Secara umum, ayat-ayat dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian, yaitu ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam) dan ayat-ayat kisah (ayat al-qashash). Untuk menggali persoalan hukum, para ulama biasanya merujuk pada ayat-ayat yang secara tegas memuat ketentuan hukum. Jika dikumpulkan, jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an diperkirakan setara dengan tiga juz. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam karyanya yang terkenal, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam.
Namun, pada hakikatnya sumber hukum dalam al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ayat-ayat ahkam yang eksplisit. Ayat-ayat kisah pun dapat mengandung aspek hukum yang dapat digali melalui pendekatan usul fikih.
Salah satu karya yang secara khusus membahas hal ini adalah kitab Al-Qashash Al-Qur’ani wa Atsaruhu fi Istinbath Al-Ahkam. Kitab ini murni berfokus pada penggalian hukum dari ayat-ayat kisah, dengan landasan argumentasi usul fikih yang kuat. Penulisnya adalah Syaikh Asamah Muhammad Abdul Adzim Hamzah, seorang pengajar usul fikih di Universitas al-Azhar. Kitab ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1418 H/1997 M.
Contoh Penafsiran
Salah satu contoh ayat kisah yang menjadi dasar pengambilan hukum bagi para fuqaha adalah firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 41 yang berbunyi:
وَاٰمِنُوْا بِمَآ اَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُوْنُوْٓا اَوَّلَ كَافِرٍ ۢ بِهۖ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًاۖ وَّاِيَّايَ فَاتَّقُوْنِ
Artinya: Berimanlah kamu kepada apa (al-Qur’an) yang telah Aku turunkan sebagai pembenar bagi apa yang ada pada kamu (Taurat) dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku. (QS. al-Baqarah [2]: 41)
Ayat ini dan ayat sebelumnya berbicara tentang Bani Israil, yakni keturunan Nabi Yakub, cucu Nabi Ibrahim as. Mereka diperintahkan agar memeluk agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dan beriman kepada al-Qur’an yang membenarkan kitab sebelumnya, yakni Taurat, Zabur, dan Injil. Mereka juga dilarang untuk menjual atau menukar ayat-ayat Allah dengan kemegahan duniawi atau dengan harga yang pada hakikatnya murah meskipun tampak mahal.
Baca juga: Bagaimana Membaca Kandungan Sains dalam Ayat-Ayat Kisah?
Dari ayat kisah tersebut, para fuqaha kemudian merumuskan persoalan hukum: Apakah boleh mengambil upah karena telah mengajarkan al-Qur’an atau ilmu lainnya? Persoalan ini muncul berdasarkan potongan ayat di atas yang berbunyi, “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku.”
Imam az-Zuhri dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh mengambil upah dari aktivitas mengajarkan ilmu, termasuk mengajarkan al-Qur’an. Pendapat ini didasarkan pada ayat di atas. Sementara mayoritas ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, cenderung membolehkan pengambilan upah atas pengajaran ilmu.
Contoh lain seperti firman Allah Swt. dalam QS. Yusuf [12]: 43:
وَقَالَ الْمَلِكُ اِنِّيْٓ اَرٰى سَبْعَ بَقَرٰتٍ سِمَانٍ يَّأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعَ سُنْۢبُلٰتٍ خُضْرٍ وَّاُخَرَ يٰبِسٰتٍۗ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَاُ اَفْتُوْنِيْ فِيْ رُؤْيَايَ اِنْ كُنْتُمْ لِلرُّءْيَا تَعْبُرُوْنَ
Artinya: Raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus serta tujuh tangkai (gandum) yang hijau (dan tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai para pemuka kaum, jelaskan kepadaku tentang mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkannya. (QS. Yusuf [12]: 43)
Ayat ini menceritakan tentang keberadaan Nabi Yusuf as. yang cukup lama dipenjara. Peristiwa bermula dari mimpi sang saja, sehingga salah seorang dari pelayannya teringat kembali akan pesan Nabi Yusuf as. ketika mereka dahulu sama-sama berada di dalam penjara. Ia kemudian menyampaikan kepada raja tentang keahlian Nabi Yusuf dalam menafsirkan mimpi. Kemudian raja memanggil Nabi Yusuf dan meminta beliau untuk menafsirkan mimpinya.
Baca juga: Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (I)
Hukum yang dapat diambil dari ayat kisah ini adalah bahwa, kebenaran sebuah mimpi tidak harus selalu berasal dari seorang muslim. Orang di luar agama Islam pun dapat mengalami mimpi yang mengandung isyarat keadaan sekitarnya, atau bahkan tentang peristiwa yang akan datang. Sebagaimana ditunjukkan dalam kisah mimpi raja Mesir yang kemudian ditafsirkan oleh Nabi Yusuf as.
Walhasil, kitab ini sangat layak untuk dibaca dan dikaji, terutama oleh para akademisi dan peneliti yang berfokus pada bidang tafsir dan usul fikih. Ia tidak hanya memberikan wawasan baru tentang metode penggalian hukum dari ayat-ayat kisah, tetapi juga memperkaya khazanah keilmuan Islam dengan pendekatan yang mendalam dan argumentasi yang kuat.