BerandaUlumul QuranMengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

Mengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

Unit-unit wahyu Al-Quran disampaikan kepada nabi Muhammad Saw selama kurang lebih 23 tahun, selaras dengan perkembangan misi kenabian. Sebagian besar sahabat mengetahui proses ini sehingga mereka bisa memahami berbagai konteks historis ayat Al-Quran. Namun ketika kodifikasi Al-Quran dilakukan, muncul beberapa problematika kronologi Al-Quran yang disebabkan ketidakmampuan mushaf utsmani mengakomodir kronologi pewahyuan.

Para sarjana Muslim klasik menyadari permasalahan ini. Mereka menekankan tentang urgensi pengetahuan tentang penanggalan atau aransemen kronologi bagian-bagian Al-Quran dalam rangka memahami kitab suci tersebut. Al-Quran sebagai bagian dari tradisi lisan (oral traditioni) – meskipun telah dibukukan – harus dipahami dalam konteks kelisanan agar maknanya bisa tersampaikan. Karena teks tanpa konteks akan menghasilkan tafsir tak terbatas.

Bagi mufasir klasik, untuk memahami teks Al-Quran secara akurat seseorang memerlukan beberapa piranti khusus, salah satunya adalah pengetahuan tentang konteks pewahyuan. Abu al-Qasim al-Hasan bin Habib al-Nisaburi (w. 406 H), sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi misalnya, menegaskan bahwa seseorang tidak berhak berbicara mengenai Al-Quran tanpa bekal memadai tentang pengetahuan dan problematika kronologi Al-Quran.

Pijakan Awal Dalam Menentukan Kronologi Al-Quran

Pijakan utama para mufasir klasik untuk menentukan penanggalan kronologi Al-Quran adalah riwayat-riwayat dan tafsir sahabat yang masih bercampur baur dengan hadis. Riwayat-riwayat ini biasanya mengungkapkan bahwa bagian tertentu Al-Quran diwahyukan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Misalnya surah al-Anfal [8] dihubungkan dengan perang Khandaq dan surah al-Fath [48] dengan perjanjian Hudaibiyah.

Riwayat-riwayat di atas merupakan data historis yang teramat penting untuk membantu menyusun kronologi Al-Quran, hanya saja riwayat seperti ini jumlahnya sangat terbatas dan umumnya bertalian dengan wahyu-wahyu pada periode Madinah di mana Islam sudah mulai terkonsolidasi. Sedangkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan wahyu-wahyu periode Mekah, jumlahnya sangat sedikit dan sebagian besar data tersebut kurang meyakinkan detailnya.

Riwayat-riwayat semacam ini dalam tradisi kesarjanaan Islam disebuat dalam pembahasan khusus, yakni “sebab-sebab pewahyuan” (asbab alunuzul). Sayangnya, data-data tradisional yang dikumpulkan mufasir klasik memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: minimnya dan ketidaklengkapan data; riwayat-riwayat yang ada sangat rentan terhadap kritik; dan adanya inkonsistensi dalam periwayatan, baik dari sisi perawi maupun isi (matan).

Sekalipun data-data tersebut memiliki berbagai kelemahan, itu semua – baik bersifat historis, semi-historis atau legenda – mesti diterima sebagai pijakan penentuan kronologi Al-Quran. Sikap semacam ini – meskipun menuai kritik – dipegang oleh mayoritas mufasir klasik. Bahkan sebagian sarjana barat seperti Theodor Noldeke juga menggunakan data-data tersebut dengan beberapa filtrasi terhadap riwayat-riwayat yang lemah.

Selain melalui riwayat-riwayat, problematika kronologi Al-Quran juga dapat dilihat secara langsung dari Al-Quran. Beberapa ayat Al-Quran bahkan menyinggung peristiwa tertentu yang pernah terjadi dalam sejarah pewahyuan Al-Quran. Contohnya adalah surah ar-Rum [30]: 2-5, yang menyebutkan kekalahan Bizantium dari Persia. Bagian ini barangkali merujuk kepada peristiwa jatuhnya Kota Yerusalem ke tangan Persia pada 614 M.

Berbeda dari masa Mekah, rujukan-rujukan historis pada periode Madinah bisa diberi penanggalan lebih akurat berdasarkan sumber-sumber lain. Contohnya adalah Perang Badr (624) disebut dalam Ali ‘Imran [3]: 123, Perang Hunain dalam at-Taubah [9]: 25, perubahan kiblat dari Yerusalem ke Makkah di penghujung 623 M atau awal 624 M dalam al-Baqarah [2]: 142-150, penetapan ibadah haji dan ritus-ritusnya di sekitar 624 M dalam al-Baqarah [2]: 158,159; 5:95, dan lain-lain.

Problematika Kronologi Al-Quran Jilid Dua

Problematika kronologi Al-Quran jilid dua dimulai ketika Al-Quran ditetapkan sebagai sumber primer hukum Islam secara yuridis. Penetapan ini berperan signifikan dalam upaya penyusunan aransemen kronologi Al-Quran. Ini tergambar jelas dalam berbagai diskursus tradisional terkait nasikh-mansukh. Para sarjana muslim klasik mengakui adanya perbedaan ayat-ayat Al-Quran secara literal, sehingga mereka berkesimpulan bahwa ada ayat yang terhapus hukumnya.

Jika mereka menemukan ada dua ayat yang membahas konsekuensi hukum tertentu dan ayat-ayat tersebut bertentangan secara literal tanpa bisa dipersatukan, maka mereka akan melakukan penghapusan hukum pada salah satu ayat. Ayat yang paling akhir atau belakangan turun dianggap sebagai ayat penghapus hukum pada ayat yang turun terlebih dahulu. Dengan demikian, konsekuensi hukum sebelumnya diganti dengan konsekuensi hukum terbaru.

Elaborasi doktrin nasikh-mansukh ini bahkan pada abad ke-8 hingga abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang sangat mengerikan dan dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Ibn Syihab al-Zuhri (w. 742) menyebutkan bahwa ada 42 ayat mansukhat, al-Nahhas (w. 949) mengidentifikasi ada 138 ayat mansukhat, dan Ibn Salamah (w. 1020) mengemukakan ada 238 ayat mansukhat. Kecenderungan ini terlihat masih tetap bertahan pada beberapa abad berikutnya.

Pada masa al-Suyuthi, ratusan ayat mansukhat itu telah direduksi menjadi hanya 20 ayat. Sementara pada masa Syah Wali Allah, jumlah ayat yang di-nasakh tinggal 5 ayat. Melihat bagaimana ayat-ayat mansukhat kian lama kian berkurang dalam kuantitasnya seiring dengan berlalunya masa, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) kemudian secara tegas memproklamasikan bahwa di dalam al-Quran tidak terdapat doktrin nasikh-mansukh sebagaimana dipahami para fukaha.

Terlepas dari perdebatan eksistensi doktrin nasikh-mansukh, kehadirannya – disadari atau tidak – telah berpengaruh signifikan terhadap sejarah awal kemunculan problematika kronologi Al-Quran, terutama terkait penentuan penyusunan unit-unit wahyu Al-Quran secara kronologis di kalangan mufasir klasik. Tak jarang, ideologi nasikh-mansukh yang dimiliki mufasir mempengaruhi peletakan urutan ayat tertentu dalam kronologi pewahyuan. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...