Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak

Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak
Musdah Mulia

Pelarangan pernikahan anak di Indonesia sudah diperhatikan pemerintah sejak lama. Ini dibuktikan dengan adanya UU Pernikahan nomor 1 tahun 1974 yang salah satu pasalnya ialah batasan usia menikah; untuk laki-laki 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun dan kemudian sudah ada pembaruan pada tahun 2019. Akan tetapi, angka pernikahan anak di Indonesia hingga sekarang terus saja meningkat.

Dilansir pada BangkaPos.com bahwa Kementerian Agama (Kemenag) Bangka Belitung (Babel) mencatat terjadi peningkatan pernikahan anak 0-18 tahun setiap tahunnya. Total pernikahan anak tahun 2021 adalah 8675 pasang, berdasarkan sumber Data Laporan Nikah Melalui Aplikasi Simkah. Menurut data pernikahan di bawah umur dari tahun ke tahun (laporan data nikah hingga bulan desember 2021), pada tahun 2017 ada 158 orang, tahun 2018 ada 298 orang, tahun 2019 ada 438 orang, dan tahun ada 399 orang.

Kemudian Ibn ‘Ashur dalam kitabnya, Al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan bahwa dalam Alquran juga tertulis tentang pernikahan anak. Hal ini bisa dilihat dengan adanya ayat yang menjelaskan tentang masa idah perempuan-perempuan yang tidak mengalami haid dan perempuan yang belum waktunya haid, yaitu perempuan-perempuan yang masih kecil. Memang tidak ada ayat larangan pernikahan anak, akan tetapi Alquran membahas soal pernikahan secara rinci dalam banyak ayat, tidak kurang dari 104 ayat; dan salah satu prinsip pernikahan dalam Alquran adalah adanya keadilan, kesetaraan, dan kerelaan.

Tulisan ini akan mengulas pandangan Musdah Mulia tentang pernikahan anak. Musdah merupakan salah satu tokoh dalam kajian pengembangan dan penafsiran Alquran yang cukup peka dan sensitif terhadap permasalahan pernikahan dini. Selain itu, dia juga perempuan pertama yang dikukuhkan LIPI sebagai profesor riset bidang Lektur Keagamaan di Kementrian Agama (1999).

Epistemologi Tafsir Perkawinan

Epistemologi yang dimaksudkan di sini adalah teori pengetahuan, pengkajian terhadap karakteristik pengetahuan, sumber, nilai, asal, struksur, metode-metode, dan tujuan pengetahuan. Sedangkan tafsir secara terminologi ialah ilmu yang membahas tentang penjelasan-penjelasan firman Allah Swt. sesuai dengan kemampuan manusia, yang meliputi segala upaya untuk memahami makna teks dan konteks.

Sementara komponen epistemologi mencakup cara memperoleh pengetahuan. Cara atau jalan yang dilalui untuk proses ilmu sehingga mencapai kebenaran, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri.

Musdah berpendapat dalam karyanya, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, sebenarnya ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP). Pertama, hubungan suami-istri hendaknya dibangun di atas landasan kesetaraan sesuai dengan tuntunan Alquran:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

Istri merupakan pelindung bagi suami dan sebaliknya, suami pelindung bagi istri (Q.S. Albaqarah: 187).

Kedua, hubungan suami-istri hendaknya didasarkan pada nilai-nilai akhlak yang mulia, sesuai firman Allah Swt. dalam Q.S. Annisa’: 19:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Pergaulilah istrimu dengan cara yang patut.

Sumber penafsiran Musdah Mulia terhadap ayat-ayat perkawinan adalah tafsir bi al-ra’yi, yaitu pikiran atau nalar. Dalam pemikiran Musdah, ditemukan pula corak tafsir ‘ilmi dan corak tafsir al-adabi wa al-ijtima’i (tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan). Kemudian bisa dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa Musdah Mulia menggunakan metode maudhui, yakni mengumpulkan semua ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan perkawinan.

Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Musdah Mulia menyatakan dalam tulisannya, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; Modul Pelatihan untuk Pelatih Hak-Hak Preproduksi dalam Prespektif Pluralisme, terdapat resiko-resiko yang ditanggung ketika menikah di usia dini. Di antaranya; pertama dari sisi kesehatan. Kehamilan atau melahirkan anak di bawah usia 20 tahun lebih rentan bagi kematian bayi dan ibunya. Melahirkan bayi yang sehat menurut kedokteran adalah usia 20-35 tahun.

Kedua, dari segi fisik. Pasangan usia belia masih belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik untuk mendatangkan pendapatan yang mencukupi keluarga. Ketiga, dari segi mental. Pasangan yang masih belia masih belum siap bertanggung jawab secara moral mengenai apa saja yang menjadi tanggung jawabnya.

Keempat, dari segi pendidikan. Usaha pendewasaan usia pernikahan dimaksudkan buat mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berguna untuk menyiapkan masa depan. Kelima, dari kelangsungan rumah tangga. Pernikahan usia anak lebih rentan dan rawan perceraian, mengingat mental mereka belum stabil.

Dengan begitu, Musdah Mulia menyatakan bahwa pernikahan dini merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dikarenakan pernikahan dini memperbolehkan anak-anak di bawah umur untuk menikah. Resiko perkawinan anak merupakan perkawinan yang tidak sesuai dengan Alquran. Selain itu, anak usia dini masih memiliki hak mendapatkan pendidikan layak. Itulah salah satu penyebab pernikahan anak merupakan pelanggaran HAM.

Bagi Musdah, salah satu faktor yang melatarbelakangi kemunculan UU Pekawinan adalah maraknya praktik perkawinan anak-anak atau perkawinan di bawah umur. Selain juga karena maraknya angka perceraian yang semena-mena yang membawa kepada banyaknya istri (atau mantan istri) dan anak- anak yang telantar. Dalam UUP, batas minimal usia nikah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) adalah 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi perempuan. Penetapan batas usia ini perlu dikoreksi.

Batas usia bagi perempuan yang dibuat lebih rendah dari usia laki-laki pada dasarnya mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Mengapa perlu ada batas minimal usia yang berbeda? Selain itu, menurut Musdah, mematok batas usia minimal pada umur 16 tahun bagi perempuan sesungguhnya bertentangan dengan isi UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 ayat (2) dari UU ini menjelaskan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. Penetapan dalam UUP ini juga bertentangan dengan isi Konvensi Internasional mengenai Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990. konvensi tersebut menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun. Melegalkan perkawinan bagi perempuan umur 16 tahun berarti pemerintah melegitimasi perkawinan anak-anak yang hendaknya dihindari.

Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21