Al-Qur’an sebagai Fenomena Ujaran Perspektif Muhammad Arkoun

muhammad Arkoun
muhammad Arkoun

Muhammad Arkoun merupakan sarjana Islam kontemporer yang banyak menulis gagasannya dalam bahasa Perancis, termasuk yang berjudul Lectures du Coran (1982) yang membahas tentang kajian Al-Qur’an era kontemporer. Kajian Arkoun tersebut berhasil mengambil perhatian tersendiri di kalangan sarjana setelahnya.

Pengaruh Arkoun tersebut juga banyak mempengaruhi kajian Al-Qur’an di Indonesia. Hal ini terlihat, misalnya, adanya penerjemahan karya-karya Arkoun dalam bahasa Indonesia. Bahkan, pemikiran Arkoun menempati posisi penting –jika enggang mengatakan terpenting, dalam pembaharuan kajian Al-Qur’an di Indonesia. Buku Lectures du Coran menjadi salah satu karya Muhammad Arkoun yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Di sini, ada dua judul yang saya temukan: Berbagai Pembacaan Al-Qur’an (1997) oleh Machasin, dan Kajian Kontemporer Al-Qur’an (1998) oleh Hidayatullah. Dalam buku tersebut, salah satu isu menarik yang penting dibahas adalah isu tentang Al-Qur’an sebagai fenomena ujaran (linguistik), yang menempatkannya sebagai korpus terbatas dan korpus terbuka.

Baca Juga: Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Kajian Arkoun tersebut akan saya bahas secara sederhana dalam tulisan ini. Tujuannya adalah untuk menempatkan pandangan Arkoun dalam diskusi penyampaian Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab.

Muhammad Arkoun dan Definisinya tentang Al-Qur’an

Muhammad Arkoun adalah sarjana kontemporer kelahiran 01 Ferburari 1928, Tourirt-Mimoun, Kabyliah, Aljazair. Di negara kelahirannya, Arkoun menjalani pendidikan dasar, pendidikan menangah, hingga tingkat universitas di Universitas Aljir dengan fokus pada kajian Bahasa dan Sastra. Lalu lanjut di Universitas Sorbonne, Paris, yang kemudian memperoleh gelar Doktornya di bidang sastra judul disertasi L’Humanisme Arabe au IVe/ Xe siecle: Miskawayh philosope et historian (1669).

Arkoun termasuk sarjana dunia yang akrab dengan Indonesia. Ini terbukti dari beberapa kali ia mengunjungi Indonesia: di antaranya pada tahun 1992, 1995, dan 2000. Kedatangannya tersebut tentu dalam rangka mendiskusikan berbagai gagasannya di berbagai seminar atau konferensi. Tidak heran jika banyak sarjana Indonesia yang terpengaruh dengan pemikiran asal Al-Jazair ini.

Dengan berbagai pejalanan intelektual, juga faktor sosialnya, Arkoun berhasil menguasai tiga bahasa utama: Berber Kabilia, Arab dan Prancis. Lectures du Coran (1982) adalah salah satu karya Arkoun yang diterjemahkan, ada banyak karya lainnya yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam buku tersebut, Arkoun mengatakan bahwa secara linguistik, Al-Qur’an dapat dipahami sebagai korpus terbatas (tertutup) dan korpus terbuka pada berbagai ujaran dalam bahasa Arab.

Dalam definisi lainnya, Arkoun mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan Kalamullah yang dalam penyampaiannya mengalami interaksi langsung dengan realitas manusia, yang karenanya Al-Qur’an terpengaruh dan mempengaruhi realitas dan sosial budaya Arab. Arkoun menilai bahwa Al-Qur’an didokuntruksi melalui bahasa manusia, yang ditransmisikan secara lisan manusia, hingga ia ditulis.

Dengan meminjam sudut pandang linguistik, Arkoun menganalisis lebih jauh kehadiran Al-Qur’an dalam bentuk ujaran (lisan) berbahasa Arab yang muncul selama dua puluhan tahun. Persoalan yang dinilai hal biasa dan diterima begitu saja oleh kebanyakan umat Islam, dipertanyakan dan dianalisis lebih jauh oleh Arkoun.

Al-Qur’an sebagai Fenomena Ujaran

Fakta bahwa Al-Qur’an disampaikan dalam bentuk ujaran menjadikan ia pertama kali mesti dikaji dalam lingkup linguistik. Meskipun, menurut pengakuan Arkoun, kajian linguistik terkadang mendapati persoalan yang tidak sederhana dalam kajiannya, termasuk dalam memahami Kitab Suci (Al-Qur’an).

Arkoun mengatakan bahwa Al-Qur’an menempati posisi sebagai korpus homogen, yang semua ujaran di dalamnya dihasilkan dalam kerangka Situasi Wacana yang sama. Situasi wacana yang dimaksud adalah sejumlah keadaan yang melibatkan tempat terjadinya tindakan ujaran tersebut.

Untuk memahami situasi wacana tersebut, menurut Arkoun, kita mesti memahami secara menyeluruh lingkungan fisik atau sosial kapan dan di mana ujaran tersebut berlangsung, baik citra yang dimunculkan antar-penutur, identitas mereka, gagasan yang dimunculkan, berbagai kejadian yang mendahului ujaran tersebut, hingga berbagai perubahan ujaran yang terjadi.

Sebagai korpus yang homogen, pemahaman situasi wacana Al-Qur’an termasuk sangat sulit dijumpai. Hal ini karena ujaran Al-Qur’an tidak berlangsung sekali, melainkan secara bertahap selama dua puluh tahunan. Berbagai keilmuan yang digunakan untuk membuka situasi wacana tersebut pun, seperti Asbab Nuzul, masih jauh dari kata sempurna dalam menjelaskan situasi wacana. Ini karena Asbab Nuzul hanya semacam sejarah ringkas tentang ujaran Al-Qur’an.

Baca Juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

Selanjutnya, Arkoun mengatakan bahwa sebagai korpus terbatas atau tertutup, Al-Qur’an dibatasi oleh jumlah ujaran-ujaran yang merangkainya. Keterbatasan ini dijumpai dari segi ungkapan dan segi isinya, termasuk penanda dan petanda yang dimuatnya. Pemahaman seperti ini memisahkan perbincangan dan karakter kemukjizatan Al-Qur’an secara linguistik.

Sementara sebagai korpus terbuka, Al-Qur’an untuk dibawa kepada konteks yang beragam, yang biasanya muncul dari setiap pengkajinya. Dengan demikian, sekalipun ujaran Al-Qur’an meliputi sesuatu yang terbatas, tetapi ia menjadi terbuka untuk dinalar dalam situasi wacana yang dialami oleh pengkajinya.

Arkoun, lebih jauh, mengatakan bahwa sebagai sebuah ujaran, Al-Qur’an sudah dan tetap menjadi sebuah ujaran (parole) sebelum berada dalam tulisan, dengan karakternya tersendiri. Ujaran-ujaran kemudian dikenal sebagai Ayat Al-Qur’an, yaitu seluruh ujaran yang berada dalam korpus.

Sampai di sini, pandangan Arkoun mengenai keberadaan Al-Qur’an sebagai sebuah ujaran menunjukkan kompleksitas ruang lingkup yang mesti ditempuh dalam memahami pesan-pesan Allah SWT ketika diujarkan era pewahyuan. Keilmuan terkait Asbab Nuzul sendiri dinilai masih minim dalam membuka situasi wacana yang terjadi ketika peristiwa ujaran Al-Qur’an terjadi.

Meski demikian, pandangan Arkoun di atas mengantarkan para pengkaji Al-Qur’an untuk berhati-hati dan teliti dalam mengkaji Al-Qur’an. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana menyikapi keterbatasan (ketertutupan) dan keterbukaan Al-Qur’an sebagai sebuah korpus, yang berimplikasi pada ‘kebebasan’ para pengkaji dalam memahami kandungan sekaligus sejarah Al-Qur’an sebagai teks ujaran. [] Wallahu A’lam.