النقاب عادة و ليس عبادة
“Niqab adalah adat, dan bukan Ibadah”
Begitulah judul kitab yang di tulis oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, seorang politisi akademisi mesir yang menjabat sebagai menteri pemberdayaan agama di Mesir, dan juga merupakan Wakil rektor di Universitas Al-Azhar. Dalam kitabnya ini diterangkan pendapat para ulama yang mengatakan bahwa Niqab atau yang familiar kita kenal di Indonesia sebagai cadar, adalah pakaian adat kebiasaan masyarakat Arab.
Argumentasi ini dimulai dengan mengetengahkan pendapat dari Jumhur ulama Fiqhi, bahwa sesungguhnya wajah perempuan itu bukanlah aurat. Oleh karenanya, selama ia memakai pakaian yang sopan, yakni tidak menampakkan bagian tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya, maka hal itu dianggap sudah memenuhi kriteria syariat islam dalam hal berpakaian.
Dalil dari keterangan tersebut terdapat pada firman Allah Swt dalam Al-Quran Surah An-Nur ayat 31. Berkaitan dengan ayat tersebut, Imam Ibnu Jarir At-Thabari mengomentari penggalan ayat yang berbunyi
وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“..Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnyal, kecuali yang (biasa) terlihat…”
Baca juga: Surat An-Nur ayat 31, Benarkah Dalil Larangan Selfie Bagi Perempuan?
At-Thabari mengatakan
وأولى الأقوال في ذالك با الصواب قول من قال: يقصد بذالك الوجه والكفان…
“Dan kalimat pertama dari firman tersebutlah yang membenarkan pernyataan bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah wajah dan telapak tangan…”
Komentar Imam At-Thabari ini merujuk kepada kalimat pengecualian yakni “Kecuali yang (biasa) terlihat” sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nur ayat 31. Kemudian, pendapat dari imam At-Thabari tersebut diperkuat oleh komentar dari imam Nawawi. Beliau berkata,
إن عورة الحرة جميع بدنها إلا الوجه والكفين،
“Sesungguhnya aurat wanita (yang merdeka) itu adalah keseluruhan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.”
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a
عند أبي داود وغيره: أن أسماء بنت أبي بكر- رضي الله عنهما – دخلت على رسول الله صلى الله عليه واله وسلم وعليها ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله صلى الله عليه واله وسلم وقال:( يا أسماء أن المرءة أذا بلغة المحيض لم تصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا) وأشار إلى وجهه وكفيه صلى الله عليه وسلم.
Menurut abu bakar dan Lainnya, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakkar r.a masuk kedalam kamar Rasulullah Saw dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Rasulullah Saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai ‘Asma’, jika seorang wanita sedang dalam keadaan haid, tidak pantas baginya terlihat kecuali bagian ini dan ini” sambil beliau menunjuk ke wajah dan telapak tangannya. (HR. Abu Daud)
Syekh Husnain Muhammad Makhluf dalam kitabnya Fatawa Syar’iyyah (Jilid 1, hlm 119) mengatakan
وجه المرأة ليس بعورة عند الحنفية وكثير من الأئمة، فيجوز لها إبداؤه، ويجوز للرجل الأجنبي النظر إليه ، ولكن بغير شهوة..
“wajah perempuan bukanlah aurat menurut mazhab Hanafi dan kebanyakan imam (mazhab), maka wanita diperbolehkan untuk menampakkan (wajah) mereka, dan laki-laki lain boleh melihat (wajah) mereka, Akan tetapi (dengan syarat) Tanpa dibarengi dengan hawa nafsu”
Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 59: Cadar dan Perdebatan yang Melelahkan
Dr. Zaqzuq kemudian menambahkan komentarnya sebagaimana berikut ini.
أما النقاب الذي يستر الوجه فالصحيح أنه ليس واجبا، وأن عورة المرأة المسلمة الحرة جميع بدنها إلا الوجه والكفين، فيجوز لها كشفهما، هذا مذهب جمهور العلماء من الحنفية والمالكية والشافعية وذكر المردوي أنه الصحيح من مذهب أحمد وعليه أصحابه، وهو أيضا مذهب الأوزاعي وأبي ثور وغيرهما من مجتهدي السلف، بل نص المالكية على أن النقاب المرأة مكروه إذا لم تجر عادة أهل بلدها بذلك، وذكروا أنه من الغلو في الدين
“Adapun niqab yang menutupi wajah menurut pendapat yang shahih dihukumi tidak wajib, dan aurat seorang wanita muslimah yang merdeka adalah pada keseluruhan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, sehingga dibolehkan baginya untuk menampakkannya, ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, dan malikiyyah, dan syafi’iyyah, Al-Mardawi menyebutkan sesungguhnya pendapat tersebut dibenarkan oleh mazhab imam Ahmad dan para pengikutnya. Dan juga dari Al-‘Awza’i, Abu Tsawr dan para mujtahid salaf lainnya. Sedangkan, menurut mazhab malikiyyah menyatakan bahwa berniqabnya seorang wanita adalah Makruh (hukumnya) apabila hal itu tidak (biasa) dilakukan oleh orang-orang yang ada di negaranya. Dan disebutkan bahwa sesungguhnya (perbuatan) itu merupakan bagian dari sikap berlebih-lebihan dalam agama”. (An–Niqab, Hlm. 16)
Berangkat dari beberapa dalil inilah kita dapat memahami disamping ada pendapat yang menyatakan wajah dan telapak tangan wanita adalah aurat, kita pun mengenal ternyata ada pendapat lain yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita tidak termasuk aurat.
Pendapat yang disampaikan oleh Dr. Zaqzuq dari kutipan mazhab Malikiyah, dapat disimpulkan bahwa niqab adalah pakaian yang makruh apabila digunakan di daerah dimana orang-orang didalamnya tidak biasa menggunakan pakaian tersebut. Karena Pakaian memang sungguh sangat erat kaitannya dengan adat kebudayaan.
Di negara Makkah, Madinah, Mesir, dan negara-negara arab lain, mereka sudah familiar dengan pakaian Niqab. Sedangkan kita yang hidup di Negara Indonesia mempunyai ciri khas pakaian daerah masing-masing. Di samping itu, kita melihat terdapat stigma di masyarakat Indonesia, bahwa perempuan yang berniqab (bercadar) dianggap sebagai istri teroris, beralirat sesat, radikal, dan sejenis tanggapan negatif lainnya.
Jika yang disampaikan hanyalah dalil-dalil yang menyatakan bahwa niqab itu ibadah (sunnah), bukankah ini sudah bertolak belakang dengan budaya berpakaian di indonesia? Kalau sudah seperti itu, bisa jadi akan berdampak kepada perseteruan argumentasi yang tidak akan pernah berakhir. Terlepas dari konteks keindonesiaan, sejatinya hak berpakaian termasuk niqab tidaklah dilarang, yang dilarang adalah jika niqab itu menutupi hati dan fikirannya sehingga menganggap dirinya merasa lebih baik, dan lebih mulia serta merendahkan orang lain. Wallahu A’lam.