dengan membaca Alquran tanpa mushaf (bil ghaib) lebih dapat mentadabburi ayat yang dibaca daripada dengan melihat mushaf (bin nadzar)
Baca Juga: Relevansi Menghafal Alquran di Era Digital
Berdasarkan penjelasan di atas, membaca Alquran bin nadzar cenderung lebih memiliki keutamaan dibandingkan bil ghaib karena dalam bin nadzar terdapat ragam kebaikan lain yang memberikan pahala lebih yang tidak dapat ditemukan apabila membacanya bil ghaib, contohnya seperti melihat mushaf dan memegang mushaf.
Meskipun begitu, persoalan tentang keutamaan antara bil ghaib dan bin nadzar bersifat relatif, bisa berbeda antara satu sama lain. Titik pentingnya adalah pada aspek tadabbur, terkait bagaimana teknis membacanya dapat disesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam mentadabburi ayat. Jika seseorang dapat lebih khusyuk ketika membaca Alquran bin nadzar, maka itu lebih utama baginya, begitupun berlaku sebaliknya.
Adanya perbedaan seperti ini adalah sebagai pilihan, bukan sebagai hujjah untuk saling menyalahkan atau merasa diri yang paling benar. Membaca Alquran bil ghaib dan bin nadzar, keduanya merupakan hal baik yang sama-sama bernilai ibadah, tidak ada yang salah di antara keduanya, yang salah adalah orang-orang yang tidak pernah mau membaca Alquran. Wallah a’lam