Prinsip Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi
Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Bukan rahasia umum lagi bahwa substansi Al-Quran mengandung banyak pernyataan dan isyarat yang tidak hanya mendorong umat Islam untuk melakukan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan pula menunjukkan secara tersurat maupun tersirat hukum dan keteraturan alam semesta serta ketentuan-Nya.  Hal itu sepatutnya kita tadabburi dan mengkaji secara empirik dan ilmiah terkait dasar penyusunan tafsir ilmi.

Berpijak dari pada itu, maka umat Islam meyakini akan adanya kesetaraan yang qath’i antara Al-Quran dan alam semesta sebagai kebenaran Qur’ani (wahyu/ qauli) dan kauni. Dalam rangka menjaga kebenaran dan kesucian Al-Quran, para ulama yang tergabung dalam Lembaga Pengembangan I’jaz Al-Quran dan Sunnah, Rabithah ‘Alam Islami di Mekkah dan lembaga serupa di Mesir sebagaimana disampaikan Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, merumuskan beberapa prinsip atau pedoman dasar yang sepatutnya diperhatikan dalam menyusun tafsir ilmi sebagai berikut.

Baca juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Memperhatikan arti dan kaidah-kaidah kebahasaan

Mufassir tidak hanya paham arti suatu kata, namun juga kaidah-kaidah kebahasaannya sehingga meminimalisir kesalahan dalam melakukan kerja-kerja penafsiran. Sebagai contoh misalnya, kata tayran dalam Q.S. al-Fil [105]: 3, “Wa arsala ‘alaihin tayran ababil” (Dan Kami turunkan kepada mereka burung ababil), ditafsirkan sebagai kuman sebagaimana dikemukakan Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma-nya.

Secara lughawi (bahasa) itu sangat tidak dimungkinkan, dan maknanya menjadi tidak pas, sebab akan bermakna, “dan Dia mengirimkan kepada mereka kuman-kuman yang melempari mereka dengan batu”. Atau misalnya ditafsirkan dengan wabah Covid-19 itu juga terlalu “memaksakan”. Maka penafsir harus jernih dalam melihat kaidah-kaidah kebahasaan.

Memperhatikan Konteks, Asbab Nuzul Ayat dan Surat Al-Quran

Prinsip kedua adalah mufassir tidak hanya menguasai arti dan kaidah bahasa, namun juga melihat konteks di masa itu. Karena Al-Quran tidak turun dalam ruang hampa, ia saling berkelindan dan berkorelasi. Memahami ayat-ayat Al-Quran tidak terlepas dari pemahaman konteks, asbabun nuzul ayat maupun surat dan peristiwa yang melingkupinya. Pendek kata, kerja-kerja penafsiran harus dilakukan secara holistik, tidak parsial.

Baca juga: Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10

Memperhatikan Interpretasi Rasul SAW, Para Sahabat, Tabi’in dan Ulama Tafsir

Al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa mufassir tidak boleh potong kompas dengan mengatakan yang dimaksud Allah adalah ini dan itu tanpa memperhatikan interpretasi Rasul saw selaku pemegang otoritas tertinggi, para sahabat dan para ulama. Andai kata mufassir itu benar, seyogyanya ia tidak mengklaimnya sebagai kebenaran mutlak, sebab Al-Quran itu, kata Quraish Shihab hammalatun lil wujud (menngandung ragam pandangan).

Tidak Menggunakan Ayat-Ayat Kauni untuk Menjustifikasi Sebuah Hasil Penemuan Ilmah

Fungsi dan rahmat Al-Quran jauh lebih besar dari sekadar persoalan justifikasi-legitimasi, membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah atau penemuan ilmiah lainnya. Karena itu, prinsip ini patut diperhatikan betul dalam penyusunan tafsir ilmi.

Memperhatikan Probabilitas Redaksi Ayat

Sebagaimana dikemukakan pakar bahasa Arab, Ibn Jinni dalam al-Khasa’is (2/488) bahwa mufassir hendaknya memperhatikan probabilitas satu kata atau ungkapan yang mengandung beragam makna, meskipun makna itu sedikit jauh (lemah). Senada dengan itu, al-Gamrawi, seorang pakar tafsir ilmiah Al-Quran dari Mesir, dalam al-Islam fi ‘Asr al-‘Ilm menyatakan bahwa “Penafsiran Al-Quran hendaknya tidak terpaku pada satu makna, selama ungkapan itu mengandung berbagai kemungkinan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah yang dimaksud Tuhan”.

Memahami Objek Bahasan Ayat

Guna memahami isyarat-isyarat ilmiah hendaknya memahami betul segala aspek yang berkaitan dengan objek bahasan ayat, termasuk penemuan-penemuan ilmiah di dalamnya. Mengutip Quraish Shihab, “sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat”.

Sebaiknya Tidak Menggunakan Penemuan Ilmiah yang Teoritis-Hipotesis

Sebagain ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan ilmiah yang masih berupa teoritis dan hipotesis. Sebab teori tidak lain merupakan hasil sebuah “generalisir” terhadap gejala alam yang terjadi. Begitupula hipotesis, masih dalam taraf uji coba kebenarannya.

Baca juga: Konsep Taaddud as-Sabab wa an-Nazil Wahid dalam Ulum Al-Quran (1)

Sebagian yang lain mengatakan sebuah penafsiran yang menggunakan teoritis dan hipotesis saja bisa digunakan, asal dengan syarat keyakinan Al-Quran yang bersifat absolut harus diletakkan di atasnya, sebab teori bahkan kebenaran ilmiah sifatnya relatif, bisa benar bisa salah.

Sampailah kita pada satu penutup, sebagaimana dikemukakan Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, ia menyatakan bahwa kajian tafsir ilmi ini tidak dalam kerangka menjustifikasi kebenaran temuan ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran. Pun, tidak pula memaksakan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehingga seolah-olah berkorelasi dengan temuan ilmu pengetahuan.

Kajian tafsir ilmi, demikian tutur Muchlis Hanafi, berangkat dari kesadaran (awareness) bahwa Al-Quran bersifat mutlak, adapun penafsirannya baik dalam perspektif tafsir maupun ilmu pengetahuan, bersifat relatif. Wallahu A’lam.