Salah satu keistimewaan Alquran yang pernah disampaikan oleh M. Quraish Shihab, pakar tafsir Alquran dari Indonesia, yaitu bisa dihafal oleh umat Islam dari semua kalangan dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab.
Sudah menjadi anggapan umum bahwa menghafal Alquran termasuk dari amal kebajikan yang begitu diistimewakan. Demikian ini sebab menghafal Alquran bukanlah perkara mudah untuk dijalani. Perlu komitmen yang kuat dan niat yang tepat serta perangai yang baik untuk menyandang status hamalatul qur’an. Sebab, sebagaimana nasihat mayoritas para pengkaji Alquran, niat menghafal Alquran yang tepat adalah bertujuan meraih rida Allah Swt, bukan sekadar berhasil merampungkan hafalan 30 juz saja.
Ketika niat menghafal Alquran sudah tepat, maka penghafal Alquran akan senantiasa merawat amanah hafalannya sebaik-baiknya dengan disertai menjaga diri dari segala perbuatan yang mencerminkan akhlak madzmumah dan gemar menghiasi diri dengan berbagai tindakan yang mencerminkan akhlak mahmudah.
Imam Fudhail bin Iyadh menganjurkan kepada seorang penghafal Alquran untuk menjaga sikapnya, sebab dia diibaratkan sebagai pembawa bendera Islam. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam Kitab At-Tibyan fii Adabi Hamalat Alquran berikut:
وعنه أيضا قال حامل القرآن حامل راية الإسلام لا ينبغي أن يلهو مع من يلهو ولا يسهو مع من يسهو ولا يلغو مع من يلغو تعظيما لحق القرآن
“Dan (diriwayatkan) dari Imam Fudhail bin Iyadl pula, beliau berkata: ‘para penghafal Alquran adalah pembawa bendera Islam, tidak patut dia bermain-main bersama orang yang bermain-main dan lupa bersama orang yang lupa, serta tidak berbicara yang sia-sia bersama orang yang berbicara sia-sia demi mengagungkan haq-nya Alquran’.” (At-Tibyan fii Adabi Hamalat Alquran, hlm. 55).
Selain itu, Syaikh Al-Ajurri Al-Baghdadi juga berkomentar sebagai berikut:
فَأَوَّلُ مَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ تَقْوَى اللَّهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ، بِاسْتِعْمَالِ الْوَرَعِ فِي مَطْعَمِهِ وَمَشْرَبِهِ وَمَلْبَسِهِ وَمَسْكَنِهِ، بَصِيرًا بِزَمَانِهِ وَفَسَادِ أَهْلِهِ، فَهُوَ يَحْذَرُهُمْ عَلَى دِينِهِ
“Perkara pertama yang seyogyanya dilakukan oleh para penghafal Alquran adalah ia harus mengamalkan sifat takwa kepada Allah, baik dalam kondisi sendirian maupun ketika bersama khalayak ramai; mengamalkan sifat wara’ dalam makanannya, minumannya, pakaiannya, dan tempat tinggalnya; paham dengan situasi zamannya dan kerusakan (moralitas) penduduknya dan ia semestinya memperingatkan mereka tentang perkara agamanya.” (Akhlaq Ahl Alquran, hlm. 77).
Baca Juga: Etika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)
Berdasarkan keterangan di atas, seorang penghafal Alquran semestinya berperangai baik, agar kemuliaan Alquran yang dia bawa tidak luntur dan diremehkan oleh orang lain (awam). Sebisa mungkin dia harus mampu menjaga Alquran dari segi lafadnya, maknanya, dan mengamalkan isi kandungannya yang tercermin dari perilaku baikny, sebagaimana Rasulullah Saw. yang disebut oleh Sayyidah Aisyah ra. sebagai sosok yang ‘kaana khuluquhu Alquran’
Lebih lanjut, saat berbicara soal hafalan Alquran dan penghafalnya, seringkali ekspektasi yang muncul dari kebanyakan orang Islam yaitu penghafal Alquran adalah sosok yang pasti saleh dan sedikit sekali atau bahkan sangat jarang berbuat hal-hal yang dimakruhkan, apalagi diharamkan oleh syariat Islam.
Bagaimana kemudian jika kenyataannya tidak demikian? Misal ada penghafal Alquran yang berhasil tuntas hafalannya, tapi tidak berperangai baik.
Hafal Alquran adalah satu hal, sementara kesalehan penghafalnya adalah hal lain. Maka dari itu, banyak hamilul qur’an yang saleh, tetapi tidak semua hamilul qur’an pasti saleh. Hafalan Alquran ini erat hubungannya dengan aspek kognitif, sementara kesalehan erat kaitannya dengan aspek afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif merupakan perilaku yang menekankan pada kecerdasan intelektual, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir (mengingat). Adapun aspek afektif lebih menekankan pada aspek perasaan, seperti minat dan sikap, sedangkan aspek psikomotorik lebih menekankan pada keterampilan gerakan atau tindakan.
Baca Juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia
Nah, bila semua aspek tersebut dapat berjalan seimbang dalam diri seorang penghafal Alquran, maka selain berhasil menghafal Alquran, dia juga pasti pandai menempatkan diri dan berperangai baik, akan tetapi, bila ketiganya tidak seimbang, khususnya aspek afektif dan psikomotoriknya kurang, maka yang terjadi seorang penghafal Alquran mungkin berhasil menghafal Alquran, tapi belum tentu ia pandai menempatkan diri dan berperangai baik, atau bahkan malah jauh dari kata saleh.
Terlepas dari hal itu, seorang penghafal Alquran semestinya meneladani para sahabat nabi zaman dulu dalam menghafal Alquran. Tidak seperti yang banyak terjadi sekarang ini, dahulu para sahabat menghafal sekaligus mengamalkan isi Alquran, dan tidak akan menambah hafalan selagi belum mampu mengamalkan isi kandungan ayat-ayat Alquran yang dihafal.
Demikian itu adalah upaya yang dilakukan para sahabat agar tidak hanya hafal, namun juga paham dan dapat mengamalkan kandungan Alquran, sehingga mereka dapat berperangai saleh dan dekat kepada Allah swt. sekaligus mendapatkan ridha-Nya sebagaimana niat menghafal Alquran yang tepat. Semoga Allah SWT menganugerahi kita kekuatan untuk menjaga firman-Nya, baik dengan istiqamah membaca maupun menghafalkannya, mampu memahami & mengamalkan kandungan-Nya. Wallah a’lam.