BerandaUlumul QuranMenilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran

Menilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran

Konsep hermeneutika otoritatif Khaled Abou El-Fadl menjadi salah satu gagasan konstruktif dalam perkembangan tafsir Al-Quran. Ia banyak mengkritik penafsiran yang bersifat otoritas koersif yang menjadi salah satu faktor terbentuknya legitimasi fatwa hukum Islam.

Syarifuddin dalam Hermeneutika Khaled Abou ElFadl mengatakan bahwa Khaled Abou El-Fadl berujar bahwa Al-Quran bersifat terbuka terhadap adanya penafsiran-penafsiran baru. Hal ini sejalan dengan kerelevansian Al-Quran sebagai kitab suci yang ditujukan kepada umat Islam sepanjang waktu. Selain itu, keterbukaan tersebut memberikan ruang terbentuknya interpretasi dinamis (lively Interpretative) yang sesuai dengan kondisi dan keadaan masa kini.

Problematika Penafsiran dan Gagasan Baru

Khaled Abou El-Fadl juga menjelaskan bahwa sikap otoritarianisme interpretasi oleh ahli-ahli hukum agama Islam dapat menjadi sebuah boomerang dalam usaha reinterpretasi tafsir Al-Quran. Hal inilah yang menyebabkan adanya kebuntuan intelektual (Intellectual Stagnation) sekaligus penyegelan terhadap hukum-hukum agama Islam yang tidak relevan dengan progresivitas sosial-masyarakat.

Hal tersebut berkaca dari fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh CRLO (Permanent Council for Scientific Reasearch and Legal Opinions) yang dianggapnya bersifat monolitik-linier. Sehingga, Al-Quran yang menjadi sebuah teks rujukan hukum Islam, tertutup dan stagnan dalam perkembangan zaman.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Dalam menghadapi permasalahan tersebut, Abou El-Fadl menyuarakan gagasannya untuk melakukan penafsiran dengan menekankan pendekatan hermeneutika otoritatif dalam analis teks. Hal tersebut ditujukan untuk dapat memberikan pemaknaan yang lebih komprehensif, sekaligus membentuk pemahaman mengenai otoritas pada unsur-unsur hermeneutik.

Abou El-Fadl menjelaskan jika melakukan analisis sebuah teks, struktur triadik menjadi fokus yang sangat penting. Adapun struktur tersebut terdiri dari pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader). Ketika hal tersebut disandingkan dengan sisi Islam. Maka dapat dipahami jika author yang dimaksud adalah Allah, teksnya berarti nash syari’, dan pembacanya adalah para ahli agama maupun mufassir. Dengan adanya hal tersebut, maka pemahaman pada setiap unsur dalam struktur triadik harus dipenuhi dan dipahami tanpa mengabaikan unsur lainnya.

M. Arfan Mu’ammar, dkk dalam Studi Islam Perspektif Insider/Outsider menjelaskan bahwa Allah merupakan pemegang penuh otoritas, sedangkan manusia yang menjadi representasi Allah, tidak memiliki otoritas mutlak. Oleh karenanya, otoritas yang dimiliki manusia adalah otoritas yang bersifat persuasif, bukan yang sifatnya memaksa atau koersif.

Meskipun demikian, Abou El-Fadl memberikan lima syarat yang harus dipenuhi serta dilaksanakan oleh ahli agama untuk dapat melakukan aktifitas yang bersifat otoritas persuasif tersebut. Kelima syarat itu adalah kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri yang perlu dipahami.

Baca juga: Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Al-Quran

Konsep Hermeneutika Otoritatif

Selain itu, Ada tiga syarat penting yang dikemukakan oleh Abou El-Fadl untuk menjaga dan membatasi sikap otoriter dan otoritarian dalam hukum Islam. Hal tersebut adalah, kompetensi, penetapan makna, dan perwakilan yang saling berhubungan sebagai pembatas bagi penafsir.

Adapun yang pertama yakni kompetensi, merupakan aspek penting yang dapat mengarahkan pembaca pada sumber yang memiliki nilai otentisitas dan orisinilitas. Hal tersebut bertujuan untuk menemukan makna asal dari sebuah teks yang benar-benar berasal dari Tuhan dan nabi-Nya. Hal ini dapat dilihat melalui aspek historis seperti asbabul nuzul dan juga nilai kesahihan dalam sebuah hadis yang diangkat sebagai rujukan.

Kedua, penetapan makna memberikan lampu kuning, agar seseorang berhati-hati dalam menarik makna dari sebuah teks. Untuk dapat memperoleh makna tersebut, Abou El-Fadl dalam bukunya yang berjudul “Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman”, menjelaskan bahwa perlu adanya proses dialegtis, kompleks, dinamis, dan interaktif antara teks, pengarang, dan pembaca. Sehingga dapat terjadi keseimbangan dan makna asli dalam teks dapat didekati titik terangnya.

Sedangkan yang terakhir yakni perwakilan, dapat dipahami sebagai keadaan manusia yang menjadi wakil atas kehendak Tuhan. Perwakilan ini yang dapat menyebabkan adanya sikap otoritarianisme dari ahli agama. Oleh karena itu, perlu adanya pengetahuan mengenai bagaimana konsep perwakilan Tuhan yang dimiliki manusia, agar terhindar dari penyimpangan peran.

Selain itu, Abou El-Fadl juga memberikan dua prinsip yang terdiri dari praduga epistemologis dan penggunaan nalar eksklusif. Adapun prinsip praduga epistimologis dalam penerapannya digunakan untuk dapat melihat kesamaan pandangan antara orang yang diikuti dengan yang mengikuti. Sedangkan untuk nalar eklusif, memberikan hak kepada seseorang untuk mengikuti atau tidak mengikuti otoritas yang ada.

Dari sini telah didapati bahwa konsep hermeneutika otoritatif Abou El-Fadl yang memadukan analisitis teks dengan fokus pada otoritas teks, konstruk teks, serta otoritas pengarang dan pembaca, dapat memberikan ruang terbuka dalam penafsiran Al-Quran. Khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum Islam yang memiliki banyak perbedaan dalam keputusannya. Perbedaan tersebut, dapat dilihat dengan adanya mazhab-mazhab yang dipegang oleh masing-masing aliran kelompok Islam.

Melalui konsepnya pula, penilikan kembali pada tafsir Al-Quran yang tidak dianggap relevan dapat diulas kembali. Bahkan pemikirannya dapat memberikan batasan serta menjembatani pembaca untuk mendapatkan makna teks yang lebih terarah pada makna asal. Inilah yang menjadikan konsep hermeneutika otoritatif Abou El-Fadl dapat memberikan sumbangan intelektual yang mumpuni dalam perkembangan tafsir Al-Quran. Wallahu A’lam.

Riza Rizkiyah
Riza Rizkiyah
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di CRIS Foundation (Center for Research and Islamic Studies)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...