Fenomena saling menghina dan merendahkan di dunia digital di Indonesia sejatinya lahir dari adanya rasa “paling” dari diri masing-masing individu maupun kelompok. Rasa “paling” ini bisa berbentuk “paling benar”, “paling mampu”, “paling baik” dan lain sebagainya. Ironisnya, banyak dari fenomena-fenomena tersebut yang melibatkan umat Islam di dalamnya.
Tentu Islam sebagai agama yang membawa kedamaian tidak sekalipun mengajarkan hal yang demikian. Islam justru melarang dan mengancam umatnya yang gemar menghina dan merendahkan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Berdasarkan makna leksikal dari ayat di atas saja, sebenarnya sudah bisa didapatkan bagaimana Islam mengajarkan betapa terlarangnya perilaku saling menghina dan merendahkan. Namun untuk lebih memperdalamnya maka mari simak beberapa penjelasan mufassir mengenai ayat tersebut.
Penafsiran Ayat
Dalam tafsir al-Alusi, seorang mufassir yang biografi ringkasnya bisa dilihat di Instagram tafsiralquran.id, ditemukan beberapa uraian penjelasan lanjutan dari beberapa redaksi dalam ayat ini.
Pada redaksi (يَسْخَرْ), al-Alusi memaknainya sebagai al-huz’u yakni memandang orang lain dengan pandangan serba kekurangan sehingga ada celah untuk saling menghina. Al-Alusi juga memberikan beberapa contoh sukhriyah (penghinaan) yang ia kutip dari al-Qurthubi yaitu menertawakan seseorang tatkala sedang berbicara dan membuat kesalahan atau karena profesinya maupun hasil kerjanya atau karena buruknya rupa yang dihina.
Maka sebagaimana dikatakan di awal bahwa sikap mudah menghina itu muncul tatkala seseorang telah dirasuki rasa “paling”. Sebab perasaan itu akan membuat dirinya mudah untuk melihat kekurangan orang lain dan susah melihat kekurangan dirinya sendiri.
Selanjutnya pada redaksi (عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ /عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ) al-Alusi mendiskripsikan redaksi ini sebagai penyebab mengapa dilarang untuk menghina dan merendahkan. Hal ini dimaksudkan dari sisi derajat orang yang dihina di mata Allah. Sebab bagaimanapun hanya penglihatan Allah-lah yang paling adil dan jernih dalam melihat kualitas makhluknya.
Kemudian redaksi (وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ) Al-Alusi memberikan penjelasan menarik bahwa redaksi ini mengisyaratkan bahwa jika seseorang muslim menghina muslim yang lain maka seakan ia juga mencela dirinya sendiri. Maka digunakannya lafaz (اَنْفُسَكُمْ) menegaskan bahwa perilaku menghina dan merendahkan bukan hanya berdampak negatif bagi objek yang disasarkan melainkan juga turut mengenai subjek yang melakukan.
Oleh karena itu jika ada kelompok-kelompok umat Islam yang saling menghina, maka yang merasakan dampak negatifnya tidak hanya kelompok-kelompok tersebut. Namun Islam sebagai payung yang mereka bawa juga turut serta terkena imbasnya. Citra Islam sebagai agama yang membawa kedamaian bisa saja luntur akibat ulah penganutnya yang gemar menyulut api perpecahan dengan berperilaku suka menghina dan merendahkan.
Pada redaksi (وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِ) al-Alusi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laqab (gelar) dalam redaksi ayat tersebut ialah laqab yang buruk. Maka pemberian gelar-gelar panggilan kepada orang lain yang sifatnya penghormatan dan tidak dengan tujuan merendahkan dikecualikan (diperbolehkan). Seperti halnya Gus Baha’ yang digelari “manusia al-Qur’an”, maka itu sah-sah saja. Dan bentuk terburuknya terdapat pada redaksi selanjutnya (بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِ), menyebut seorang muslim sebagai fasiq tanpa ada tujuan selain menghina dan merendahkan.
Redaksi terakhir dari ayat ini (وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ) memberikan penegasan bahwa perilaku menghina dan merendahkan merupakan bagian dari tindak kedzaliman. Maka seseorang yang melakukan tindakan negatif tersebut haruslah bertaubat dan tidak mengulanginya. Sebab itu adalah aturan agama yang seharusnya dipergunakan untuk menjadi pedoman kehidupan dan bagi yang melanggarnya terdapat konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia (terjerat pasal undang-undang) maupun di akhirat.
Ada beberapa poin pokok penafsiran yang dapat diuraikan dan dijadikan sebagai pedoman dalam mencegah perilaku suka menghina dan merendahkan. Pertama, mencegah diri dari rasa “paling” dengan selalu melakukan muhasabah (penilaian diri) sebelum menilai orang lain. Kedua, menanamkan keyakinan dalam hati bahwa hanya Allah yang mengetahui hakikat kualitas masing-masing individu serta meyakini bahwa masing-masing individu memiliki sisi kelebihan dan kekurangan.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan
Ketiga, memikirkan dampak bahwa perilaku menghina dan merendahkan akan menghasilkan rantai penghinaan dan perendahan, sebab itu merupakan bentuk balasan di dunia bagi perilaku manusia. Keempat, memikirkan dampak dari perilaku suka menghina dan merendahkan terhadap citra Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan menjunjung kerukunan. Kelima, selalu mengutamakan sopan-santun dalam berkehidupan sosial, salah satunya dengan tidak menyebut orang lain dengan gelar-gelar negatif.
Terakhir, menjaga kerukunan dengan tidak saling menghina dan merendahkan (mengedepankan humanisme) merupakan hal yang wajib dilakukan dalam status sebagai umat beragama maupun sebagai masyarakat Indonesia. Sebab kerukunan akan membawa pada persatuan, dan persatuan akan mewujudkan etos kerakyatan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (hilangnya kesenjangan dalam kehidupan sosial). Wallahu a’lam.