BerandaTafsir TematikIsyarat Larangan Taklid Buta: Tafsir Al-Baqarah Ayat 170

Isyarat Larangan Taklid Buta: Tafsir Al-Baqarah Ayat 170

Sejak pertama dilahirkan ke dunia, seorang manusia sedikit demi sedikit akan mempelajari lingkungan disekitarnya dengan berbagai pola interaksi dan sosialisasi. Pada fase ini ia akan mengamati, memperhatikan, dan menerima nilai-nilai dari masyarakat tempat tinggalnya. Biasanya, ia akan mengakui apa diakui oleh masyarakat, begitu pula sebaliknya. Bahkan tidak jarang ia mengikuti suatu hal yang tidak diketahuinya (taklid buta).

Taklid atau mengikuti suatu hal dari orang tua maupun orang lain adalah sesuatu yang wajar, bahkan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari seorang manusia, khususnya ketika ia masih kecil. Saat itu boleh jadi ia mengikuti atau meniru sebagian dari apa yang dilakukan ayah, atau ibunya, atau bahkan kakek dan neneknya tanpa mengetahui hakikat perbuatan itu sendiri (Tafsir Al-Misbah [1]:  382).

Seiring perkembangan fisik dan mental menuju kedewasaan (baligh), seseorang sedikit demi sedikit akan mulai memahami perkataan dan tindakan apa saja yang ia lakukan. Pada titik ini ia dituntut untuk mempertimbangkan berbagai hal yang akan dilakukan. Ia akan mempertanggungjawabkan akibat dari semua perkataan maupun perbuatannya. Pada tahap ini hukum dan norma telah berlaku baginya.


Baca juga: Memakan Tulisan Al-Quran, Bolehkah?


Ketika seorang manusia memasuki fase dewasa, ia harus cermat dalam mengikuti dan mengamalkan tradisi. Karena para orang tua sebagai agen pembawa tradisi tidak mustahil keliru dalam tindakannya, baik akibat kelengahan, kebodohan, atau keteperdayaan oleh setan. Di sinilah akal – anugerah terbesar Allah Swt setelah wahyu – berfungsi sebagai tolak ukur dan barometer kehidupan manusia.

Selain melalui perantara akal, manusia juga dibimbing oleh wahyu untuk menentukan kebenaran. Akal berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan wahyu dan pada saat itu pula akal dipandu wahyu agar tidak terpengaruh berbagai kecenderungan negatif. Mereka yang tidak menggunakan akalnya – terutama yang bertaklid buta – akan mendapat kritik oleh Allah Swt.


Baca juga: Selisih Keutamaan Antar Ayat dan Surat dalam Al-Quran, Benarkah Ada?


Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 170

Berkenaan dengan taklid buta, Allah Swt berfirman:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ١٧٠

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 170)

Secara umum, ayat di atas berisi isyarat larangan taklid buta kepada leluhur maupun orang lain dalam melakukan suatu perbuatan. Dalam ayat ini seakan-akan Allah berfirman, “dan apabila dikatakan kepada mereka yang melakukan taklid buta, “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah berupa Al-Qur’an dan sunah,” mereka menjawab, “(tidak), kami tidak mengikutinya, kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).”

Mereka juga beralasan bahwa apa yang dilakukan nenek moyang mereka tersebut adalah suatu tradisi yang harus dipertahankan dengan segala cara. Lalu Allah Swt mengkritik pendapat mereka itu, “mereka mengikuti tradisi nenek mereka, padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk. Mereka semua sama-sama sesat dan menyesatkan serta mengabaikan anugerah akal dan wahyu yang Aku berikan.”

Menurut Al-Maraghi makna ayat ini adalah, “ketika dikatakan kepada sekelompok orang musyrik yang mengikuti langkah-langkah setan, “ikutilah apa yang telah Allah Swt turunkan kepada rasulullah”, mereka menjawab, “kami tidak mengetahui apapun kecuali apa yang dilakukan oleh pemimpin, pemuka dan orang-orang tua diantara kami yang merupakan tradisi turun menurun yang harus dilakukan” (Tafsir Al-Maraghi [1]: 56)

Kemudian Allah Swt menolak argumentasi bodoh mereka tersebut, “Apakah kalian tetap mengikuti tradisi nenek moyang kalian sekalipun mereka sama sekali tidak berfikir dan tidak pula mendapatkan hidayah.” Jika diperhatikan dengan seksama, jawaban Allah Swt ini merupakan isyarat larangan taklid buta. Seakan-akan dinyatakan bahwa mereka yang mengikuti nenek moyang tanpa kritis (taklid buta) maka mereka sama bodohnya dengan nenek moyang mereka.


Baca juga: Macam-Macam Bentuk Nafsu Menurut Al-Quran


Menurut Quraish Shihab, ayat ini menunjukkan isyarat larangan taklid buta, bahwa tradisi orang tua sekalipun, tidak dapat diikuti secara membabi-buta kalau tradisi tersebut tidak memiliki dasar-dasar yang dibenarkan oleh agama Islam melalui Al-Qur’an, dan sunah – dua  panduan yang telah Allah Swt turunkan kepada sekalian manusia – atau pertimbangan akal yang sehat.

Di sisi lain, ayat ini juga merupakan kecaman terhadap mereka yang mengikuti tradisi tanpa dasar (taklid buta), bukan kepada mereka yang mengikutinya berdasarkan pertimbangan nalar atau berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Maidah [5]; ayat 104 atau berdasarkan petunjuk Ilahi melalui Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran [3]: ayat 31.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Al-Qur’an mengisyaratkan larangan taklid buta. Ini dikarenakan taklid buta dapat berpotensi sesat dan menyesatkan orang lain. Taklid buta juga secara tidak langsung membuat seseorang mengabaikan anugerah Allah Swt kepada manusia, yakni wahyu dan akal. Keduanya adalah piranti yang harus dimaksimalkan manusia demi kebaikan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...