Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi

Tafsir ilmi atau scientific exegesis merupakan salah satu corak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan teori-teori sains untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ilmi juga dapat disebut sebagai corak penafsiran yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an (Mustaqim, 2016: 136).

Ada beberapa definisi atas tafsir ilmi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh. Misalnya, Fahd al-Rumi yang mengatakan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah ijtihad seorang mufassir dalam menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah (kosmos) al-Quran dengan penemuan ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap waktu dan tempat (al-Rumi, TT: 549).

Muhammad Husein al-Dzahabi juga mengemukakan bahwa yang disebut sebagai tafsir ilmi adalah Tafsir yang dilakukan untuk menentukan istilah-istilah keilmuan dalam ayat-ayat al-Quran dan berijtihad guna memunculkan beberapa ilmu dan pandangan filsafat dari ayat-ayat tersebut (al-Dzahabi, 1409: 474).

Baca Juga: Mengenal Tafsir Ilmi, Tafsir Jawahir Karangan Thanthawi Jauhari

Tafsir ilmi dapat dikatakan terbangun dari paradigma bahwa al-Qur’an tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama atau hal-hal yang terkait dengan ibadah ritual, tetapi juga memuat ilmu-ilmu dan teori-teori ilmu pengetahuan. (Mustaqim, 2016: 136). Di mana bagian inilah (sisi kosmologis) merupakan bagian yang jarang tersentuh (Madjid, 2005: 290).

Dalam perkembangannya, tafsir ilmi tidak lepas dari perdebatan. Menurut pandangan Islah Gusmian, ada sebuah pertanyaan mendasar yang mendorong terjadinya persepsi dan respon yang berbeda-beda di kalangan sarjana al-Qur’an. Jadi manakah yang didahukan antara pemahaman ilmiah yang kemudian dicarikan justifikasinya dari al-Qur’an ataukah pemahaman al-Qur’an yang kemudian menjadi inspirasi bagi riset ilmu pengetahuan? (Gusmian, 2013: 248)

Perdebatan ini setidaknya menyebabkan para sarjana al-Qur’an terbagi dalam tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pembela (al-mudafi’). Kelompok ini berargumen bahwa tradisi tafsir ilmi telah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.

Beberapa bukti empirisnya dapat dilihat dari lahirnya tafsir al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al-Karim yang disusun oleh Tanthawi Jauhari (Jauhari, 1974), kemudian penafsiran Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya yang filosofis dan penuh nuansa sains (al-Razi. 1420). Serta penjelasan Abdul Madjid Abdussalam yang mengklaim bahwa prinsip-prinsip tafsir ilmi sudah diletakkan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad sebelum Fakhruddin al-Razi, dalam magnum opusnya, Ihya ‘Ulumiddin (Syafi’i, 2012: 32).

Adapun argumentasi al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan pandangan mereka adalah Q.S al-An’am: 38 dan Q.S al-Nahl: 89. Dua ayat ini dipahami sebagai informasi bahwa berbagai ilmu pengetahuan memang telah disebutkan dalam al-Qur’an, termasuk teori-teori sains modern. Selain itu, dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan berbagai fenomena dan gejala alam (Mustaqim, 2016: 138).

Kedua, kelompok penolak (al-mu’aridh). Terdapat sejumlah sarjana al-Qur’an yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang kontra. Misalnya, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Syatibi, dan Mahmud Syaltut. Beberapa argumen yang mereka lontarkan diantaranya; 1) al-Qur’an bukan kitab sains melainkan kitab hidayah; 2) tidak perlu melegitimasi ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi dengan al-Qur’an (Khir, 2000: 27).

Ketiga, kelompok moderat. Kelompok ini tidak menolak penggunaan sains dalam menafsirkan al-Qur’an akan tetapi lebih menekankan kepada persyaratan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.

Maka penggunaan kaidah-kaidah tafsir harus tetap diutamakan, baru setelah itu dikombinasikan dengan teori-teori sains yang sudah mapan sehingga akan membantu proses penafsiran al-Qur’an khususnya yang berhubungan dengan ayat-ayat kauniah (Khir, 2000: 27). Beberapa tokoh yang masuk dalam kategori ini diantaranya Hassan al-Banna, Muhammad Abdullah Daraz dan Sayyid Quthb (Muchlisin, 2017: 245).

Baca Juga: Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern

Memang sejatinya al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan. Namun dalam kapasitasnya sebagai kitab hidayah (petunjuk), al-Qur’an memberikan isyarat-isyarat akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan (Mustaqim, 2016: 138).

Sayyid Quthb juga menyebutkan bahwa setiap perkembangan pengetahuan manusia yang mampu menyingkap “tanda-tanda” Tuhan di alam ini akan sangat membantu untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an. Namun asumsi dasar yang harus dipegang dalam memposisikan diri sebagai golongan moderat adalah bahwa al-Qur’an susungguhnya tidak akan bertentangan dengan realitas dan kebenaran objektif ilmiah.