Di atas balkon istananya yang megah, Firaun pernah melontarkan sebuah klaim yang mencatat sejarah arogansi manusia paling purba terhadap alam. Dengan angkuh ia berseru, “Bukankah kerajaan Mesir ini milikku dan sungai-sungai ini mengalir di bawahku?” (QS. Az-Zukhruf: 51).
Kalimat ini bukan sekadar pamer kekuasaan politik, melainkan sebuah proklamasi penguasaan mutlak atas sumber daya alam. Firaun tidak melihat Sungai Nil sebagai rahmat yang harus dijaga, tetapi sebagai aset yang tunduk di bawah kakinya. Hari ini, ribuan tahun kemudian, mentalitas Firaun ini bangkit kembali dalam wajah peradaban modern yang eksploitatif. Manusia yang merasa memiliki, bukan mengelola, manusia yang menaklukkan, bukan bersahabat dengan alam. Namun, arogansi ini tidak berdiri sendiri karena ia adalah puncak dari sebuah pola pikir yang juga menindas kemanusiaan dan menantang takdir Tuhan.
Ketika Alam Dianggap Properti Pribadi
Akar masalah Firaun bukanlah kekayaannya, melainkan cara pandangnya terhadap kekayaan tersebut. Saat menafsirkan seruan Firaun di ayat 51 Surah Az-Zukhruf, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sang raja bersikap sombong (mutabajjihan) dan membanggakan diri atas hak pengelolaan penuh atau tindakan mutlaknya (tasharrufihi fīhā) terhadap kerajaan Mesir dan sungai-sungainya (Ibnu Katsir, Juz 8, hlm. 212-213). Kata tasharruf ini menjadi kunci penting karena menunjukkan bahwa Firaun merasa memiliki otoritas penuh untuk memperlakukan tanah dan air sesuai kehendak pribadinya, tanpa rasa pertanggungjawaban moral sedikit pun.
Analisis ini menjadi semakin tajam ketika kita menelusuri bedah linguistik yang dilakukan oleh Ibnu ‘Asyur. Beliau menyoroti frasa “mengalir di bawahku” (tajrī min taḥtī) sebagai bentuk kinayah atau kiasan tentang penundukan total (at-taskhīr). Firaun tidak sekadar berkata sungai itu mengalir secara alami, tetapi ia mengklaim kemampuan teknis untuk mengendalikan distribusi air. Ibnu ‘Asyur bahkan menyebutkan kemungkinan makna bahwa distribusi air tersebut berada di bawah perintah Firaun melalui sistem bendungan atau penutup (fī sidād) serta waduk-waduk penampungan (khizānāt) (Ibnu ’Âsyûr, 1981, hlm. 229).
Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Al-Quran
Melalui infrastruktur inilah Firaun membangun narasi ketakutan di tengah masyarakatnya. Ibnu ‘Asyur menjelaskan seolah-olah Firaun berkata bahwa jika ia berkehendak, ia mampu memutus aliran air dari mereka. Di sini, air tidak lagi dilihat sebagai sumber kehidupan yang sakral, melainkan telah berubah menjadi alat politik dan senjata kekuasaan. Klaim ini laku keras di kalangan rakyat jelata karena kenaifan akal mereka (li sadhājati ‘uqūlihim) yang berhasil dimanipulasi oleh propaganda Firaun (Ibnu ’Âsyûr, 1981, hlm. 230).
Arogansi Firaun mengajarkan kita bahwa kerusakan di muka bumi seringkali bermula dari delusi kepemilikan. Ketika manusia merasa memiliki alam secara mutlak (ownership), bukan sekadar memanfaatkannya sebagai titipan (stewardship), maka eksploitasi menjadi tak terelakkan. Firaun merasa berhak membendung, memutus, dan memonopoli air demi egonya. Mentalitas “penguasa alam” inilah yang berbahaya, sebab ia menafikan peran Tuhan sebagai Pemilik Sejati (Malik al-Mulk) dan menempatkan manusia sebagai tiran yang merasa bisa mendikte hukum alam.
Standar Materialisme dalam Mengukur Kebenaran
Arogansi Firaun terhadap alam berbanding lurus dengan kedangkalan logikanya dalam menerima kebenaran. Setelah memamerkan aset alamnya berupa sungai, Firaun beralih menyerang Musa dengan menggunakan standar materialisme. Ia berkata dengan nada merendahkan dalam kelanjutan ayat, “Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini…” (QS. Az-Zukhruf: 52).
Ibnu ‘Asyur menyebut argumen Firaun ini sebagai safsaṭah (penyesatan logika) dan tasyghīb (pengacauan). Firaun menyerang status sosial Musa sebagai orang yang “hina” (mahīn) semata-mata karena Musa tidak memiliki klan bangsawan atau pendukung politik yang kuat di Mesir (Ibnu ’Âsyûr, 1981, hlm. 230). Demikian Ibnu Katsir, bahwa definisi “hina” bagi Firaun adalah orang yang tidak memiliki kerajaan, kekuasaan, dan harta (Ibnu Katsîr, 1998, hlm. 213).
Baca juga: The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)
Puncak kedangkalan ini terlihat jelas saat Firaun menuntut bukti kebenaran berupa gelang emas (aswirah min dzahab) sebagaimana terekam di ayat 53. Ibnu ‘Asyur menjelaskan konteks sejarahnya bahwa gelang emas adalah simbol pelantikan raja-raja (syi’ār al-mulūk) dalam tradisi Persia dan Mesir Kuno. Akibat kebodohannya, Firaun membayangkan bahwa jabatan kenabian harus setara dengan jabatan raja duniawi. Logikanya sederhana namun cacat, jika Musa benar utusan Tuhan, mana emasnya? Mana pengawal malaikatnya yang berbaris (muqtarinīn) layaknya tentara kerajaan? (Ibnu ’Âsyûr, 1981, hlm. 233).
Firaun mewakili sebuah pandangan dunia yang sakit, yaitu materialisme ekstrem. Kebenaran tidak dinilai dari bobot argumen atau cahaya wahyu, melainkan dari simbol-simbol materi seperti emas, jabatan, dan infrastruktur. Ketika tolok ukur kebenaran hanyalah apa yang tampak mata (zhahir), maka nasihat sebaik apa pun dari sosok yang “miskin” atau “lemah” secara sosial akan ditolak mentah-mentah. Ini adalah peringatan keras bagi kita agar jangan sampai menolak kebenaran hanya karena pembawanya tidak memiliki atribut kesuksesan duniawi.
Melawan Takdir: dari Membendung Sungai hingga Membunuh Bayi
Watak arogansi Firaun ternyata tidak berhenti pada klaim penguasaan alam dan materi semata. Ibnu Katsir dalam kitab sejarahnya, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, memetakan watak Firaun ini lebih jauh ke ranah yang lebih mengerikan, yakni upaya melawan takdir Tuhan melalui rekayasa sosial dan genosida.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Firaun memecah belah rakyatnya (syi’an) dan menjadikan Bani Israil sebagai kasta terendah untuk pekerjaan-pekerjaan hina. Namun, ketakutan terbesarnya muncul dari sebuah mimpi atau kabar bahwa akan lahir seorang bayi laki-laki dari Bani Israil yang akan menghancurkan kerajaannya.
Di sinilah delusi “Tuhan” Firaun diuji. Ia yang mengaku bisa mengatur aliran sungai, kini mencoba mengatur aliran kehidupan manusia. Ia memerintahkan pembunuhan massal terhadap bayi laki-laki Bani Israil. Namun, karena khawatir kehabisan tenaga kerja budak, ia membuat kebijakan “satu tahun membunuh, satu tahun membiarkan hidup” (Ibn Katsîr, 1417, hlm. 31–33). Ini adalah bentuk arogansi tertinggi di mana manusia mencoba merekayasa demografi dan kematian demi melanggengkan kekuasaan.
Ibrah bagi Umat Terakhir
Kisah arogansi Firaun—dari memonopoli air, mengagungkan emas, hingga membunuh bayi—berakhir dengan satu kesimpulan tragis yang disebut Al-Qur’an: “Maka Kami jadikan mereka sebagai salafan (terdahulu) dan matsalan (pelajaran) bagi orang-orang yang kemudian” (QS. Az-Zukhruf: 56).
Ibnu Katsir menjelaskan makna salafan sebagai pendahulu bagi orang-orang yang melakukan perbuatan serupa menuju neraka (Ibnu Katsir, Juz 8, hlm 213). Artinya, Firaun adalah “senior” atau pembuka jalan bagi setiap tiran yang sombong terhadap Tuhan dan alam.
Sementara itu, Ibnu ‘Asyur memberikan dimensi yang lebih spesifik pada kata matsalan (pelajaran/contoh). Beliau menegaskan bahwa sasaran utama pelajaran ini adalah kaum musyrikin yang mendustakan Rasulullah saw. Mereka adalah umat terakhir yang menyerupai kaum Firaun dalam hal menyembah berhala dan mendustakan rasul. Allah menjadikan kehancuran Firaun sebagai peringatan keras: jika Firaun yang memiliki sungai-sungai dan kekuasaan absolut saja bisa ditenggelamkan, apalagi kaum musyrikin Mekkah yang lebih lemah (Ibnu ’Âsyûr, 1981, hlm. 234).
Baca juga: Qur’anic Green Ethics: Tafsir Ekologis dalam Menjawab Krisis Iklim Global
Dengan demikian, potret kisah Firaun ini adalah monumen kegagalan manusia yang mencoba bermain peran sebagai Tuhan. Ia merasa bisa mengontrol alam (sungai) dan masa depan (membunuh bayi), namun ia lupa bahwa ada Sutradara Agung yang tak bisa dilawan. Air yang ia klaim kuasai menjadi kuburannya, dan bayi yang ia ingin bunuh menjadi penyebab runtuhnya kerajaannya. Ini adalah pelajaran abadi: sehebat apapun teknologi atau kekuasaan manusia untuk merekayasa alam dan sosial, jika landasannya adalah arogansi dan kerusakan, maka kehancuran hanyalah soal waktu. Alam dan takdir memiliki cara sendiri untuk mengembalikan keseimbangan yang dirusak oleh kesombongan manusia.
Penutup
Jejak Firaun mengajarkan kita bahwa arogansi terhadap alam dan manusia adalah satu paket yang tak terpisahkan dari pengingkaran terhadap Tuhan. Ketika manusia merasa memiliki bumi ini secara mutlak, ia akan cenderung merusak (eksploitatif) dan menindas. Solusinya bukanlah sekadar perbaikan teknis, melainkan perbaikan cara pandang: dari mentalitas “pemilik” yang sombong menjadi “hamba” yang sadar diri. Firaun telah berlalu, namun wataknya—yang mengukur kebenaran dengan materi dan merasa berkuasa atas alam—adalah bahaya laten yang harus terus diwaspadai oleh setiap peradaban. Wallahu a’lam.

![Merevolusi Martabat Perempuan: Pesan QS. An-Nisa’ [4]: 19](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/3-1888568577-218x150.webp)











![Merevolusi Martabat Perempuan: Pesan QS. An-Nisa’ [4]: 19](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/3-1888568577-324x235.webp)



![Jahiliyah Modern: Membaca Ulang Al-Mā’idah [5]:50 sebagai Kritik Hedonisme, Materialisme dan Kemerosotan Moral](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/2807131-100x70.jpg)