Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Surat Ar-Rum Ayat 41
Surat Ar-Rum Ayat 41

Artikel singkat ini akan menguraikan salah satu pembahasan dalam karya Yusuf al-Qaradhawi berjudul Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam. Dalam karya tersebut ada salah satu pembahasan menarik mengenai penafsiran Surat Ar-Rum Ayat 41 yang secara garis besar menyoal manusia dan krisis ekologis.

Sebelum masuk dalam penafsiran Yusuf al-Qaradhawi, mari kita simak terlebih dahulu lafadz Surat Ar-Rum Ayat 41 dan terjemahnya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Surat Ar-Rum Ayat 41)

Dalam membuka pembahasan tentang penafsirkan ayat ini, Yusuf al-Qaradahawi dengan tegas menekankan bahwa Islam telah mengatakan penyebab terjadinya kerusakan terhadap lingkungan merupakan perbuatan manusia yang korup, sikap eksploitatif dan destruktif (tasarrufat al-insan al-munharifah). Surat Ar-Rum Ayat 41 ini yang menjadi landasan argumentasinya.

Baginya, kata fasad dalam ayat ini tidaklah dimaknai secara maknawi yakni berupa kemaksiatan, kemungkaran dan perbuatan keji. Namun, lebih kepada bentuk konkret kerusakan itu sendiri yang disebabkan oleh tindakan manusia (bima kasabat a’id al-nas). Maka secara sederhana, fasad yang dimaksud dalam ayat ini adalah akumulasi dari tindakan non-etis manusia terhadap lingkungan secara berulang-ulang.

Kemudian ia mengambil beberapa penafsiran yang memiliki frekuensi yang sama dengan pendapatnya. Di antaranya adalah penafsiran Al-Alusi dan Ibn ‘Asyur. Keduanya berpendapat bahwa fasad yang dimaksud dalam Surat Ar-Rum Ayat 41 adalah hilangnya kebermanfaatan dan munculnya krisis-krisis di bumi, baik berupa krisis pangan nabati maupun hewani.

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Selanjutnya dalam menafsirkan penggalan ayat liyudziqahum ba’da alladzi ‘amilu, al-Qaradahawi mengatakan bahwa Tuhan tidak akan menghukumi manusia sepenuhnya dari apa yang telah mereka perbuat, melainkan hanya menimpakan separuhnya agar manusia merasakan dampak dari apa yang mereka lakukan.

Lalu ia pun mengutip QS. al-Fatir [35]: 45 sebagai dasar argumentasinya. La’allahum yarji’un, ia menafsirkan penggalan akhir ayat ini dengan berpendapat bahwa balasan yang Tuhan berikan kepada manusia berupa setengah dari apa yang telah mereka lakukan merupakan cara Tuhan untuk memberikan pengajaran bagi manusia agar menyadari apa telah dilakukan dan membenahi kembali apa yang telah dirusak.

Kemudian ia memberikan statement penutup terhadap penafsirannya, “sesungguhnya rusaknya alam disebabkan oleh rusaknya (etika) manusia, alam tidak akan menjadi baik sebelum manusia memiliki etika yang baik terhadapnya. Dan manusia tidak akan memiliki etika yang baik kecuali kedua hal yang dimilikinya baik yakni akal dan hati. Maka benarlah Tuhan yang telah berfirman bahwa Ia tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu berinisiasi mengubah dirinya sendiri (QS. al-Ra’d [13]: 11)”.

Statement penutup ini mengisyaratkan bahwa ia benar-benar mengharapkan bahwa manusia dapat mengubah mind set dan etikanya terhadap lingkungan. Sebab selama ini lingkungan dapat dikatakan dinilai sebagai makhluk kelas dua di bawah manusia dan bisa diperlakukan layaknya budak.

Bentuk Tindakan Amoral Manusia Terhadap Lingkungan

Adapun setelah menafsirkan ayat tersebut, al-Qaradhawi memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai istilah dari bentuk tindakan-tindakan manusia yang berpotensi untuk merusak lingkungan.

Pertama, taghyir khalq Allah. Dengan mengutip Q.S al-Nisa’ [4]: 119, ia kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mengubah ciptaan Tuhan adalah tindakan manusia yang menyelisihi fitrah dari ketetapan suatu ciptaan yang telah ditetapkan Tuhan.

Seperti manusia yang telah diberikan Tuhan anugrah berupa udara segar yang dengannya manusia dapat bernafas dengan baik maupun air yang bersih, lalu dicemari oleh manusia dengan polutan industri yang tidak menaati aturan ambang batas keamanan polutan yang ada maka tindakan itu telah merusak fitrah dari udara maupun air tersebut.

Kedua, al-zulmu. Ia menjelaskan bahwa zalim merupakan lawan dari adil dan dalam konteks ekologis, zalim di sini bermakna bahwa manusia tidak melakukan interaksi yang baik dengan lingkungan yang semestinya diperlakukan sama dalam memperlakukan sesama manusia.

Ketiga, al-‘uluw fi al-ard. Adapun yang dimaksud menyombongkan diri dalam konteks ini adalah tindakan manusia yang merasa menguasai alam sehingga bisa berlaku semena-mena terhadap alam dan melupakan akan adanya pemilik alam sejati. Dalam menjelaskan poin ini, Qardawi menyetir kisah Fir’aun yang termaktub dalam Q.S. al-Qashshash [28]: 4 dan 38.

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Keempat, ittiba’ al-hawa’, dalam konteks ini yang dimaksud adalah manusia mengikuti hawa nafsunya semata dan mengabaikan pikiran jernih serta hatinya dalam mengeksploitasi alam.

Ia mengutip Q.S al-Furqan [25]: 43-44 yang menyatakan bahwa manusia yang menyembah hawa nafsunya tidak ada bedanya dengan binatang yang tidak berakal dan bahkan lebih buruk, sebagai gambaran bagi manusia yang eksploitatif dan destruktif terhadap alam.

Kelima, inhiraf ‘an mizan al-kauni. Ia menjelaskan bahwa alam semesta ini memiliki takaran keseimbangan dan ini direpresentasikan dalam Al-Qur’an dengan pernyataan bahwa segala yang ada di alam semesta ini diciptakan dengan qadr-miqdar (Q.S al-Ra’d [13]: 8, Q.S al-Mu’minun [23]: 18, Q.S al-Hijr [15]: 19).

Maka keseimbangan alam ini harus dijaga oleh manusia dengan tidak bersikap ifrath dan tafrith atau tidak menyianyiakan alam dan tidak mengeksplotasinya dengan berlebihan. Oleh karena itu, manusia harus mampu bersikap adil dalam memperlakukan alam, artinya memanfaatkan apa yang ada di alam ini dengan sesuai kebutuhan serta berlaku ihsan dengan memberikan hak-hak alam sehingga keseimbangan alam tetap terjaga.

Terakhir, al-kufr bi an‘am Allah. Syukur menjadi salah satu konsep dalam Islam yang menekankan adanya rasa terimakasih atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan.

Dalam Al-Qur’an, ayat tentang syukur yang paling masyhur dikemukakan adalah Q.S Ibrahim [14]: 7. Baginya, konsep syukur ini dalam konteks eko-teologis tidak boleh hanya dicukupkan dengan ungkapan ekspresif semata, namun harus lebih luas yakni dengan menjaga kenikmatan yang telah diberikan (muhafazah ‘ala al-ni’mah). Wallahu A’lam.