BerandaUlumul QuranBagaimana Membaca Kandungan Sains dalam Ayat-Ayat Kisah?

Bagaimana Membaca Kandungan Sains dalam Ayat-Ayat Kisah?

Seringkali penjelasan kisah-kisah Al-Quran selama ini hanya disajikan secara naratif-deskriptif dalam beberapa kitab tafsir. Dari perspektif ulum al-Qur’an, tujuan kisah Al-Quran cenderung terpaku pada satu titik, yaitu mengambil pelajaran (ibrah) dari kisah yang dimaksud. Tujuan ini membuat interpretasi atas teks menjadi statis dan tidak memberi dampak bagi perkembangan peradaban manusia, dan orientasi kajian kisah Al-Quran cenderung monodisiplin. Meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zaid dalam Teks Otoritas Keagamaan, dominasi otoritas teks selama ini terbatas pada tradisi keagamaan di mana turath dijadikan sebagai satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan.

Baca Juga: Hikmah Kisah-kisah dalam Al-Quran menurut Manna’ Al-Qaththan

Mungkinkan Kisah Al-Quran disorot Melalui Sains?

Di antara maksud dan tujuan kisah-kisah Al-Quran yang tercatat dalam beberapa referensi ilmu Al-Quran seperti al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran; Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim; al-Naisaburi, Qashas al-Anbiya’ adalah 1) Menjelaskan prinsip dasar dakwah menuju Allah dan memaparkan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi, 2) Meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw, 3) Membenarkan para nabi terdahulu, 4) Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad Saw, 5) Mengungkap kebohongan Ahli Kitab dengan argumentasi yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan 6) Sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan pengajaran bagi manusia.

Jika kembali pada maksud dan tujuan kisah-kisah Al-Quran di atas, memang seolah tidak ada celah bagi sains untuk ‘ikut campur’ dalam mengungkap tabir ayat-ayat kisah. Ditambah paradigma tafsir ilmi yang selama ini cenderung hanya melibatkan ayat-ayat kauniyyah (kealaman), secara tidak langsung telah menciptakan kesenjangan antara kisah-kisah Al-Quran dengan keilmuan dan temuan sains. Itulah sebabnya, sedikit orang yang berani melihat lebih jauh kemungkinan-kemungkinan bahwa sains nyatanya juga bisa menyorot ayat-ayat kisah.

Setelah membaca seri Tafsir Ilmi Kemenag, kebetulan temanya tentang ‘Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains’, ada satu kesimpulan yang saya peroleh; bahwa sangat mungkin jika kisah-kisah dalam Al-Quran disorot dari kacamata sains. Pola integrasi yang hendak dibangun antara kisah-kisah Al-Quran dan sains tidak berbeda dengan pola integrasi tafsir ilmi pada umumnya, yaitu 1) membuktikan kebenaran ilmiah kisah Al-Quran, 2) memberikan penjelasan ilmiah terhadap kisah-kisah Al-Quran, dan 3) membangun dan mengembangkan peradaban keilmuan dari keduanya.

Upaya untuk melihat lebih jauh kisah-kisah Al-Quran melalui pendekatan tafsir ilmi sendiri sebenarnya sudah dilakukan, walaupun tak sesemarak kajian tafsir ilmi pada ayat-ayat kauniyyah. Sebutlah seperti Baihaqi yang mencoba mengulik dan mengurai dimensi sains di balik kisah-kisah Al-Quran dalam Dimensi Sains dalam Kisah Al-Qur’an dan Relevansinya dengan Keakuratan Pemilihan Kata. Lalu ada serial tafsir ilmi dari Kemenag yang dengan apik mengulas keterkaitan hubungan antara kisah-kisah Al-Quran dan sains.

Satu alasan paling sederhana mengapa ayat-ayat kisah dalam Al-Quran sangat mungkin didalami dan dikaji melalui kacamata sains adalah bahwa dari sisi sumber, kisah Al-Quran berasal dari wahyu yang merupakan ayat qauliyyah. Sementara sains berasal dari alam yang merupakan ayat kauniyyah. Keduanya akan bermuara pada sumber yang sama, yakni Tuhan. Secara logis, keduanya tidak mungkin bertentangan.

Baca Juga: Mungkinkah Kisah-Kisah Al-Quran Terulang Kembali? Ini Penjelasannya Menurut As-Sya’rawi

Arkeologi sebagai Basis Tafsir Ilmi atas Ayat-ayat Kisah

Jika memang ayat-ayat kisah dalam Al-Quran dapat disorot melalui kacamata sains, pertanyaannya adalah sains yang mana yang akan dijadikan basis atau pijakan? Di sinilah arkeologi memainkan peran. Ia adalah disiplin keilmuan dalam sains yang mempelajari tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan pada benda-benda peninggalan (KBBI). Paling tidak, temuan-temuan arkeologis menjadi jembatan yang merekonsiliasi sekat antara ayat-ayat kisah dan sains.

Beberapa temuan arkeologis yang relevan dengan kisah Al-Quran bisa dijadikan sebagai bukti kebenaran kisah Al-Quran. Seperti kisah Al-Quran dalam QS. Al Fajr [89] :6-9. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an ketika menjelaskan kisah kaum ‘Ad dalam Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif al-Quran dan Sains menyodorkan bukti arkeologis penemuan prasasti Ebla dan sisa-sisa kota Iram dari catatab Giovani Pettinato dan Father Dahood pada tahun 1964-1979. Penelitian ini telah membuktikan eksistensi kaum ‘Ad di Kota Iram. Melalui penemuan ini diketahui prasasti Ebla berumur sekitar 4.500 tahun. Umur ini sama dengan umur kaum ‘Ad dan Samud menurut tradisi tarikh Arab Purba.

Karena kisah Al-Quran berkaitan dengan sejarah, umumnya interaksi dialogis antara kisah Al-Quran dan sains dilihat dari kajian arkeologi. Meskipun demikian, hanya segelintir dari temuan arkeologi yang dapat dijadikan sebagai penjelasan. Kisah Nabi Idris misalnya, sampai detik ini belum mendapat penjelasan dari sisi sains. Hal ini bisa jadi dikarenakan adanya keterbatasan sains dalam mengungkap sejarah Nabi Idris di satu sisi. Di sisi lain, penjelasan Al-Quran tentang Nabi Idris juga tidak seperti pengungkapan kasih nabi-nabi yang lain. Penyebutan Nabi Idris dalam Al-Quran terdapat pada dua ayat, yakni Surat Al Anbiya’ [21] ayat 84 dan 85. Pada ayat 84 menjelaskan kredibilitas Idris sebagai nabi yang mencintai kebenaran. Sementara ayat 85 menjelaskan keutamaan tiga Nabi, yakni Ismail, Idris dan Zulkifli.

Baca Juga: Prinsip Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Namun demikian, LPMQ ini juga memberi keterangan lebih lanjut bahwa tafsir ilmi atas ayat-ayat kisah tidak hanya bisa dibantu oleh temuan arkeologi, tetapi juga temuan sains secara umum. Misalnya, ketika menjelaskan usia Nabi Nuh, dikutip dari QS. Al Ankabut [29]:14-15 yang menyebutkan bahwa usia Nabi Nuh adalah 950 tahun. Hal ini kemudian diperkuat dengan hasil temuan Balsiger dan Sellier, bahwa sebelum banjir besar datang, atmosfer masih diselimuti oleh lapisan kanopi air yang berfungsi melindungi manusia dari radiasi ultraviolet. Setelah banjir besar kanopi ini turun ke bumi yang mengakibatkan lapisan atmosfer menjadi tipis dan mengakibatkan umur manusia menjadi lebih pendek, seperti Nabi Ibrahim, hanya berusia 100 tahun.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa masih ada kemungkinan untuk mempelajari ayat-ayat kisah dalam Al-Quran dengan bantuan temuan-temuan sains, khususnya temuan arkeologis. Dengan begitu, kajian terhadap kisah-kisah Al-Quran tidak hanya monoton pada pengambilan pelajaran (ibrah), tetapi lebih jauh dengan mengembangkannya pada tingkat yang bisa memberikan dampak terhadap kemajuan peradaban dan keilmuan manusia.

Wallahu a’lam

Fawaidur Ramdhani
Fawaidur Ramdhani
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dan Dosen Ma’had Ali UIN Sunan Ampel Surabaya. Minat pada kajian tafsir Al-Quran Nusantara, manuskrip keagamaan kuno Nusantara, dan kajian keislaman Nusantara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...