BerandaTafsir TematikCara Elegan Merawat Keberagaman Menurut Al-Quran

Cara Elegan Merawat Keberagaman Menurut Al-Quran

Indonesia merupakan negara yang penduduknya memiliki latar belakang; ras, suku dan agama yang dapat mempengaruhi tingkah laku serta pola pikir setiap individu. Di samping itu juga, umat Islam memiliki tantangan besar dalam konteks demokrasi. Diantaranya ialah paham radikalisme dalam Islam yang memunculkan kelompok-kelompok garis keras. Lantas bagaimana cara merawat keberagaman menurut al-quran?

Ironisnya, muncul juga stigma baru yang berlebel anti-kebhinekaan dan anti-pancasila. Stigma negatif tersebut didukung oleh laporan tindakan intoleransi yang dilakukan antara lain oleh kelompok umat Islam sendiri.

Oleh sebab itu, perlu adanya solusi yang tujuannya ialah untuk mencari titik temu atas kesalah pahaman mengenai Islam dan kebhinekaan. Dalam hal ini, penulis akan menyajikan ayat-ayat yang berkaitan dengan kebhinekaan dan toleransi. Sehingga, dengan mengetahui hakikat perbedaan dan pentingnya toleransi, umat Islam lebih hati-hati dalam bertindak.


Baca juga: Tafsir Kalimat Sawa’: Hidup Damai di Tengah Perbedaan, Kenapa Tidak?


Tafsir Ayat- Ayat Tentang Keberagaman

Dalam Islam, perbedaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari (sunnatullah) dan Islam sangat mengakui hal tersebut, sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S al-Hujurat [26]: 13.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (Q.S al-Hujurat [26]: 13)

Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa Allah swt menciptakan seluruh manusia baik yang bersuku-suku atau yang berbangsa-bangsa ialah berawal dari Nabi Adam dan Siti Hawa. Lantas, mengapa di antara mereka saling mencela dan saling membanggakan diri satu sama lain? Sedangkan mereka semua adalah saudara dalam jalur nasab.

Maksud kata Syu’ub dan Qaba`il, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa Syu’ub berarti orang non-Arab. Sementara Qaba`il ialah orang Arab.

Tujuan Allah swt menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah untuk saling kenal-mengenal bukan untuk saling membanggakan dan mencemooh atau mencaci-maki satu sama lain. Al-Maraghi juga menjelaskan potongan ayat “Inna Akramakum” bahwa ayat tersebut menjadi penyebab larangan untuk mencaci-maki karena sebab nasab.

Sungguh seorang yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah ia yang paling bertakwa, maka berbanggalah dengan ketakwaan bukan karena golongan.


Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran ayat 65-66: Polemik Wacana Sejarah Nabi Ibrahim dalam Al-Quran


Bagi orang mukmin keberagaman juga sebagai ujian dari Allah swt, sebagaimana yang tersirat dalam Q.S al-Maidah [6]: 48.

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja) tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu maka, berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (Q.S al-Maidah [6]: 48)

Pada potongan ayat “Walau Syaa allah Laja’alakum” Ibnu Katsir menyebutkan bahwa seandainya Allah swt berkehendak untuk menjadikan umat baik yang terdahulu ataupun yang sekarang dengan berpegang teguh pada satu agama, satu syari’at tanpa menghapusnya maka, niscaya hal tersebut akan terjadi.

Namun, Allah swt berkehendak mengutus para Rasul dengan membawa syari’at untuk umatnya masing-masing. Lalu, Allah swt menghapusnya atau menggantinya dengan risalah yang lain hingga risalah paling akhir yaitu risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw untuk seluruh umat di bumi dan sebagai akhir para Nabi.


Baca juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Al-Quran


Allah menciptakan syari’at yang berbeda-beda tidak lain tujuannya ialah hanya untuk menguji hambanya, apakah mereka tetap ta’at atau menentang atas syari’at tersebut.

Lalu bagaimana kita menyikapi keberagaman? Dalam Islam, meskipun muslim meyakini bahwa Tuhannya adalah Allah tetapi, bukan berarti diperintah untuk menghina tuhan agama lain. Allah swt berfirman dalam Q.S al-An’am [7]: 180.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S al-An’am [7]: 180).

Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at bahwa melalui ayat tadi, Allah swt memberikan larangan agar tidak mencaci ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) kaum musyrikin walaupun cacian tersebut mengandung kemaslahatan (kebaikan) sebab, mereka juga akan mencaci-maki kembali Tuhan kaum muslimin (Allah) yang Maha Agung.

Oleh karenanya Syaikh Wabah Zuhaili memberikan peringatan apabila suatu keta’atan atau kemaslahatan dapat menimbulkan mafsadah yang lebih besar dari maslahahnya maka, hal tersebut wajib ditinggalkan.

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwasannya keragaaman atau kebhinekaan dalam Islam merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari (sunnatullah).

Allah swt menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa bukan untuk saling mencaci-maki satu sama lain dan saling membanggakan diri karena kelompok tetapi, Allah menciptakan sedemikian ialah untuk saling kenal-mengenal. Bagi Allah, orang yang paling mulia derajatnya ialah mereka yang paling bertakwa bukan karena memiliki golongan yang dibangga-banggakan di dunia.

Islam juga melarang muslim untuk memaki sesembahan agama lain selain Allah. Tentu tujuannya ialah agar terhindar dari konflik sosial-agama yang akan terjadi jika antar umat beragama saling memaki.

Inilah nilai toleransi dalam Islam untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Islam tidak melarang seorang muslim bemuamalah dengan non-muslim dalam hal yang berkaitan dengan dunia. Bahkan dari beberapa ayat di atas, Islam mengajarkan kita agar bermuamalah dengan sipapun tanpa memandang agama, ras dan suku serta tidak memudaratkan satu sama lain.

Wallahu A’lam

 

Lukman el-Hakim
Lukman el-Hakim
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Fithrah Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...