BerandaTokoh TafsirAl-Raghib al-Asfahani (w. 502 H) dan Kontribusinya di Bidang Kajian al-Qur’an

Al-Raghib al-Asfahani (w. 502 H) dan Kontribusinya di Bidang Kajian al-Qur’an

Al-Raghib al-Asfahani adalah salah satu cendikiawan abad pertengahan yang berupaya memahami al-Qur’an lewat pendalaman terhadap gramatikal arab. Melalui karyanya Mu’jam al-Mufradat li Alfaz al-Qur’an, al-Asfahani berpendapat bahwa sarana yang paling utama dalam memahami al-Qur’an adalah lewat penguasaan terhadap bahasa.

Biografi al-Raghib al-Asfahani

Sangat sedikit referensi yang membahas seputar biografi al-Asfahani, baik dari segi kehidupannya maupun intelektualnya. Salah satu rujukan utama yang digunakan untuk melacak biografinya yaitu melalui karyanya Mu’jam al-Mufradat li Alfaz al-Qur’an yang ditahqiq oleh Nadim Mara ‘Usyaily.

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufadhal. Al-Asfahani adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota Asfahan. Akan tetapi beliau hidup di kota Bagdad. Tidak diketahui kapan al-Asfahani lahir, namun untuk tahun wafatnya disebutkan wafat pada tahun 502 H di Baghdad. (al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an: 1)

Baca Juga: Mengenal Tafsir Jāmi’ al-Bayān Karya K.H. Muhammad bin Sulaiman

Melalui karya-karya yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa al-Asfahani adalah seorang ahli sejarah dan sastra, pakar dalam ilmu balaghah (retorika) dan sya’ir. (Mohamed, Ethical Philosophy of al-Raghib al-Isfahani: 1995: 52)

Adapun beberapa karya al-Raghib al-Asfahani antara lain; Risalah Munabbihah ‘ala Fawa’id al-Qur’an. Tafdhil al-Nasy’ataini wa Tahshil al-Sa’adataini, Al-Akhlaq, Adab al-Syathranj, Afanin al-Balaghah, Tahqiq al-Bayan Kitab fi al-Tafsir,. Kitab al-Dzari’ah ila Makarim al-syari’ah. dan Muqaddimah li Tafsiir al-Qur’an. (al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an: 1)

Pandangan al-Raghib al-Asfahani tentang al-Qur’an

Keahliannya di bidang bahasa dan segala cabangnya tampak dalam uraian kosa kata lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Dalam kajiannya ini, al-Asfahani semata-mata memfokuskan pada hakekat al-Qur’an dan wataknya sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab agung berbahasa Arab, dan pengaruh sastrawinya yang indah.

Bagi al-Asfahani, al-Qur’an merupakan kitab artistika Arab yang sakral. Setelah menuntaskan kajiannya pada aspek sastrawi tersebut, al- Asfahani mengarahkannya pada kepada kandungan ayat dengan mengambil dan menukil apa saja yang dikehendakinya dan sesuai dengan bahasan.

Dalam merumuskan definisi al-Qur’an, al-Asfahani mengkaji dahulu kupasan akar kata dari huruf qa, ra’, ‘a. Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun. (al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an: 413-414).

Qur’an pada mulanya seperti qira’ah, yaitu Masdar (infinitive) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Al-Asfahani mengutip ayat:

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ

Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu) dan membacakannya. Maka, apabila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaannya itu. (al-Qiyamah [79]: 17-18).

Qur’anahu disini berarti qira’atuhu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah Masdar wazan (konjungsi, tashrif) dari lafaz “fu’lan” dengan fokal “u” seperti “ghufran” dan “syukran“. Menurut Al-Asfahani, lafaz qira’atuhu, qur’an, qira’atan dan qur’anan, mempunyai arti yang sama. Sedangkan al-Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu. (al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an: 414).

Sumbangan pemikirannya sangat membantu para pengkaji al- Qur’an terutama masyarakat awam yang belum mcndalam pengetahuan kebahasaanya. Namun perlu dicermati bahwa al-Asfahani bukan seperti para mufassir yang mencoba menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan kebahasaan.

Sebut saja seperti al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyaf, Jalaludin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalainnya dan masih banyak lagi para mufassir sekaligus ahli bahasa. Terutama para mufassir kontemporer seperti A’isyah Abdurrahman bint al-Syathi’ dalam Tafsir al- Bayan li al-Qur’an al-karim.

Al-Zamakhsyari adalah seorang ulama yang memiliki kepiawaian dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan sekaligus ilmu tafsir. Bahkan dalam aspek kebahasaan beliau berhasil berjasa telah menyingkap keindahan al- Qur’an dan daya tarik balaghahnya.  (Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil: 321)

Begitu juga tafsir Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally, nuansa kebahasaan tergambar jelas dalam kupasan setiap ayat yang tidak pernah sepi akan kajian yang mendalam tentang keindahan gaya bahasa al-Qur’an.

Berbeda dengan mereka, al-Asfahani menguraikan ayat-ayat al-Qur’an melalui mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Jadi tidak berangkat dari sebuah ayat kemudian dikupas habis melalui kajian Bahasa.

Adapun metode yang dipakai adalah menetapkan kosa kata atau kata-kata pokok dalam al-Qur’an kemudian dihubungkan dengan potongan-potongan ayat yang terdapat kata yang sama. Metode ini juga berbeda dengan Ensiklopedi yang mencoba memahami al-Qur’an lewat entri-entri atau kata-kata kunci.

Analisis Penafsiran al-Asfahani

Sebelum masuk dalam contoh penafsiran al-Asfahani, perlu diketahui dalam kitab tafsirnya (Tafsir al-Raghib al-Asfafani), diawali dengan pendahuluan yang berisi pandangan al-Aşfahāni tentang dasar-dasar tafsir, seperti pembahasan syarat-syarat mufassir, perbedaan tafsir dan ta’wil dan pembahasan lain yang berkenaan dengan metodologi penafsiran. (al-Asfahani, Tafsir al-Raghib al-Asfahani, 2003: 1-2)

Pada bagian penafsiran kitab ini, al-Asfahani menjelaskan kandungan al-Qur’an dengan pembahasan ayat per ayat dari surat al-Fatihah hingga akhir surat al-Maidah secara berurutan mengikuti urutan mushaf dengan penjelasan yang panjang apabila dibandingkan dengan tafsir jalalain yang singkat dan masuk kategori ijmali (global).

Baca Juga: Tafsir Yahya bin Salam, Tafsir Tertua yang Terlupakan

Salah satu contoh penafsiran al-Asfahani dalam Q.S al-Fatihah [1]: 4, khususnya pada kata “مالك”. Mufassir pada umumnya lebih cenderung mendiskusikan tentang kata “مالك” dari aspek qiraat, karena memang terdapat riwayat yang berbeda mengenai pembacaan “مالك” jika ditilik dari aspek qiraat. Akan tetapi, bagi al-Asfahani tidak menyinggung aspek tersebut dan justru fokus dalam membedakan makna kata “مَالِك” dan “مَلِك” tanpa menyebutkan dari qiraat dan riwayat mana.

Al-Asfahani menjelaskan makna “مَلِك” tanpa huruf alif setelah huruf ma yang berarti penguasa atas segala perintah dan larangan kepada objek yang diperintakan. Sedangkan kata “مالك” dengan huruf alif setelah ma berarti penguasa dari segala materi (sesuatu). al-Asfahani, Tafsir al-Raghib al-Asfahani, 2003: 56) Setelah menjelaskan makna kata tersebut, al-Asfahani kemudian juga menjelaskan kedudukan kata tersebut dalam Ilmu Nahwu.

Jika diperhatikan penafsiran al-Asfahani di atas, al-Asfahani hanya mengupas sekilas aspek teologi ayat tersebut, dan cenderung ke pemaknaan bahasa. Selain itu, dengan memperhatikan komentar al-Aşfahāni tentang signifikansi pemaknaan aspek bahasa, dan pandangannya dalam pendahuluan kitab serta penekanannya pada analisa aspek kebahasaan dalam penafsirannya maka dapat disimpulkan bahwa tafsirnya tersebut bercorak sastra bahasa. Sekali lagi itu semua tidak terlepas dari fokus keilmuan beliau di bidang gramatikal Arab. Wallahu a’lam.

Ahmad Mushawwir
Ahmad Mushawwir
Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU