Tafsiralquran.id – Al-Qur’an hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai kitab cinta bagi umat Islam. Di dalamnya berisikan pesan-pesan yang ingin Allah swt sampaikan kepada makhluk-Nya. Melalui al-Quran Allah senantiasa mengajak makhluk-Nya untuk berinteraksi dengan diksi yang variatif. Agar interaksi Allah kepada manusia berlangsung dengan baik, sudah menjadi tugas manusia untuk berupaya memahami pesan-pesan yang hendak Allah sampaikan dalam ayat-Nya tersebut.
Historitas menjelaskan, teks al-Quran yang disampaikan dengan bahasa Arab ini memiliki tingkat sastra yang sangat tinggi, sehingga mampu mengalahkan ribuan syair para pujangga di semenanjung Arab kala itu, keistimewaan inilah yang kemudian menjadikan al-Qur’an tiada tanding serta menjadi kitab peripurna sepanjang masa.
Sejauh ini, kapasitas manusia yang serba terbatas menjadi problem umat dalam menangkap makna al-Quran. Bahkan orang Arab dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tergolong dekat dengan Nabi sekalipun tidak mampu menangkap pesan ilahi secara sempurna. Misal pada kisah seorang sahabat Nabi bernama Adi bin Hatim yang mendapati kebingungan terkait prihal puasa dalam al-Quran :
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ لْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
Sebab kebingungannya, sahabat ‘Adi bin Hatim mengambil benang putih dan benang hitam seraya melihatnya, namun ia tak kunjung mendapat jawaban terkait maksud ayat tersebut, sehingga pagi harinya ia menanyakan perihal tersebut kepada Nabi. Maka Nabi menjelaskan bahwa al-khaithul abyadhi bermakna siang, sedangkan al-khaitul aswadi bermakna malam.
Dalam hal ini, sudah menjadi tugas Nabi untuk memberikan penjelasan atas wahyu yang diturunkan kepadanya, namun setalah Nabi wafat, kesulitan itu menyadarkan para sahabat dan generasi berikutnya dalam memahami al-Quran. Terlebih perkembangan Islam yang semakin meluas di penjuru dunia membuat para Ulama berusaha keras mencetuskan berbagai cabang ilmu Ulumul Quran sebagai rambu-rambu dalam memahami al-Quran agar manusia mampu mengetahui pesan yang terkandung dalam kitab cinta tersebut.
Sebagaimana TM Hasbi al-Siddiqie dalam bukunya menjelaskan muatan-muatan yang menjadi ranah kajian ulumul Quran meliputi:
- Ilmu Muwathin al-Nuzul, mengkaji tempat, musim, awal dan akir ayat al-Quran
- Ilmu tawarikh al nuzul, mengkaji seputar turunnya ayat
- Ilmu Asbab al-Nuzul,mengkaji latar belakang turunya ayat.
- Ilmu Qiroaat, mengkaji ragam bacaan al-Quran.
- Ilmu Tawid, mengkaji tata cara membaca al-Quran.
- Ilmu Garibul Quran, mengkaji makna dan lafadz-lafadz yang ganjil.
- Ilmu I’rabul Quran, mengkaji posisi subjek dan objek pada ayat.
- Ilmu Wujuh wa al-Nadzair, mengkaji pilian makna yang paling tepat.
- Ilmu Muhkan dan Mutasyabih, mengkaji makna yang jelas dan makna yang masih ambigu.
- Ilmu Nasikh dan Mansukh, mengkaji ayat-ayat yang diganti.
- Ilmu Badi’ al-Quran, mengkaji keindahan gaya bahasa al-Quran.
- Ilmu I’jaz al-Quran, mengkaji kemukjizatan al-Quran.
- Ilmu Munasabah, mengkaji keserasian ayat dan suroh al-Quran.
- Ilmu Aqsam al-Quran, mengkaji ayat pernyataan sumpah dari Allah.
- Ilmu Amtsilah al-Quran, mengkaji indikasi perumpamaan dalam al-Quran.
- Ilmu Jadal al-Quran, mengkaji ayat-ayat perdebatan dalam al-Quran.
- Ilmu Adab al-Tilawah, mengkaji tentang tata krama membaca al-Quran.
Sedemikian banyak cabang ilmu ‘Ulumul Quran yang dirumuskan oleh para Ulama tidak lain ingin menyampaikan urgensi ilmu-ilmu al-Quran sebagai sarana menggali pesan Tuhan, terlebih akir-akhir ini banyak fenomena pemahaman masyarakat yang keliru dalam memaknai ayat-ayat al-Quran, mereka cenderung memaksakan makna ayat sesuai dengan argumentasi dengan dasar pemahaman yang kosong, hal inilah yang kemudian melahirkan istilah cocokologi ayat.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa manusia dengan keterbatasannya memerlukan ilmu utuk memahami al-Quran. Pun perlu mengetahui ilmu apa saja yang menjadi dasar untuk dapat mengungkap pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Quran.