Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany

tafsir marah labid
tafsir marah labid

Bagi kalangan pesantren tentu tidak asing dengan Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir karangan Begawan Ulama Jawa cum Internasional yaitu Syekh Nawawi al-Bantany (w. 1316 H/ 1897 M). Syekh Nawawi menamai kitab tafsirnya dengan Marah Labid li Kasyf ma’na Qur’an Majid atau yang dikenal dengan Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.

Tafsir ini sangat istimewa karena merupakan tafsir Al-Quran pertama yang ditulis secara lengkap dengan berbahasa Arab oleh ulama asal Nusantara. Selain itu, tafsir ini tercatat sebagai salah satu karya tafsir pada abad ke-19 di dunia Islam, selain Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir.

Latar Belakang dan Tujuan Penulisan

Mustamin Arsyad dalam Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fî al-Tafsir al-Qur’an al-Karim fî Kitabihi “al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzill” mengatakan bahwa cetakan pertama kitab ini bernama Marah Labid dan cetakan keduanya bernama Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil. Kitab tafsir ini dicetak pertama kali di penerbit Abd al-Razzaq, Kairo 1305 H, lalu di penerbit Musthafa al-Bab al-Halabi, Kairo 1355 H. Kemudian diterbitkan lagi di Singapura oleh penerbit al-Haramain hingga empat kali cetak.

Selanjutnya di Indonesia sendiri, kitab ini diterbitkan oleh penerbit Usaha Keluarga, Semarang. Lantas diterbikan pula oleh penerbit al-Maimanah, Arab Saudi dengan nama Tafsir al-Nawawi dalam dua jilid. Di samping itu, pada tahun 1994 kitab ini dicetak kembali oleh penerbit Dar al-Fikr, Beirut dengan nama al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.

Tafsir ini diberi judul dengan Marah Labid, penamaan ini tidak secara eksplisit diutarakan oleh Syekh Nawawi, akan tetapi jika ditelisik dari sudut semantik, Marah berasal dari kata raha-yaruhu-rawah, berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Marah juga menunjukkan tempat (ism makan) dari kata tersebut bermakna al-maudhi’ yaruhu li qaum minhu aw ilaih (tempat istirahat bagi sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan kepadanya mereka kembali).

Sedangkan Labid mempunyai padanan kata dengan labida-yalbadu (berkumpul, mengitari sesuatu). Dalam istilah zoologi (ilmu hewan), labid semakna dengan al-Libadi (sejenis burung yang gemar berada di daratan dan hanya terbang bila diterbangkan). Jadi, secara harfiah “Marah Labid” bemakna Sarang Burung atau istilah lainnya “tempat istirahat yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”.

Dalam konteks ini nampaknya Syekh Nawawi hendak menjadikan kitab tafsirnya sebagai rujukan atau preferensi yang menyenangkan bagi umat Islam agar tidak pernah meninggalkan Al-Quran, dan ingin memberikan jalan keluar bagi masyarakat Muslim yang masih mempertahankan pemahaman tradisional (klasik) dalam memahami Al-Quran. Tafsir ini ditulis sebagai jawaban atas permintaan beberapa teman beliau agar berkenan menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Makkah.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Meski sebenarnya ragu untuk menulisnya karena khawatir termasuk golongan yang disabdakan Nabi saw, من قال ﰲ القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ (siapa yang menafsirkan Al-Quran (hanya) dengan akalnya maka dia telah melakukan kesalahan sekalipun benar tafsirannya), namun setelah menimbang-nimbang dengan seksama, dan penuh ketawadhu’an, beliau memutuskan untuk menulis kitab tafsir ini tanpa tendensi apapun, lebih-lebih berambisi untuk hal yang tidak baik.

Karena itu, Syekh Nawawi hanya akan mengikuti yang dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menafsirkan Al-Quran, seperti beliau merujuk pada standar kitab tafsir yang menurutnya otoritatif, yaitu al-Futuhat al-Iahiyyah karya Sulaiman al-Jamal (W. 1790 M), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 1209 M), al-Siraj al-Munir karya al-Syirbini (w. 1570 M), Tanwir al-Miqbas karya Fairuzabadi (w. 1415 M) dan Irsyad al-‘Aql al-Salim karya Abu Su’ud (w. 1574 M).

Selain lima kitab tafsir di atas, Mustamin dalam Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fî al-Tafsir al-Qur’an al-Karim fî Kitabihi “al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzill” melihat masih ada beberapa rujukan lain yang dipakai Syekh Nawawi di antaranya, Jami’ al-Bayan karya At-Thabary (w. 310 H), Tafsir Al-Quran al-Azhim karya Ibnu Katsir (w. 774 H), Al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi (w. 911 H), dan al-Jami li Ahkam al-Quran karya Al-Qurthuby (w. 671 H).

Baca juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

Metode Penafsiran

Marah Labid termasuk dalam tafsir metode ijmali, di mana Syekh Nawawi berusaha meringkas mungkin akan tetapi juga mencakup banyak hal dengan menggabungkan dan menautkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang ringkas, sederhana dan mudah dipahami. Pada awal Surat Yusuf, misalnya,

سورة يوسف عليه السﻼم مكية وهي مائة واحدي عشرة آية وألف وتسعمائة وست وتسعون كلمة وسبع آﻻف ومائة وستة وسبعون حرفا )بسم اﷲ الرﲪن الرحيم (وعن ابن عباس أنه قال سألت اليهود النﱯ صلي اﷲ عليه وسلم فقالوا حدثنا عن أمر يعقوب وولده وشأن يوسف فنزلت هذه السورة )الر تلك آيات الكتاب اﳌبﲔ (اي تلك اﻻيات الﱵ نزلت اليك ﰲ هذه السورة اﳌسماة الر هي آيات الكتاب اﳌبﲔ وهو القرآن الذي بﲔ اﳍدي وقصص اﻻولﲔ

Setelah menyebutkan identitas surat dan status makki atau madani, Syekh Nawawi selalu menerangkan dulu jumlah ayat, kata (kalimat) dan huru suatu surat. Pola demikian ini beliau lakukan dengan mengikuti langkah kitab tafsirnya Abu Su’ud dan al-Sirah al-Munir di mana selalu menyebut jumlah ayat, kata, dan huruf setiap surat.

Selain itu, Syekh Nawawi mencantumkan sabab nuzul dengan memotong sanadnya dan langsung menyebutkan sumbernya dari sahabat, sehingga lebih ringkas secara metodologis. Menurut penelitian Mustamin dalam disertasinya di Al Azhar, Kairo, pola seperti ini tidak selalu sama untuk setiap surat.

Kadang kala Syekh Nawawi memulainya dengan makna ayat secara umum, pun membahas i’rabnya, hadis yang menafsirkan ayatnya, bisa dikatakan polanya cukup variatif sesuai konteks yang melingkupi dan pertimbangan Syekh Nawawi mana yang sekiranya dianggap lebih ditonjolkan untuk mendapatkan penjelasan di muka.

Sekalipun didominasi pola ijmali, terkadang Marah Labid juga menerangkan ayat secara detail layaknya tafsir tahlili, seperti ketika menafsirkan Q.S, Al-Hasyr ayat 16, beliau menghabiskan satu halaman penuh. Dari segi bentuk penafsirannya, Marah Laid termasuk perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma`tsur dan bi al-ra’yi.

Syekh Nawawi juga banyak mengutip qaul sahabat sebagai sumber penafsirannya seperti qaul Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan sebagainya. Pun tak terkecuali sumber dari tabi’in. Dalam konteks tafsir bi al-ra’yi, Syekh Nawawi memahami term al-ra’yi bukan berarti bahwa seseorang boleh menafsirkan Al-Quran dengan akal secara mutlak tanpa dibekali seperangkat ilmu yang memadai guna alat bantunya. Menurutnya bi al-ra’yi adalah seseorang berijtihad memahami Al-Quran yang berlandaskan kepada perangkat ilmiyah dan syar’iyyah, atau yang dikenal syuruth al-mufasir.

Dengan demikian, tak heran apabila Tafsir Marah Labid mendapat pengakuan dari Universitas Al Azhar, Mesir dan dijadikan sebagai rujukan bagi ulama internasional dan pelajar dunia yang dibuktikan kitab ini dicetak hingga ratusan kali. Ia juga menjadi rujukan utama berbagai pesantren di Indonesia, terutama di Jawa. Wallahu A’lam.