Tafsir Jalalain menjadi rujukan banyak pesantren di Indonesia, bahkan beberapa pesantren memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan sampai saat ini, seperti di Pesantren Lirboyo, Ploso, dan Salafiyah Syafi’iyyah. Karel A Steenbrink mengatakan bahwa tradisi pengajian tafsir karya Jalaluddin al-Suyuthi dan al-Mahalli ini sudah ada semenjak abad 19.
Tentu ada penyebab mengapa Tafsir hasil kolaborasi guru dan murid ini bisa sepopuler itu di pesantren, mengingat bahasa yang digunakan bukan bahasa pribumi serta pengarangnya pun bukan dari Indonesia. Berikut ini beberapa informasi seputar alasan popularitas Tafsir Jalalain hingga jadi favorit di pesantren.
Konten Ringkas
Tafsir Jalalain banyak diminati di kalangan pesantren karena kontennya yang ringkas serta mudah dipahami oleh masyarakat awam mau pun intelektual. Al-Mahalli pada Tafsirnya ini pun mengatakan bahwa ia memang sengaja membuat tafsir seringkas mungkin dan lebih menonjolkan artikulasi bahasa, karena berangkat dari motif revitalisasi Bahasa Arab yang pada saat itu sedang dimonopoli oleh bahasa lain.
Biasanya, al-Suyuthi dan al-Mahalli menampilkan sinonim redaksi dalam Al Quran sebagai teknik penafsiran. Selain itu, mereka menyajikan analisis sederhana tentang nahwu (struktur sintaksis) qira’at, hukum Islam dan akidah.
Penafsiran ringkas dan komunikatif ini misalnya dapat kita temui dalam tafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah ayat 1-4:
سورة البقرة
مدنية مائتان وست أو سبع وثمانون آية
بسم الله الرحمن الرحيم الم : الله أعلم بمراده بذلك (ذلك الكتاب): الذي يقرأه محمد (لا ريب) شك (فيه)أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك ولاإشارة فيه للتعظيم (هدى) خبر ثان أي هاد (للمتقين) الصائرين إلى التقوى بإمثال الأوامر واجتناب النواهي لا تقائهم بذلك النار
(bismillahirrahmanirrahim): Allah paling mengetahui dengan maksud ayat itu (dzalikal kitab): yang dibaca Nabi SAW (la rayba) keraguan (fihi) bahwa kitab itu adalah firman Allah. Kalimat negatif pada ayat tersebut merupakan khabar yang mubtada’nya ialah redaksi dzalika. Huruf la digunakan sebagai isyarat atas keagungan Alquran (hudan) khabar kedua dari dhalika, artinya menunjukkan (lil muttaqin) yang berproses menuju takwa dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan karena takut akan api neraka.
Pada redaksi la rayba tampak tafsiran menggunakan sinonimnya, yakni la (syakka), yang berarti tidak ada keraguan. sedangkan pada redaksi lil muttaqin ditafsir menggunakan definisi ringkas, yakni hamba yang berusaha menjadi pribadi yang takwa dengan amar makruf nahi mungkar. Sementara pada redaksi fihi dan hudan, kita dapat cermati penafsiran menggunakan nahwu (struktur sintaksis).
Dari tampilan konten tafsirnya tersebut dapat dinilai konten Tafsir Jajalain ringkas dan mudah dipahami, sehingga banyak diminati oleh masyarakat Indonesia meskipun berbahasa Arab.
Ideologi Yang Sama
Tidak hanya karena konten yang ringkas, popularitas Tafsir Jalalain di Indonesia juga dilatarbelakangi oleh kesesuaiannya dengan ideologi pesantren, khususnya fikih dan teologi. Pesantren di Indonesia yang lahir dari rahim organisasi berideologi ahlussunnah wal jama’ah, yakni NU memang mengakomodasi karya-karya keagamaan bernafas ahlussunnah wal jamaah. Dan Tafsir Jalalain adalah salah satu karya itu di bidang tafsir.
Jika dirunut ke belakang, masuknya tafsir Jalalain di kalangan pesantren hampir bersamaan dengan kajian Fikih madzhab Syafi’iyyah yang lebih dulu semarak. Salah satu tokoh terkenal yang mentransmisikan madzhab ini ialah Imam Nawawi al-Bantani, penulis Tafsir Marah Labid dan ratusan karya di berbagai disiplin ilmu agama.
Peran Imam Nawawi dalam penyebaran fikih syafi’iyyah dan ideologi ahlussunnah secara umum di nusantara menempati posisi sentral. Ia yang bergelar ‘Alimul Hijaz (ulamanya tanah Hijaz) mentransmisikan ideologi ahlussunnahnya pada Hasyim ‘Asyari, pendiri NU dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Karena itulah fikih di pesantren terkesan Syafi’iyyah sentris. Bahkan, hingga sekarang di beberapa kegiatan intelektual pesantren seperti Bahtsul Masa’il, argumen madzhab syafi’iyyah masih menjadi superior.
Selaras dengan itu, fikih syafi’iyyah juga menjadi salah satu kekhasan Tafsir Jalalain, selain pada aspek bahasa. Ayat-ayat hukum sering ditafsirkan dengan analisis fikih syafi’iyyah, misalnya ayat tentang maskawin pada QS. Al-Ahzab ayat 49. Dalam Jalalain, ayat itu dijelaskan bahwa maskawin yang belum disebutkan dan diputuskan tidak wajib diserahkan ketika terjadi talak. Sebaliknya, bila telah disebutkan dan diputuskan, maka sebagian maskawin wajib diserahkan, meski belum melakukan hubungan badan.
Kepakaran dua pengarang itu di bidang fikih diakui para ulama. Bahkan, Khudhari Bik dalam Tarikh Tasyri’ menyejajarkan dua pengarang tafsir ini dengan ‘Izzuddin Abdussalam dan Ibnu Taimiyyah. Hal ini karena, Baik al-Suyuthi maupun al-Mahalli menguasai fikih empat mazhab.
Selain fikih, aliran teologinya pun sama antara yang dianut pesantren dan dua pengarang tafsir Jalalain. Imam al-Suyuthi dan al-Mahalli merupakan penganut madzhab Asy’ariyyah. Sama dengan pesantren di Nusantara, yang menganut madzhab ini, berdasarkan ADRT NU.
Menyambung Sanad Keilmuan
Ini merupakan alasan penting Tafsir Jalalain bisa lestari di dunia pesantren hingga sekarang. Menurut Tolchah Hasan dalam tulisannya berjudul Hibrida Intelektual dan Tradisi Intelektual Pesantren, ketersambungan sanad keilmuan secara terus-menerus merupakan tradisi intlektual khas pesantren. Maka tak heran, banyak pesantren yang memiliki adagium pengajaran “hindari belajar ilmu tanpa guru” atau jika ditanya tarekat apa yang dianut akan dijawab dengan tarekat ta’lim wa ta’allum (belajar dan mengajar).
Jika dilacak, tafsir ini dikenal di bumi Nusantara semenjak munculnya Tafsir Turjumanul Mustafid di abad 17. Menurut Salman Harun dalam Mutiara Alquran, tafsir anggitan Abdurrauf al-Singkili ini merupakan terjemah dari Tafsir Jalalain. Berawal dari situ, tafsir tersebut tersebar ke masyarakat luas.
Pengajian Tafsir Jalalain bergerak massif pasca Jaringan ulama Nusantara yang belajar di Timur Tengah pulang untuk berbagi ilmu. Pada masa ini, Tafsir Jalalain dijadikan sebagai sumber primer pengajaran tafsir di Pesantren. Dipilihnya Tafsir Jalalain tidak lepas dari tradisi Timur Tengah. Menurut Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, kitab ini sudah ditransmisikan di Mekah sejak abad 16.
Selain itu, para ulama juga menerjemah tafsir ini agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat. Misalnya, Kiai Mishbah Mustafa yang menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia dan Jawa dengan judul Tafsir al-Iklil. Tafsir ini juga menjadi referensi beberapa kitab tafsir anggitan ulama nusantara, seperti Tafsir al-Ibriz, buah pena Kiai Bisri Mustafa.
Untuk sekarang ini, tiga poin tersebut di atas mungkin bisa menjawab sedikit alasan tafsir Jalalain menjadi tafsir favorit di pesantren. Artinya, tidak menutup kemungkinan popularitasnya akan surut serempak dengan tren sharing ilmu agama di media sosial. Wallahu A’lam.