Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Al Quran

Firaun
Ilustrasi Firaun (src: lonelyplanet.com)

Firaun merupakan gelar bukan nama. Fir’aun (diambil dari per-aa) sendiri merupakan istilah yang berevolusi. Sumber paling otoritatif mengenai hiroglif, Wörterbuch Der Aegyptischen Sprache yang ditulis oleh A. Erman & H. Grapow dan diterbitkan tahun 1926, menunjukkan bahwa kata per-aa dalam hiroglif digunakan dalam tiga konteks:

  1. “Rumah Besar” sebagai sebutan istana raja di era Old Kingdom.
  2. “Istana Kerajaan” sebagai sebutan tempat tinggal raja dan pemukim lainnya.
  3. Gelar raja Mesir.

Dalam diskursus tafsir setidaknya ada empat acuan untuk menelusuri aspek historis dari sosok Firaun yang disebutkan Al Quran:

Pertama, Firaun yang disebut di dalam Al Quran merupakan Firaun yang sudah memimpin Mesir sebelum Nabi Musa lahir. Atau minimal, ia sudah memimpin semenjak Nabi Musa masih bayi. Argumentasi klaim ini adalah sebagai berikut:

Ibu Musa menjatuhkan Musa ke Sungai Nil. Kemudian keluarga Firaun memungut Musa yang masih bayi. Kemudian Allah berfirman:

لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا ۗ إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا۟ خَٰطِـِٔينَ

yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. [QS. Al-Qashash: 8]

Baca Juga: Kontradiksi Penafsiran Al-Quran Surah Al-A’raf Ayat 52

Ayat di atas menunjukkan Firaun yang mengadopsi Nabi Musa adalah Firaun yang sama di kemudian hari. Salah satu identitasnya adalah penyandingannya dengan Haman; inna fir’auna wa hāmāna wa junụdahumā kānụ khāṭi`īn.

Kedua, Firaun tersebut masih menjadi penguasa Mesir tatkala Nabi Musa mencapai 40 tahun. Sejumlah ulama menduga kuat di usia 40 tahun itu-lah Allah berikan hukman dan ‘ilman kepada Nabi Musa.

Allah menyebutkan dalam surah Al Qashash ayat 14: wa lamma balagho asyuddah. Terjemahan yang digunakan dalam Al Quran terjemahan Bahasa Indonesia adalah cukup umur dan sempurna akalnya.

Imam At Thabari tentang makna balagho asyuddah berkata; empat puluh tahun, ذلك فـي أربعين سنة. Begitu pun Al Zamakhshari dalam tafsir beliau Al Kashshaf, beliau mengatakan yakni empat puluh tahun. Setelahnya beliau berkata tidak ada nabi yang diutus melainkan sampai pada usia empat puluh.

Begitu pula Imam Al Qurtubi dan selainnya, termasuk tafsir Al Jalalayn. Maka, Firaun dalam kisah Nabi Musa setidaknya berkuasa selama 40 tahun. Ini batas yang sangat minim sekali.

Ketiga, Nabi Musa melarikan diri Mesir ke Midian setelah menyebabkan seorang Koptik mati. Di sana beliau tinggal selama 8 hingga 10 tahun. Dua angka tersebut berdasarkan perjanjian Nabi Musa dan Nabi Syu’aib.

Ketika Nabi Syu’aib hendak menikahkan Nabi Musa dengan salah satu putrinya, beliau berkata atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, sebagaimana dalam Al Qashash ayat 27.

Sebagian ulama mengatakan ia bukanlah Nabi Syu’aib, dalam Al Quran ia disebut syaikhun kabir. Lagipula masa Nabi Syu’aib lebih dekat ke masa Nabi Luth. Namun dalam bahasan kali ini ia tidaklah substansial.

Karena para Nabi adalah manusia yang paling amanah dan paling sempurna dalam bermuamalah, kemungkinan besar Nabi Musa menggenapinya sepuluh tahun. Maka sejauh ini kita dapati bahwa Firaun dalam kisah Nabi Musa setidaknya memerintah selama 50 tahun (40 tahun + 10 tahun). Angka itu didapat dari poin kedua dan ketiga.

Namun ia belumlah final. Sebab, besar kemungkinan Firaun telah memerintah bahkan sebelum Nabi Musa lahir, ini sudah Penulis urai dalam poin pertama.

Keempat, selepas itu Nabi Musa kembali ke Mesir untuk menjalankan tugas kenabian dari Allah. Utamanya menyeru Firaun kepada tauhid. Selain itu juga untuk membebaskan Bani Israil. Di periode ini terjadi kekeringan dan paceklik. Setelah itu wabah menimpa hingga usai. Seluruh rangkaian peristiwa ini setidaknya memakan waktu 1-2 tahun.

Dari empat poin di atas kita dapati angka 50-52 tahun. Kita letakkan parameter itu sebagai terminus a quo, yakni nanti kita gunakan sebagai batas minimal lamanya Firaun dalam Kisah Nabi Musa berkuasa.

Tidak banyak Firaun yang memerintah selama 50 tahun atau lebih, di antaranya adalah Thutmose III (memerintah selama 3 tahun) dan Ramses II (memerintah selama 66 tahun).

Terkait Thutmose III yang berkuasa sekitar 53 tahun, lamanya berkuasa terlalu “mepet” untuk 50-52 tahun fase hidup Nabi Musa sebagaimana telah disinggung di awal. Sebab, Thutmose III ini wafat di usia 56 tahun.

Artinya, hanya tersisa 4-6 tahun masa kekuasaan Thutmose III sebelum Nabi Musa lahir. Memang, Thutmose III ini ketika memerintah Mesir usianya teramat muda sehingga Hatshepsut turut “membantu” Thutmose III dalam menjalankan tugas Thutmose III sebagai Firaun.

Alternatif kedua adalah Ramses II. Dia memerintah selama 66-68 tahun. Firaun ini berusia 90-96 tahun. Ia merupakan Firaun yang paling lama berkuasa. Selain itu, ia memiliki belasan tahun masa berkuasa sebelum Nabi Musa lahir.

Ramesses (atau Ramses) II banyak sekali mendirikan monumen dan prasasti. selain memimpin angkatan perang yang kuat. Dua elemen tersebut; militer dan arsitektur, melekat erat dengan rezim Ramses II.

Indikasi lain bahwa Bani Israil mendiami negeri Mesir di era Ramses II dapat kita seksamai dari catatan Fir’aun Merenptah berupa Merenptah Stela. Pakar Mesir kuno dari Inggris bernama Flinders Petrie menemukan sebutan “Israel” dalam catatan hiroglif kerajaan di dalam stela tersebut. Merenptah sendiri merupakan anak ke-13 dari Ramses II.

Era New Kingdom merupakan era terbaik bagi Mesir kuno dan Ramsess II merupakan Firaun yang paling menonjol di era tersebut.

Baca Juga: Jalan Sunyi dan Tugas Berat Menjadi Penerjemah Al-Qur’an

Selain itu, menurut National Geographic peristiwa eksodus terjadi antara 1280 dan 1220 SM.  Sehingga pandangan bahwa Nabi Musa hidup di abad 13 SM, khususnya di era Ramses II, merupakan pandangan yang hampir disepakati seluruh sejarawan kontemporer yang membersamai Al Quran.

Al Quran tidak dituntut untuk “membersamai” apapun di luar Al Quran itu sendiri. Bukan Al Quran yang harus mengikuti sejarah dan arkeologi, sebaliknya, Al Quran adalah tolok ukur dan “batu ujian” bagi seluruh disiplin ilmu dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Bukan saja data sejarah dan arkeologi, kitab-kitab di sisi ahli kitab saat ini pun keduanya harus diuji dengan Al Quran.

Allah Berfirman:

مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; [QS. Al Maidah: 48]. Wallahu A’lam.