Bagi kalangan pengkaji ulumul Qur’an dan tafsir pasti sudah tidak asing lagi dengan Ibn Katsir dan magnum opusnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim. Ibn Katsir memiliki nama lengkap Imaduddin Abul Fida’ Ismail ibn ‘Amr ibn Katsir ibn Dhoui ibn Katsir ibn Zara’ al-Bashri al-Dimasyqi. Sebagai seorang yang faqih dan merupakan ulama ternama di kalangan madzhab Syafi’i, Ibn Katsir juga digelari dengan sebutan al-Imam al-Jalil al-Hafidz.
Imaduddin kecil lahir pada tahun 700 H di Bushra, Suriah. Di saat usianya baru menginjak 3 tahun ia telah ditinggalkan oleh ayahnya tercinta, lantas di usianya yang ke-7 ia bersama saudaranya Kamaluddin merantau ke Damaskus dan mempelajari khazanah keilmuan Islam di sana. Di usianya yang ke-11 tahun, Ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an lengkap 30 Juz serta telah mempelajari qira’at beserta tafsirnya.
Di antara guru-gurunya yang berhasil membawanya menjadi pemuda yang gemilang dan penuh ilmu ialah Burhanuddin al-Fazari, Ishaq al-Amidi, Ibn ‘Asakir, Ibn Taimiyah dan al-Mizzi—seorang ahli Hadis yang menjadi pemandunya saat mengkhatamkan Tahzib al-Kamal. Al-Mizzi tidak hanya menjadi guru namun juga menjadi mertuanya setelah menikahkan Imaduddin muda dengan putrinya.
Di antara guru yang paling mempengaruhi pemikirannya ialah Ibn Taimiyah. Ibn Qadhi Syuhbah dalam Thabaqat-nya mengatakan bahwa antara Ibn Katsir dan Ibn Taimiyah terjalin sebuah ikatan khusus yang pada akhirnya mempengaruhi sebagian besar pemikiran Ibn Katsir. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim merupakan wujud aplikatif dari kaidah tafsir yang ditulis oleh Ibn Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir.
Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb
Sebagai seorang ulama yang dinilai memiliki derajat keilmuan yang tinggi, Ibn Katsir memiliki warisan keilmuan yang termaktub dalam karya-karyanya. Adapun di antara karya-karya peninggalannya ialah magnum opusnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, kemudian al-Ahkam dalam bidang fiqh namun sayangnya belum terselesaikan secara lengkap, lalu al-Bidayah wa al-Nihayah dalam bidang Tarikh/Sejarah dan al-Mukhtashar serta Syarh Shahih al-Bukhari dalam bidang Hadis.
Ibn Katsir wafat di bulan Sya’ban pada tahun 774 H di Damaskus dan dikebumikan di samping makam gurunya Ibn Taimiyah di pemakaman al-Shufiyah.
Mengulas Secara Ringkas Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim
Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim merupakan salah satu kitab tafsir bil ma’tsur yang terkenal. Dikatakan bahwa kitab ini merupakan kitab nomer dua setelah kitab tafsir karangan Ibn Jarir al-Thabari. Sebagai kitab tafsir bil ma’tsur, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim memuat banyak sekali riwayat penafsiran salaf.
Salah satu hal menarik dari kitab tafsir karangan al-Imam al-Jalil al-Hafidz ini ialah pada bagian pendahuluannya yang panjang. Di dalamnya, Ibn Katsir menuliskan semacam pengantar mengenai ilmu al-Qur’an dan tafsir. Namun setelah ditelusuri ternyata sebagian besar isinya merupakan salinan dari tulisan gurunya, Ibn Taimiyah, yang bisa dilihat dalam kitab Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir.
Dari sisi isi penafsirannya, Ibn Katsir menuliskan penafsiran dengan kalimat yang mudah serta diperingkas. Adapun jika ditilik dari sisi metodologi penafsirannya, Ia biasanya melakukan penafsiran dengan metode tafsirul qur’an bil qur’an. Lalu menambahkan riwayat-riwayat yang sesuai dengan pembahasan ayat baik berupa hadis maupun atsar.
Ibn Katsir tidak hanya mengutip dan menempelkan riwayat dalam penafsirannya, ia juga menerapkan analisis kritis terhadapnya dengan mengomentari dari sisi validitasnya. Hal ini menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang yang menguasai keilmuan hadis. Selanjutnya ia juga mengutip dari kitab-kitab para mufassir pendahulunya seperti Ibn Jarir.
Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir
Adapun dalam menanggapi riwayat Isra’iliyat, Ibn Katsir bisa dikatakan cukup memperhatikan dan berhati-hati dalam menyikapinya. Dalam beberapa ayat yang oleh kebanyakan riwayat tafsir salaf disisipkan riwayat Isra’iliyat seperti Q.S. al-Baqarah [2]: 67, ia menuturkan:
وهذه السياقات عن عبيدة وأبي العالية والسدي وغيرهم، فيها اختلاف، والظاهر أنها مأخوذة من كتب بني إسرائيل، وهي مما يجوز نقلها ولكن لا تصدق ولا تكذب، فلهذا لا يعتمد عليها إلا ما وافق الحق عندنا. والله أعلم.
“Beberapa pendapat mengenai Ubaidah, Abul ‘Aliyah, Al-Suddi dan selainnya, di dalamnya terdapat perbedaan pandangan (mengenai siapa yang dimaksudkan dalam kisah). Adapun yang pasti bahwa kisah tersebut diambil dari kitab-kitab bani Israil. Maka kisah itu pada dasarnya boleh dinukil akan tetapi tidak boleh serta merta dipercaya begitu saja maupun ditolak mentah-mentah. Oleh sebab itu (harus dipilah) dan yang boleh dijadikan sandaran adalah yang valid.”
Begitulah kiranya ulasan ringkas mengenai Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim karya Ibn Katsir yang menjadi salah satu dari kitab tafsir yang wajib diketahui dan dikaji oleh peminat kajian ilmu al-Qur’an dan tafsir. Wallahu a’lam.