BerandaTafsir TematikAdakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Di Indonesia ini kejadian tentang seseorang yang menikah di usia muda sering terjadi, entah karena alasan apa atau dorongan yang lain. Maka dari itu perlu sekali bagi para remaja untuk memahami ilmu mengenai rumah tangga, selain tentang dampak apa saja yang akan terjadi ketika seseorang melakukan pernikahan dini, juga terkait usia berapa yang termasuk golongan dini, serta bagaimana dengan perempuan yang sudah menikah, akan tetapi belum mengalami haid (menstruasi ). Dengan begitu, adakah masa iddah perempuan yang bercerai dalam pernikahan dini?

Menyikapi permasalahan tersebut, sebelum masuk tentang masa iddah pernikahan dini, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai bagaimana konsep pernikahan dini dalam Al-Quran.

Baca juga: Muhammad Abduh: Surah Al-Fatihah Adalah Wahyu Pertama, Ini Argumennya

Pengertian Nikah dan Dalil terkait Pernikahan Dini dalam Al-Quran

Pada Fikih Munakahat karya Abdrrahman Ghazali, perkawinan disebut juga pernikahan berasal dari kata “nikah” (نكاح) yang menurut bahasa artinya “mengumpulkan,” “saling memasukkan,” dan digunakan untuk arti bersetubuh (watha’)
Adapun dalil terkait pernikahan dini yakni pada QS. At-Thalaq ayat 4:

وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Pertama, penafsiran oleh At-Thabari. Dalam naskh, menurut at-Thabari lafadz wa al-La’i lam yahidn merupakan lafadz umum, yang merujuk pada perempuan yang tidak haid. Namun lafadz tersebut juga dapat dimaknai sebagai perempuan-perempuan yang belum baligh dikarenakan masih kecil. Secara tidak langsung, at-Thabari mengatakan bahwa lafadz wa al-La’i lam yahidn dapat menjadi indikasi adanya penyebutan pernikahan dini dalam Al-Quran.

Masa Iddah untuk Pernikahan Dini

Penafsiran tersebut didasarkan pada penjelasan ayat yang menyebutkan terkait masa iddah seorang perempuan yang masih kecil atau belum mengalami haid, yang menandakan terjadinya perceraian oleh perempuan yang belum baligh tersebut. Penjelasan yang dilakukan oleh at-Thabari ini senada dengan beberapa penafsiran lainnya seperti pada Kitab Tafsir Al-Quran Al-Adzim karya Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalli dan as-Suyuti, serta Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi.

Kedua, penafsiran al-Tahrir wa al-Tanwir. Dalam menafsirkan QS. At-Thalaq ayat 4, Ibn ‘Ashur mengatakan bahwa yang dimaksud perempuan yang tidak mengalami haid adalah perempuan yang memang dalam hidupnya tidak mendapatkan balighnya atau haid, namun bisa juga diartikan sebagai perempuan-perempuan yang masih kecil atau belum baligh yang ketika bercerai, masa iddahnya disamakan dengan perempuan tua atau perempuan yang telah menopause.

Baca juga: Nalar Balaghah Sebagai Metodologi Penggalian Makna Ayat-ayat Hukum

Terkait penafsiran yang telah disebutkan, nyatanya memiliki pengaruh atau dampak bagi dua kalangan yakni ulama fiqh dan sosial. Pertama, dampak bagi ulama fiqh. Berkenaan dengan penafsiran yang telah disebutkan sebelumnya terkait iddah perempuan yang masih muda, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan usia dalam sebuah pernikahan. Meskipun terdapat dalil yang menyatakan bahwa ada batasan usia ketika hendak menikah, misalnya hadis terkait pernikahan Aisyah yang pada saat itu berumur 9 tahun dengan Nabi Muhammad saw.

Pendapat Tentang Batasan Usia dalam Pernikahan Dini

Adapun menurut ulama fiqh, jika terdapat batas usia dalam pernikahan, maka hal tersebut didasarkan pada apakah seseorang tersebut sudah baligh atau belum. Dimana baligh laki-laki ditandai dengan mimpi basah, sementara balighnya seorang perempuan ditandai dengan haid atau menstruasi. Namun, dalam fiqh terdapat penjelasan tambahan bahwa seorang perempuan baru bisa dikatakan haid jika telah mencapai usia 15 tahun, jika mengalami haid sebelum usia tesebut maka dianggap belum baligh.

Kedua, dampak sosial. Pernikahan dini dalam penilaian masyarakat sebenarnya tergantung pada kedewasaan individu-individu di dalamnya. Sebab, meskipun banyak orang yang mengkhawatirkan pasangan yang menikah di usia dini karena berbagai faktor seperti mental, kesehatan, ekonomi, maupun pendidikan sang anak kelak, nyatanya, keberhasilan dari pernikahan itu sendiri bergantung pada pasangan suami-istri yang terlibat di dalamya.

Baca juga: Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis: Penafsiran Kalangan Sunni

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan di bawah umur. Adapun terkait batasan usia dalam menikah beragam, ada yang mengatakan 9 tahun, 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Bahkan ada yang berpendapat tidak ada batasan usia yang pasti selain orang tersebut telah dianggap dewasa.

Saat ini, pernikahan dini marak terjadi di kalangan remaja. Alasannya pun beragam, mulai dari menghindari pergaulan bebas, MBA atau married by accident, adat istiadat, sampai karena kurangnya pengetahuan terkait pernikahan.

Adapun di dalam al-Quran yakni QS.at-Thalaq ayat 4 merupakan indikasi diperbolehkannya pernikahan dini dalam Islam. Hanya saja, perlu diingat bahwa menikah bukan hanya untuk melampiaskan nafsu semata, sebab di dalam pernikahan terdapat berbagai amanah baru yang harus dipertanggungjawabkan baik oleh suami maupun istri.

Yasmin Karima Fadilla Suwandi
Yasmin Karima Fadilla Suwandi
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogykarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...