Pandangan dan pendapat para ulama tidak lain merupakan hasil dari pemahaman dan penafsiran mereka terhadap agama, yang tentunya akan berpotensi berbeda dengan penafsiran orang lain. Namun mirisnya, mereka yang fanatik akan melakukan kekerasan, baik wacana maupun tindakan untuk membela tafsir atau pemahaman agama yang mereka pilih. Sakralisasi penafsiran agama ini tidak jarang berujung pada sikap anarkis. Melihat fenomena seperti ini, banyak para pemikir muslim yang menawarkan wacana-wacana solutif. Salah satunya adalah Abdul Karim Soroush.
Soroush adalah seorang intelektual, filusuf dan pemikir muslim asal Iran bermazhab Syiah yang berusaha memisahkan antara agama dengan pengetahuan agama. Adanya pemisahan seperti ini penting agar umat muslim bisa membedakan mana yang seharusnya sakral dan tidak bisa berubah dengan mana yang sifatnya profan, relatif dan dinamis.
Biografi dan Perjalanan Karir Intelektual Soroush
Abdul Karim Soroush lahir dengan nama Hossein Hajj Faraj Dabbagh pada tahun 1945 di Teheran, Iran. Ia tumbuh sebagaimana anak-anak pada umumnya dan mengenyam pendidikan dasar sampai menengah atas di kampung halamannya. Ia mendapatkan pendidikan agama terutama seputar tafsir dan fikih pertama kali di Murtazawi High School dan Alawi High School. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Teheran dengan mengambil program studi fisika dan farmasi. [Geliat Reformasi Agama; Menyingkap Argumen Epistemologi Abdul Karim Soroush, hal. 15]
Pada masa-masa inilah ia mulai bersinggungan dengan pemikiran tokoh-tokoh terkenal, baik tokoh Islam maupun tokoh barat. Dalam pengembaraan intelektualnya, ada tiga tokoh yang dianggap sangat berpengaruh dalam konstruksi intelektual Soroush. Mereka adalah Murtadha Muthahhari, seorang filusuf besar Iran modern beralisan Syiah. Kemudian, Mehdi Bazarghan, seorang pemikir besar dengan karyanya The Infinity of The Infinitely Small. Dan yang terakhir adalah Ali Syariati yang kuliah-kuliahnya selalu dihadiri oleh Soroush. [Menggugat Otoritas Tradisi dan Tradisi Agama, hal. 5-8]
Baca Juga: Menilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran
Dari sini terlihat jelas bahwa Abdul Karim Soroush merupakan pemikir modernis yang berafiliasi kepada mazhab Syiah. Selain lahir dan dibesarkan di negeri para mullah yang merupakan pusat peradaban Syiah, corak pemikiran soroush dalam menalar agama juga sangat dipengaruhi oleh pergumulannya dengan tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran Syiah seperti Murtadha Muthahhari, Ali Syariati, Thabathabi (penulis kitab Tafsir al-Mizan) dan lain-lain. Namun, cakrawala pengetahuan dan bacaan Soroush tidak hanya terbatas pada Mazhab Syiah semata. Terbukti, ia sangat antusias dan berdecak kagum dengan pemikiran Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, yang notabene merupakan tokoh sentral dalam Mazhab Sunni.
Meski demikian, ia kerap kali ditolak bukan hanya oleh kalangan Sunni tetapi juga kaum Syiah sendiri tidak sedikit yang menolak pemikiran Soroush. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang memang dipandang terlalu liberal dan kritis sehingga menuai kontroversi di sana-sini. Meski demikian, perjuangan Soroush untuk mewacanakan pluralisme tafsir, demokrasi dan hak-hak kemanusiaan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan ditengah-tengah fenomena keberagamaan yang cenderung eksklusif.
Baca Juga: Memahami Kemunculan dan Ragam Metode Tafsir Kontekstual
Epistemologi Pluralisme Tafsir Agama
Konstruk pemikiran Soroush dibangun di atas teori yang dikenal dengan istilah Teori Pengembangan dan Penyusutan (al-qabd wa al-bast). Menurut Aksin Wijaya dalam karyanya yang mengkaji pemikiran Soroush, alasan Soroush mengembangkan teori ini yang sekaligus menjadikannya sebagai dasar epistemologis dari pemikirannya adalah karena kegagalan sebagian umat Islam dalam memisahkan yang sakral dan yang profan, yang esensi dan yang aksidensi, serta yang duniawi dan ukhrawi. [Menalar Islam; Menyingkap Argumen Epistemologis Abdul Karim Soroush, hal. 54].
Menurut Soroush, agama adalah sakral, sedangkan pemahaman terhadap agama bersifat profan. Ia bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Agama kebenarannya pasti, stagnan dan kesuciannya tidak terkontaminasi pemikiran-pemikiran apapun, sedangkan pemahaman atau tafsir terhadap agama adalah sesuatu yang relatif.
Dari sini terlihat bahwa Soroush menginginkan kontekstualisasi tafsir keagamaan. Ia kerap kali mengkritik penafsiran apapun yang cenderung memonopoli kebenaran, karena baginya pemahaman atau penafsirn terhadap agama akan senantiasa berkembang dan berubah. Bagi Soroush, Alquran merupakan konkretisasi pengalaman keagamaan Nabi, sehingga ia tentu mengandung makna yang beragam. KH. Akhsin Sakho Muhammad mengibaratkan Alquran seperti intan. Setiap sudutnya memancarkan kilauan sehingga dari sisi manapun orang melihatnya ia akan mendapati kilauan tersebut [Oase Alquran, hal. 347].
Baca Juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya
Pesan-pesan yang terkandung di dalam Alquran sangat beragam, sehingga satu ayat dapat menimbulkan perbedaan pemahaman para ulama. Jangankan satu ayat, bahkan perbedaan pendapat bahkan muncul disebabkan beda pemahaman mengenai satu huruf saja. Kondisi seperti ini yang disebut Soroush sebagai pluralisme pesan Alquran, karenanya tafsir atau pemahaman terhadap Alquran juga harusnya beragam.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah berpesan bahwa Alquran adalah benda mati, sehingga ia harus dibuat berbicara [Nahj al-Balaghah, 200-201]. Alquran adalah kitab petunjuk bagi seluruh manusia di setiap dimensi tempat dan waktu, sehingga Alquran harus mampu berbicara menyelesaikan problem manusia serta memberi bimbingan agar manusia tidak salah jalan. Cara membuat Alquran berbicara tentu dengan terus-menerus mengkaji dan melakukan penafsiran terhadap Alquran, serta menggali pesan-pesan Allah Swt. yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan berkelanjutan terhadap ayat suci Alquran merupakan suatu keniscayaan, agar Alquran dapat berdialog dengan kehidupan nyata serta menawarkan solusi dari masalah yang dihadapi.
Akhir kata, sebagai pemikir kontemporer yang gelisah dengan monopoli kebenaran sebagian kelompok, Soroush kemudian menawarkan solusi berupa harus ada pemisahan antara agama dan pemahaman agama, Alquran dengan tafsir Alquran. Alquran adalah kalam Ilahi yang kebenarannya mutlak dan sakral, tetapi pemahaman dan penafsiran manusia terhadap Alquran tidaklah sakral.
Demikianlah sekelumit tentang pemikiran Soroush mengenai wacananya terhadap agama dan tafsir agama. Sebagai sebuah wacana tentu ia terbuka untuk dikritik dan dibenahi karena, sebagaimana teori Soroush sendiri, bahwa pemikiran manusia termasuk wacana Soroush sendiri adalah profan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.