Dewasa ini berbagai inovasi teknologi telah memberikan dampak yang begitu terasa bagi berlangsungnya tatanan kehidupan manusia. Perkembangan teknologi digital memungkinkan segala hal dapat diakses melalui media digital. Berbagai informasi maupun aplikasi penunjang dapat diunduh dengan mudah melalui ruang-ruang digital.
Hal ini juga turut berimbas pada munculnya beragam aplikasi al-Qur’an dan terjemahan yang mampu memberikan pengalaman beragama yang berbeda. Muhammad Sahal Sobirin dalam karyanya Digital Qur’an and It’s Translation menamai berbagai aplikasi al-Qur’an dan terjemahan ini sebagai mushaf jenis baru. Sebagai implikasi dari kemunculan mushaf jenis baru ini, lahirlah pula sebuah generasi muslim baru yang dinamai dengan Digital Literate Muslim Generation (Generasi Muslim Melek Digital).
Dalam pandangan Muhammad Sahal Sobirin berdasarkan penelitiannya, ada tiga alasan yang menyebabkan generasi Muslim ini begitu bergantung kepada mushaf jenis baru ini. Pertama, aplikasi al-Qur’an dan terjemahan memberikan kemudahan guna melatih kebiasaan membaca al-Qur’an secara rutin. Karena dalam aplikasi tersebut terdapat reminder yang akan mengingatkan jadwal mengaji. Kedua, memberikan kesempatan yang lebih banyak guna mempelajari al-Qur’an secara intensif. Ketiga, karena mereka hidup di era digital, maka menjadi sebuah tuntutan bahwa al-Qur’an juga harus hadir dalam bentuk digital.
Catatan Saku Untuk Digital Literate Muslim Generation
Dalam pemaparan Muhammad Sahal, perkembangan generasi muslim melek digital ini merupakan sebuah fenomena yang terjadi sebagai implikasi dari perkembangan zaman. Ia memaparkan bahwa media pembelajaran al-Qur’an saat ini cenderung mengarah kepada penggunaan media digital sebagai sarananya yakni melalui aplikasi al-Qur’an dan terjemah yang rata-rata berlisensi dan dibawah pengawasan Kementerian Agama.
Baca Juga: Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini
Namun perlu adanya beberapa catatan penting yang perlu dipahami oleh generasi muda muslim baru ini. Pertama, dalam memahami al-Qur’an tidak cukup seseorang hanya membaca terjemahan saja. Justru perilaku inilah yang akan mengurangi nilai kemukjizatan al-Qur’an yang bahkan tercakup dalam setiap pemilihan diksi yang digunakannya (al-Samira’i, al-Ta’bir al-Qur’ani).
Kedua, budaya memahami al-Qur’an melalui media digital yang hanya menampilkan terjemahan juga ditakutkan akan berimplikasi pada pemahaman terhadap al-Qur’an yang cenderung tekstualis dan tak paham konteks. Karena sejatinya dalam mempelajari dan memahami al-Qur’an dibutuhkan pemahaman terhadap ilmu-ilmu lainnya yang berfungsi sebagai alat bantu dalam memahami pesan-pesan yang tertuliskan dalam al-Qur’an secara komprehensif (Shihab, Kaidah Tafsir).
Ketiga, munculnya fenomena da’i medsos pun semakin marak, karena hanya dengan sekali klik ia mampu mengais berbagai informasi yang dibutuhkan guna mengampu profesinya sebagai pendakwah, padahal informasi yang didapatnya itu belum tentu keabsahannya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sikap instan seperti inilah yang berimplikasi pada melemahnya tingkat literasi di tengah anak muda karena malas membuka kembali kitab kitab ulama yang ahli dalam bidangnya (bidang al-Qur’an dan tafsir) yang telah bersusah payah menyusun penjelasan terhadap kalamullah dengan didasari atas tadabbur dan tafakkur yang mendalam. Serta timbulnya rasa ketidakbutuhan terhadap bimbingan guru dalam memahami pesan-pesan ilahi.
Keempat, memang perkembangan teknologi yang merupakan implikasi dari globalisasi ini tidak dapat dielakkan dalam setiap tatanan kehidupan masyarakat. Namun satu hal yang perlu digarisbahwai yaitu dalam mengapresiasi perkembangan dan kemajuan teknologi, umat muslim tidak boleh serta-merta meninggalkan tradisi pengajaran Islam yang sudah ada sejak jaman awal kemunculan Islam.
Baca Juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita
Di mana dalam mempelajari al-Qur’an, umat-umat terdahulu sudah menciptakan budaya pengajaran al-Qur’an melalui metode talaqi yakni melalui metode bertatapan langsung dengan seorang guru yang telah mahir dalam bidangnya dan bersanad hingga ke Rasulullah saw. (al-A’dzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi).
Tanpa adanya metode pengajaran yang demikian niscaya pesan-pesan ilahiyah dalam al-Qur’an serta nilai kemukjizatannya—yang bahkan tercurah hanya dalam sebuah huruf—tak akan mampu kita rasakan saat ini. Jadi, jika budaya memahami al-Qur’an hanya berdasarkan aplikasi dan terjemah digital ini terus berlanjut tanpa adanya diimbangi dengan metode pembelajaran al-Qur’an yang baik, maka tinggal menunggu saja nilai mukjizat mana lagi yang berkurang kembali. Wallahu a’lam.