BerandaTafsir TematikTafsir EkologiAir: Anugerah Ilahi dan Etika Manusia Terhadapnya

Air: Anugerah Ilahi dan Etika Manusia Terhadapnya

Air adalah anugerah Ilahi yang diturunkan ke muka bumi, kekayaan yang berharga dan warisan penting bagi generasi mendatang. Maka sejatinya kita harus mensyukuri segala kenikmatan yang telah dikaruniakan-Nya, khususnya dengan anugerah alam, air, dan sumber daya bumi lain yang kita bisa memanfaatkannya secara cuma-cuma.

Rasa syukur kita dapat ditunjukkan dengan cara menjaga kelestarian anugerah tersebut. Terlebih bagi seorang muslim, karena bertauhid bukan sesuatu yang pasif dan deklaratif (sekadar simbol pengakuan semata), namun menuntut konsekuensi atau tanggung jawab, salah satunya yaitu ikut andil dalam merawat kelestarian air yang menjadi roda kehidupan.

Allah menjadikan air sebagai sumber bagi seluruh kehidupan di bumi, sebagaimana dalam surah Alanbiya’ ayat 30:

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya dahulu menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya, dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa mereka tidak beriman?”.

Baca Juga: Ketahui Fungsi-Fungsi Air dalam Al-Quran, Inilah Penjelasannya

Tafsir Surah Alanbiya’ Ayat 30: Air adalah Anugerah Ilahi

Ayat di atas menunjukkan bahwa air adalah suatu hal yang sangat penting, yang dianggap oleh para ulama sebagai perkara yang besar. Yaitu  hakikat bahwa air itu benih kehidupan. Sebuah hakikat yang benar-benar menggugah hati. ( Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, Jilid 17, 44)

Ayat ini juga lebih lanjut menyinggung soal proses yang ada pada bumi dan langit. Lafal رَتْقًا dalam ayat di atas bermakna padat dan keras. Sedangkan lafal فَفَتَقْنَاهُمَا dalam ayat ini bermakna “Kami lembutkan atau belah langit dan bumi”. Hal ini mengutip Ibnu Abbas dalam tafsirnya, bahwa ayat ini bercerita, “Dahulu langit dibuat oleh Allah dengan bentuk yang padat dan keras sehingga tak ada sedikitpun air hujan yang turun darinya.

Begitu juga bumi yang dijadikan tandus dan tak ada sedikitpun benih yang tumbuh. Tak ada tanda kehidupan, hingga Allah swt. lembutkan langit sehingga keluar darinya air hujan dan Allah swt. membelah muka bumi sehingga keluar darinya tumbuh-tumbuhan.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, 448)

Penjelasan M. Quraish Shihab pada ayat, “Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air”, telah dibuktikan melalui penemuan lebih dari satu cabang ilmu pengetahuan sitologi, yang menyatakan bahwa air adalah komponen terpenting dalam pembentukan sel yang merupakan satuan bangunan pada setiap makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan.

Sedang pada ilmu biokimia menyatakan bahwa air adalah unsur yang sangat penting pada setiap interaksi dan perubahan yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup. Air dapat berfungsi sebagai media, faktor pembantu, bagian dari proses interaksi, atau bahkan hasil dari sebuah proses interaksi itu sendiri. (Tafsir Al-Mishbah, 442)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Menjaga Air itu Kewajiban Bersama

Dari air, Allah mengajarkan kita agar bersyukur karena dengan adanya air inilah kita mampu menjalankan roda kehidupan. Dengan demikian menjaga air sebagai sumber kehidupan adalah kewajiban kita semua. Sebaliknya, merusak air sebagai sumber kehidupan adalah suatu yang terlarang.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam al-Biah fi al-Islam memaparkan bahwa Allah swt. telah memberikan nikmat air itu secara gratis, sayangnya oleh manusia nikmat itu dipergunakan dan dimanfaatkan tidak dengan cara yang baik dan proporsional. Seringkali pendayagunaan air tidak optimal dan bahkan cenderung eksploitatif.

Lebih lanjut al-Qaradhawi menegaskan, jika pemakaian yang tidak tepat guna dan konsumsi berlebihan tetap terjadi, maka tak mustahil krisis air pun akan terjadi. Allah berfirman, “Dan, Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (Surah Almu’minun ayat 18).

Etika Rasulullah saw. dalam Menghemat Air, Bahkan Saat Berwudu

Beberapa riwayat Hadis menyatakan bahwa Rasulullah saw. mengajarkan para sahabatnya untuk menghemat air dalam berwudu. Salah satu di antaranya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr.

Rasulullah saw. melewati Sa’ad pada saat dia melakukan wudu. Nabi saw. lalu berkata, “Pemborosan apa ini?”

Sa’ad berkata, “Apakah ada pemborosan dengan air dalam hal berwudu?”

Nabi saw. menjawab, “Ya, bahkan jika engkau berwudu di sungai yang mengalir. (H.R. Sunan Ibnu Majah)

Hadis Nabi saw. di atas memperingatkan kita tentang larangan untuk mubazir terhadap penggunaan air, bukan hanya dalam wudu tetapi juga saat aktivitas lain. Meskipun, menggunakan air mengalir dari sungai, kita harus seefisien mungkin memanfaatkannya, karena fungsi air mengalir itu ialah untuk kepentingan publik, agar kita tidak menghalangi akses orang lain untuk mendapatkan kebermanfaatannya juga.

Sebagai upaya untuk menjaga kelangsungan air bersih, tentunya usaha penghijauan adalah hal yang sangat penting. Rasullullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Muadz bin Anas .r.a, “Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang bersifat rahman”. (H.R. Ahmad).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim

Beliau menganjurkan umat muslim untuk menanam pohon sebagai tabungan amal baik agar bumi kita tetap ramah untuk dihuni oleh segenap makhluk hidup serta menjadi warisan bagi kehidupan keturunan kita kelak. Agar kemanfaatannya tidak hanya berhenti pada generasi saat ini saja, tapi juga untuk generasi di masa yang akan datang. Kita yang hidup di masa ini mendapat amanah untuk menjaganya supaya kita bisa mewariskan kepada mereka, anak-cucu kita.

Wallahu a’lam.

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...