Salah satu mufasir nusantara yang menulis tafsirnya dengan aksara pegon dan makna gandul ialah Kiai Misbah Mustafa. Beliau merupakan penulis kitab tafsir Al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil dan Taj al-Muslimin. Kedua tafsir ini menggunakan bahasa Jawa pegon dan makna gandul guna memudahkan masyarakat Jawa dalam memahami dan mencerna makna atau kandungan Al-Quran.
Kiai Misbah juga melihat kondisi sosio-kultural masyarakatnya di mana saat itu cenderung tidak mementingkan keseimbangan dunia dan akhirat. Dengan kehadiran tafsir ini, Kiai Misbah berharap dapat menggembleng umat Muslim untuk lebih memperkokoh kehidupannya agar tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan yang negatif.
Biografi Kiai Misbah
Kiai Misbah Mustafa lahir pada tahun 1917 M dari H. Zainal Mustafa dan Nyai Chadijah di Kampung Sawahan, Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. Beliau merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yakni Mashadi (dikenal dengan nama Bisri Mustafa), Salamah (dikenal dengan nama Aminah), Misbah, dan Ma’shum. Ayahnya adalah seorang saudagar yang dikenal dermawan.
Kiai Misbah mengawali karir intelektualnya di SR (sekolah rakyat). Selepas dari SR ia belajar di pesantren Kasinan Rembang pada 1928 M mengikuti jejak kakaknya, KH. Bisri Mustafa. Di pesantren ini, ia banyak belajar ilmu gramatikal B. Arab (nahwu, sharaf) antara lain Jurumiyah, Imriti, dan Alfiyah ibn Malik.
Baca juga: Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi
Dikisahkan, saat belajar di pesantren ini, beliau mengkhatamkan kitab Alfiyah sebanyak 27 kali. Itulah sebabnya, beliau dikenal mahir dan piawai di bidang gramatikal bahasa Arab dan berkat kemampuannya ini menjadi bekal dirinya dalam memahami teks-teks keagamaan dengan baik. Selain ilmu tersebut, beliau juga mendalami berbagai bidang keilmuan Islam, seperti fikih, kalam, tafsir, hadits, dan tasawuf.
Kemudian, di tahun 1357 H Kiai Misbah melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari, ia belajar berbagai bidang ilmu keislaman, saat itu beliau sudah masyhur akan ilmu gramatikal bahasa Arab. Karena kecakapannya itulah, beliau sering dijadikan guru atau rujukan belajar bagi teman-temannya dan disegani.
Pasca berguru beberapa tahun kepada sang Guru, pendiri NU tersebut, Kiai Misbah pulang ke Rembang. Pada tahun 1948 ia dijodohkan dengan Masrurah, cucu dari Kh. Ahmad bin Su’ib. Nyai Masrurah adalah putri KH. Ridwan, pengasuh pondok pesantren Al-Balagh, Bangilan, Tuban. Saat itu usianya telah menginjak 31 tahun.
Setelah menikahi Nyai Masrurah, oleh KH. Ridwan diminta untuk hijrah ke Bangilan dan diamanahi untuk mengajar di pesantren tersebut. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam mengajarkan berbagai bidang ilmu keislaman, oleh mertuanya tersebut pesantren dengan segala manajemen dan kegiatannya diserahkan sepenuhnya kepada Kiai Misbah untuk dikelola sepenuhnya.
Di pesantren milik mertuanya inilah, Kiai Misbah menjalani hidupnya dengan mengajar dan menulis. Beliau dikenal sebagai seorang guru yang istiqamah, disiplin, dan tegas dalam mendidik para santri. Beliau memakai model sorogan dan bandongan. Terkait dedikasinya sebagai guru, dikisahkan oleh santrinya setiap Kiai Misbah selepas kegiatan di luar pondok, beliau selalu menyempatkan mengajar santri-santrinya terlebih dahulu.
Selain mengajar, Kiai Misbah juga memanfaatkan waktu senggangnya untuk menulis dan menerjemah berbagai kitab keagamaan. Kiai Muhammad Nafis, putra beliau mengisahkan bahwa Kiai Misbah sangat istiqamah dan disiplin dalam menulis. Bahkan beliau tidak berkenan menerima tamu yang tidak ada “urusan penting” dan hal yang demikian itu dimaklumatkan dalam bentuk tulisan yang ditempel di pintu rumah. Sepanjang hayatnya, Kiai Misbah berdakwah dari dan di pesantren dengan mengajar, menulis, berdakwah melalui lisan di tengah masyarakat.
Beliau juga sempat aktif berpolitik, tercatat beliau aktif di Masyumi, Partai Persatuan Indonesia (PII), Golkar, kemudian beliau keluar, dan kembali ke jati dirinya sebagai pengasuh pesantren sebagai pengajar dan menulis beberapa kitab salaf yang beraksara Pegon. Beliau menyadari bahwa mengajar, menulis dan menerjemahkan kitab merupakan salah satu jalan dakwah yang paling efektif, jauh dari kepentingan pragmatis dan bersifat abadi.
Kiai Misbah wafat pada Senin 7 Dzulqa’dah 1414 H/ 18 April 1994 M, dalam usia 78 tahun, meninggalkan dua orang istri dan lima orang anak, yaitu Syamsiyah, Hamnah, Abdul Malik, Muhammad Nafis, dan Ahmad Rafiiq. Beliau juga meninggalkan karya berupa kitab tafsir berjudul Taj Al-Muslimin yang tengah ditulis dan baru sampai pada jilid keempat dan enam kitab yang belum sempatt diberi judul.
Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili
Karya-karya Kiai Misbah
Selain mengajar, Kiai Misbah juga termasuk kiai dan ulama yang produktif, Kiai Muhammad Nafis, putra beliau menuturkan bahwa setiap hari kiai Misbah setiap hari tidak kurang menulis dari 100 halaman dengan lima orang sebagai juru tulis dan melahirkan 200 judul buku. Namun berpijak pada data-data yang ditemukan, karya-karyanya belum bisa dihitung secara pasti, karena sangking banyaknya karya beliau yang terdiri dari pelbagai disiplin keilmuan mulai dari grmatika bahasa Arab, fikih, tafsir, hadis hingga tasawuf baik karya asli maupun terjemahan.
Berikut karya-karya beliau,
Di bidang tafsir, beliau menulis Tafsir al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil dan Taj al-Muslimin, dengan menggunakan aksaran bahasa Jawa Pegon. Beliau pernah juga menerjemahkan Tafsir Jalalain disertai penjelasannya dalam bahasa Jawa Pegon berjudul Nibras al-Muslimin. Di bidang hadis, ia menerjemahkan beberapa kitab turats dalam bahasa Jawa Pegon, seperti Kitab Riyadhus Shalihin, al-Jami’ al-Shagir, Bulughul Maram, dan Arba’in an-Nawawi.
Di bidang fiqih, beliau menerjemahkan Fathul Qarib, Fathul Majid, Safinatun Najah, Al-Muhazab, Fathul Mu’in, Masa’il al-Barzakiyyah, dan Kifayatul Akhyar. Adapun karya asli beliau di bidang fiqih, di antaranya Al-Mabadi’ al-Fiqhiyyah, Masa’il al-Jana’iz, Fashalatan, dan Manasik Haji, An-Nur al-Mubin, Masa’il an-Nisa’, Masa’il ar-Rijal, Fusul al-Arba’iniyah, dan Anda Ahlussunah Anda Bermadzhab.
Di bidang gramatikal bahasa Arab, beliau menerjemahkan kitab Matan al-Jurumiyyah, Jawahir al-Kalamiyah, As-Sharf al-Wad, dan Nadm Qawa’id al-I’raf. Juga menulis mandiri Sullam al-Nahwi. Di bidang Akhlak, beliau menerjemahkan Nasaihul ‘Ibad, Tanbihul Gafilin, Qurratul ‘Uyun, Bidayah al-Hidayah, ‘Aqidatul Awam, Hidayah al-Syibyan, dan Khairradah al-Bahiyyah.
Adapun karya orisinalnya di bidang akhlak adalah Al-Tazkirah al-Haniyah fi Khutbah al-Jum’ah, dan Al-Jawahir al-‘Alamiyah min Asyrar as-Sa’ah. Di bidang tasawuf, ia menerjemahkan Irsyad al-Asya’ri, Syarh Al-Hikam, dan Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Kemudian juga menulis Mu’awanah wa Mudahirah wa Muwazirah, dan Khizb an-Nasr.
Karya-karyanya di atas menunjukkan kecakapan dan keluasan samudera keilmuannya, dipakainya aksara bahasa Jawa Pegon di hampir semua karyanya-nya merupakan ekspresi seorang ulama yang hidup dan dibesarkan dalam tradisi pesantrean. Sekaligus beliau melalui karyanya hendak menunjukkan makna tersirat “Jadilah bangsa yang mengindonesia”, dalam artian mengindonesia di sini adalah salah satunya penggunaan aksara Pegon dalam semua karyanya. Beliau sangat menyadari bahwa para pembaca, kultur sosial-budaya masyarakatnya adalah orang-orang pesantren yang sehari-hari menggunakan aksara Pegon. Wallahu A’lam.