Masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda sempat digegerkan dengan larangan mengucapkan istilah “anjay”. kata tersebut diyakini memberi dampak yang buruk bagi kehidupan sosial karena dianggap mengumpat. Sedangkan bagi sebagian lain berpendat bahwa tidak ada konotasi yang negatif di dalamnya.
Memang semua kata kotor tidak bisa dibenarkan oleh norma hingga agama. Hal ini dikarenakan semua ucapan tersebut bisa menyakiti perasaan orang. Namun, dalam Al Quran ternyata ada golongan yang dibolehkan untuk mengumpat.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW
Tafsir QS. an-Nisa’ ayat 148-149
Mengumpat ialah perkataan yang menjelekan orang lain dengan kata yang keji dan celaan yang keras. Perilaku tersebut biasanya muncul dari orang yang jengkel, kecewa dan sebagainya. Akan tetapi dalam Al Quran perbuatan tersebut bisa dibolehkan bagi orang yang terdzalimi. Ayat yang menyatakan demikian yakni:
لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali bagi orang-orang yang terdzalimi, dan Allah adalah Maha Mengetahu lagi Maha Mendengar. Jika kamu melahirkan suatu kebaikan atau menyembunyikannya, atau memaafkan suatu kesalahan, maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”
Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan Jika kalimat “tidak menyukai” itu datangnya dari Allah, maka bermakna tidak meridloi hingga tidak memberi pahala. Bahkan menjatuhkan sangsi atas pelaku sehingga kata tersebut bermakna pelarangan. Adapun yang dimaksud perkataan kotor dalam ayat tersebut ialah perkataan buruk yang dilakukan secara terang-terangan yakni yang jelas bagi pendengaran dan penglihatan. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah juz 2, hal 634)
Allah sangatlah benci terhadap perkataan kotor. Sebaliknya, yang disukai-Nya ialah perkataan yang sopan, tidak menyinggung dan merusak akhlak seperti dijelaksan pada ayat ke 149. Namun, pada ayat tersebut terdapat pengecualian yakni bagi orang-orang yang teraniaya maka diperbolehkan untuk mengatakan keburukan (mengumpat).
Hamka dalam tafsirnya menyatakan bahwa pengecualian tersebut merupakan rukhshah bagi yang teraniaya. Apabila doa keburukan dan cacian itu ditujukan kepada si penganiaya, maka tidak dibenci oleh-Nya. Lebih lanjut ia mengambil contoh dalam kasus persidangan dimana pihak yang dirugikan berhak menceritakan keburukan pelaku penganiaya. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan perlindungan hak (Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 1, hal 6)
Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar
Sebab turunnya ayat
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menukil riwayat Abdur Razaq yang menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seseorang yang bertamu kepada orang lain. Tetapi, tuan rumah tersebut tidak memberikan jamuan. Setelah ia keluar, maka ia ceritakan kepada semua orang bahwa ia tidak diberi hak jamuan. itulah yang dimaksud perkataan buruk yang diucapkan secara terang terangan. Dan perbuatan tersebut tidak Allah senangi (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quranul Adzim, juz 2)
Ibnu kathir juga mencantumkan hadis riwayat Ahmad:
عَنِ الْمِقْدَامِ أَبِي كَرِيمَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “أَيُّمَا مسلمٍ ضَافَ قَوْمًا، فَأَصْبَحَ الضَّيْفُ مَحْرُومًا، فَإِنَّ حَقًا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ نَصْرَه حَتَّى يَأْخُذَ بقِرى لَيْلَتِهِ مِنْ زَرْعِهِ وَمَالِهِ”
“Dari Miqdam bin Abi Karimah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “siapa saja diantara muslim yang bertamu kepada suatu kaum. Lalu tamu itu tidak mendapat jamuan, maka wajib bagi setiap muslim untuk menolong tuan rumah. Hingga ia mengambil jamuan malamnya dari ladang dan hartanya” (HR. Ahmad)
Dari dua riwayat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa untuk menghindari tamu mencela secara terang-terangan, saudara sesama muslim harus membatu tuan rumah. Dari hadis itu kita dapat pahami, Islam tidak hanya memberi larangan, melainkan juga memberi solusi agar hal itu tak terulang kembali.
Mengumpat boleh, tapi memafkan lebih utama
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa yang dibolehkan mengumpat ialah bagi korban penganiayaan dalam rangka mendapat perlindungan. Namun jika merujuk pada ayat berikutnya justru Allah menawarkan pilihan lain dan lebih baik yakni memberikan maaf atas kesalahan.
Allah swt mempersilahkan umat manusia untuk melakukan perbuatan baik, meskipun itu dilakukan secara terang-terangan atau secara sembunyi. Karena tindakan itu dicintai Allah SWT. Di sini manusia diberi kebebasan memilih karena ada kalanya kebaikan perlu ditampakan dan ada pula yang lebih bermanfaat jika disembunyikan.
Baca juga: Ini Makna Fitnah Lebih Kejam daripada Pembunuhan Menurut Mufassir
Secara keseluruhan. Kita sebagai manusia memang dituntut untuk lebih bijak dalam menyikapi segala hal. Semisal dalam kondisi teraniaya, meskipun kita diperbolehkan berkata keburukan, namun ada yang lebih utama dari itu, yakni memaafkan semua kesalahan. Wallahu A’lam