Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk memperhatikan segala aspek sosial kepada saudara Muslim lainya atau manusia pada umumnya. Salah satu yang ditekankan oleh Islam dalam aspek sosial adalah agar memperhatikan kemiskinan yang terjadi disekitarnya dengan cara menanganggulangi dan mengentaskannya.
Usaha untuk mengentaskan kemiskinan ini merupakan amal ibadah yang sangat terpuji. Dengan pengentasan tersebut kehidupan suatu masyarakat akan lebih sejahtera dan jurang pemisah antara kaum miskin dan kaum kaya dapat diperkecil.
Tidak dapat dipungkiri terdapat banyak ayat yang menyinggung masalah tersebut. Salah satunya tersorot dalam Q.S Al-Maun ayat 1-3 “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memeberi makan orang miskin”.
Tidak segan-segan Allah langsung menjustifikasi bagi mereka yang tidak mau memperhatikan kemiskinan sebagai orang yang mendustakan agamanya sendiri. Berarti masalah kemiskinan ini harus diperhatikan baik dari faktor penyebabnya dan cara penanggulanganya.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam, tenang, tidak bergerak. Dilihat dari akar bahasa saja bisa kita ketahui faktor apa yang membuat adanya kemiskinan, yaitu keengganan suatu individu untuk mencari kebutuhan. Hal tersebut dikonfirmasi langsung oleh Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran, bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan atau tidak dapat bergerak dan berusaha.
Baca Juga: Surah An-Nur Ayat 26: Penjelasan Ayat dan Konsep Jodoh
Padahal Allah sendiri yang menjamin makhluknya akan diberi rezeki selama ia mau bergerak, terdapat dalam Q.S Hud [11] ayat 6:
وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا
Tidak ada satu dabbah (makhluk melata/ bergerak) pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rezekinya.
Ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah akan menjamin bagi siapa saja yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan diam menanti. Keengganan berusaha seseorang merupakan penganiayaan dirinya sendiri, sedang ketidak mampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyayaan orang lain.
Penyebab kemiskinan biasanya tidak ditentukan oleh faktor alam dimana manusia itu tinggal, akan tetapi disebabkan sikap manusia yang terlibat langsung di dalamnya.
Kalangan elite yang berfoya-foya dan dipertontonkan di khalayak ramai dengan dibarengi sikap tamak yang berlebihan disinyalir menjadi penyebab timbulnya kemiskinan.
Mengapa bisa demikian? Sebab kalangan elite merupakan cerminan kehidupan bagi masyarakat, karena itu bila mereka memberi contoh yang tidak baik, maka secara tidak langsung akan diikuti masyarakat. Sikap foya-foya tersebut sangat merugikan sebab akan menimbulkan sikap konsumtivisme yang berlebihan.
Sikap konsumtif yang tumbuh subur di masyarakat akan menimbulkan kemiskinan parah di tengah-tengah umat. Mereka menghamburkan materi dana dengan mudah, sedangkan memperolehnya sangat sulit.
Selanjutnya sumber daya alam yang Allah siapkan untuk manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Seandainya sumberdaya tersebut telah habis, Allah akan menyiapkan alternative bagi manusia selama ia mau berusaha. Oleh karena itu tidak ada alasan maraknya kemiskinan sebab kurangnya sumber daya alam yang memadahi.
Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu. Inilah penyebab kemiskinan secara struktural, kaum rakus meraup habis-habisan sumberdaya dengan kepentinganya sendiri.
Kemiskinan dan pengentasannya termasuk persoalan kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolak ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Meskipun Alquran tidak menentukan kadarnya dan tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk mengentasnya, namun secara kontekstual sebenarnya Alquran memberi solusi dan cara untuk mengentasnya.
Cara Mengentas Kemiskinan Menurut Al-Quran
Pertama Alquran mengisyaratkan kewajiban individu dalam mengentas kemiskinan. Kewajiban individu mendorong manusia untuk bekerja dan berusaha. Inilah yang sejalan dengan naluri manusia, sekaligus merupakan kehormatan dan harga dirinya sendiri.
Hal tersebut terlukis lewat firman Allah Q.S Ali Imran ayat 14 yang menjelaskan bahwa manusia memiliki naluri seksual yang digambarkan dengan syahwat kepada wanita, dan naluri kepemilikian yang dipahami ungkapan kesenangan terhadap harta yang banyak.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menjelaskan naluri kepemilikian yang kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Dengan demikian kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan.
Alquran juga mendorong umatnya untuk selalu bekerja dan jangan sampai menganggur. Allah Swt, berfirman dalam Q.S. Al-Insyirah [94]: 7-8: “Apabila kalian menyelesaikan pekerjaan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan yang lain, agar jangan menganggur), dan hanya kepada tuhanmu sajalah hendaknya kamu mengharap).
Kedua kewajiban masyarakat atau orang lain dalam mengentas kemiskinan. Hal tersebut tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah.
Alquran menekankan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, juga dalam beberapa hal, kitab suci ini menekanakan hak dan kewajiban zakat atas delapan ashnaf yang terdapat dalam Q.S. At-Taubah [9] ayat 60.
Allah Swt. berfirman dalam Q.S Adz-dzariat [51]: 19:
وَفِىۡۤ اَمۡوَالِهِمۡ حَقٌّ لِّلسَّآٮِٕلِ وَالۡمَحۡرُوۡمِ
Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak meminta).
Menurut Quraish Shihab ayat ini merupakan suatu paksaan bagi mereka yang berkewajiban untuk melaksakanya. Sebab pada hakekatnya harta yang ia miliki milik Allah dan kewajibanya mengembalikan dengan cara memberikanya ke fakir misikin.
Selanjutnya jaminan satu rumpun keluarga yang berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan. Allah Swt. berfirman dalam Q.S Al-Anfal [8]:75 “Orang-orang yang berhubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat)”.
Ketiga kewajiban pemerintah dalam mengentas kemiskinan. Menurut Quraish Shihab, pemerintah wajib mencukupi kebutuhan warga Negara, melalui sumber-sumber dana yang sah.
Baca Juga: Tafsir Isyari Lafaz Basmalah Menurut KH. Achmad Asrori al-Ishaqi
Contohlah Nabi seorang pemimpin penyayang fakir miskin. Sikap tersebut lalu dilanjutkan para sahabat. Umar bin Khattab mengharamkan perluasan Masjid, sebab jika masjid di perluas akan menggusur rumah orang Yahudi. Masjid terbaik bukan yang megah bangunanya, namun yang bisa memberi mashlahat untuk umat terlebih kaum fakir miskin.
Akhir kata, Alquran mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya diharapkan dalam bentuk merasakan, memikirkan dan mendorong pihak lain untuk perpartsisipasi aktif. Wallahuaalam.