Perkawinan Dini Bukan Berarti Kehamilan Dini

Perkawinan Dini Bukan Berarti Kehamilan Dini

Ketika membicarakan masalah usia perkawinan dalam tulisan berjudul Polemik Batas Usia Perkawinan Anak, ada yang luput dari ulasan penulis. Dalam tulisan tersebut, penulis hanya mengulas seputar penyebab, pendapat mufasir, regulasi serta pendapat ahli terkait batas usia yang ditetapkan dalam perkawinan dini/anak.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam tulisan ini frasa perkawinan dini dan perkawinan anak dimaksudkan untuk arti yang sama. Tulisan Angelina Nindiarti Jematu yang merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) dan WHO mengartikan perkawinan dini (early merried) sebagai pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satunya masih terkategori anak-anak atau remaja di bawah usia 19 tahun.

Perkawinan dini umumnya dilangsungkan dengan dalil mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dari hubungan dua insan, laki-laki dan perempuan, yang terlanjur dekat dibiarkan begitu saja. Satu hal yang amat sangat dihindari adalah terjadinya perzinaan di antara keduanya. Kendati muqaddimah (hal-hal yang mengantarkan kepada)-nya sejatinya juga masuk pada kriteria kemaksiatan yang semestinya mendapat perhatian yang sama.

Dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama tentang dispensasi perkawinan, legitimasi yang digunakan dalam membolehkan perkawinan dini adalah kaidah fikih yang berbunyi,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik maslahat (kebaikan).”

Dalam bahasa Jalal al-Din al-Suyuthi pada Al-Asybah wa al-Nadza’ir-nya terdapat sedikit perbedaan redaksi sebagai berikut,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak mafsadah (kerusakan) lebih utama daripada menarik maslahat (kebaikan).”

Baca juga: Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)

Kaidah ini menurut Al-Suyuthi menjadi sub kaidah dari bagian kaidah utama al-dlarar yuzal, bahwa setiap kemudaratan harus dihilangkan. Sub kaidah ini memiliki isi kandungan yang sama dengan kaidah lain yang berbunyi,

إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

“Ketika terjadi pertentangan antara dua mafsadah maka dipilihlah mafsadah yang lebih kecil untuk menghindar dari mafsadah yang lebih besar.”

Perkawinan anak dalam konteks kaidah yang digunakan oleh Pengadilan Agama sejatinya memiliki muatan kemaslahatan di dalamnya, tetapi ia harus ditinggalkan demi menolak terjadinya mafsadah, yakni kemaksiatan yang berlarut-larut atau bahkan sampai terjadi perzinaan. Namun demikian, penulis memandang bahwa baik melangsungkan perkawinan anak atau pun menundanya sama-sama memiliki muatan mafsadah.

Baca juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak

Hanya saja, mafsadah dalam pelaksanaan perkawinan anak dianggap lebih kecil ketimbang harus menundanya. Hal ini karena perzinaan merupakan salah satu dosa besar yang sangat dihindari dalam syariat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Suyuthi.

Bukti bahwa perkawinan anak juga memuat mafsadah adalah dampak negatif yang timbul darinya. Salah satunya adalah tingginya angka kematian dan keadaan tidak normal bagi ibu dan anak yang timbul dari kehamilan dan persalinan dini. Data BPS menunjukkan bahwa perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko kematian lima kali lebih besar daripada perempuan usia 20-24 tahun. Selain itu, dari total 8773 kelahiran di tahun 2019, 6404 kelahiran di tahun 2020, dan 7600 kelahiran di tahun 2021, persentase bayi lahir mati berada di atas 1% dan terus mengalami kenaikan.

Padahal, perkawinan dini yang terjadi tidak seharusnya meniscayakan kehamilan dan persalinan dini. Kecuali pada kasus tertentu ketika pihak perempuan telah hamil sebelum melangsungkan perkawinan. Kehamilan dini dapat dicegah melalui program KB. Sehingga tujuan dari perkawinan tetap dapat tercapai tanpa mengorbankan keselamatan ibu dan anak.

Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

Dalam pandangan penulis, penundaan usia kehamilan yang juga berimbas pada penundaan persalinan dini ini memiliki landasan teologis yang cukup kuat. Sebuah kaidah fikih yang juga masih dalam satu rumpun kaidah al-dlarar yuzal menyebutkan,

مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

“Sesuatu yang boleh dilakukan dalam keadaan mendesak, dilakukan sesuai dengan kadar kebolehannya.”

Sehingga jika perkawinan dini dilakukan karena berada pada keadaan mendesak (darurat), maka jangan sampai merembet pada masalah lain, seperti kehamilan dan persalinan dini.

Persesuaian kaidah ini dengan masalah penundaan kehamilan bagi pasangan pernikahan dini didasarkan pada keharusan menyiapkan generasi yang unggul di masa depan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa’ [4]: 9,

{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا} [النساء: 9]

“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya.”

Oleh karenanya, mereka yang terlanjur melangsungkan perkawinan dini tidak harus menjalani kehamilan dan persalinan dini karena pemberlakuan masing-masing kebijakan memiliki landasan, alur dan implikasi yang berbeda-beda sehingga tidak perlu dipertemukan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []