Salah satu disiplin keilmuan yang diproyeksikan untuk menggali isi kandungan Alquran, selain ilmu tafsir, adalah ilmu ushul fikih. Secara epistemologi, ia memiliki kedekatan nasab dengan ilmu tafsir karena sama-sama memfokuskan kajiannya dalam memahami makna Alquran.
Bedanya adalah, ushul fikih diproyeksikan untuk merumuskan kaiah-kaidah kebahasaan yang nantinya akan dijadikan instrumen untuk menggali hukum-hukum Islam dari sumbernya, yaitu Alquran dan Hadis. Sedangkan ilmu tafsir bertujuan untuk memahami makna dari ayat-ayat Alquran scara umum, baik yang berkenaan dengan hukum praktis (fikih) maupun yang tidak berkenaan dengan hukum.
Syaikh Wahbah al-Zuhaili –mengutip dari jumhur ulama- mendefinisikan ushul fikih sebagai satu cabang ilmu yang mengkaji tentang kaidah-kaidah untuk dioperasionalkan ketika membaca suatu dalil, dan pada akhirnya dapat melahirkan hukum-hukum praktis. (Ushul al-Fiqh al-Islami, juz 1 hal. 24)
Baca Juga: Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas
Alquran dalam kajian ilmu ushul fikih
Objek kajian ushul fikih adalah dalil. Alquran adalah salah satu dari dalil-dalil syar’i. Oleh arena itu, Alquran menjadi objek kajian utama dalam ilmu ushul fikih.
Dalam pandangan ushul fikih, Alquran merupakan dalil syariat yang paling fundamental. Bahkan, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa jika ditelisik lebih dalam, sejatinya dalil hukum itu hanya satu yaitu kalamullah (Alquran). Alasannya adalah karena hakim (yang menghukumi/pembuat hukum) sejati adalah Allah swt.
Dalam pengertian ini, maka hadis Nabi berperan sebagai pembawa pesan-pesan atau hukum-hukum Allah. Hal ini diperkuat dengan ketetapan bahwa setiap sabda Nabi saw. tidak lain merupakan wahyu Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. an-Najm ayat 4. (Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, hal. 80)
Ilmu ushul fikih sendiri terdiri dari beberapa segmen pembahasan. Salah satunya adalah tentang al-Qawaid al-Lughawiyah (kaidah-kaidah kebahasaan). Pada dasarnya, yang dilakukan oleh ilmu ushul fikih (dalam kaitannya dengan Alquran) adalah melakukan induksi dari bahasa Arab, ayat Alquran dan hadis.
Ushul fikih bekerja dengan menginventaris ayat-ayat, hadis hadis dan uslub ‘arabi yang menggunakan redaksi perintah –misalnya- kemudian melakukan induksi dan merumuskan kaidah kebahasaan dari ayat-ayat tersebut.
Syaikh Wahab Khallaf menjelaskan bahwa ayat-ayat Alquran turun dengan redaksi yang beragam. Ada yang menggunakan redaksi perintah, larangan, naratif-informatif, ada redaksi yang sifatnya umum-distributif, khusus dan lain sebagainya. (‘Ilm Ushul Fiqh, hal. 14)
Ayat-ayat Alquran tersebut kemudian dikategorisasi, lalu dilakukan proses induksi untuk memperoleh suatu kaidah. Misalnya, dari redaksi perintah yang ada dalam Alquran dihasilkanlah satu kesimpulan umum bahwa الامر للوجوب حقيقة (pada dasarnya redaksi perintah itu menunjukkan makna wajib), النهي للتحريم حقيقة (pada dasarnya, redaksi yang mengandung larangan menunjukkan makna haram ). Demikian seterusnya.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang dihasilkan oleh ushuli (ahli ushul fikih) dari proses induksi tersebut kemudian akan dioperasionalkan oleh ulama fikih ketika merumuskan suatu hukum praktis dari ayat-ayat Alquran atau hadis Nabi saw.
Sebagai contoh yaitu ayat yang berisi tentang perintah Allah swt. untuk berlaku adil dalam timbangan pada Q.S. asy-Syu’ara’ ayat 181,
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ [الشعراء: 181]
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu merugikan orang lain.”
Ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk adil dalam bermuamalah dengan tidak mengurangi timbangan dari kadar seharusnya, sebagaimana yang dijelaskan Imam Ibnu Katsir dala kitab tafsirnya. Berdasarkan kaidah bahwa setiap perintah menunjukkan makna wajib, maka dapat diambil kesimpulan bahwa memenuhi timbangan dalam bertransaksi jual beli –misalnya- hukumnya wajib.
Contoh lain adalah firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 11,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ…. [الحجرات: 11]
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)….”
Pada ayat di atas, terkandung larangan untuk saling mencela satu sama lain (hate speach). Lantas pertanyaannya, apa hukumnya saling mencela atau hate speach, apakah haram atau hanya sebatas makruh. Jawabannya adalah, berdasarkan ayat di atas dan dengan mempertimbangkan kaidah bahwa النهي للتحريم حقيقة (pada dasarnya, suatu larangan mengandung makna haram), maka hate speach atau saling mencaci maki satu sama lain hukumnya haram.
Baca Juga: Hadis Sebagai Muqarrir Terhadap Alquran
Empat hal penting dalam menafsirkan teks
Namun sejatinya, proses operasional ilmu ushul fikih tidak sesederhana itu. Ada banyak aspek-aspek yang harus diperhatikan ketika proses penafsiran teks (istinbath al-ahkam). Menurut KH. Afifuddin Muhajir (pakar ushul fikh dari Indonesia), setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan ketika ingin menggali hukum dari teks Alquran atau Hadis (manhaj istinbath al-ahkam min al-nushush).
Pertama, mengkaji asbab al-nuzul ayat Alquran atau asbab al-wurud Hadis nabi, baik yang sifatnya mikro atau makro. Asbab al-nuzul/wurud mikro artinya kasus tertentu yang melatarbelakangi turunya ayat Alquran atau munculnya Hadis. Sedangkan makro artinya mengaitkan ayat atau hadis dengan konteks dan kondisi pada waktu ayat atau hadis tersebut muncul.
Kedua, mengkaji teks dari perspektif linguistik-semantik yang mencakup kajian lafal, makna dan dalalah (signifikasi).
Ketiga, mengaitkan nas yag sedang dikaji dengan nas lain yang berkaitan (rabth al-nushush ba’dhuha bi ba’dh).
Keempat, mengaitkan nas yang sedang dikaji dengan maqasid syariah (rabht al-nushush bi al-maqashid). (Membangun Nalar Islam Moderat; Kajian Metodologis, hal. 61-63)
Alhasil, Alquran menempati posisi sentral dalam kajian ushul fikih. Dengan Alquran sebagai salah satu objek kajiannya, ushul fikih diproyeksikan menjadi suatu instrumen dalam memahami Alquran terutama yang berkaitan dengan proses perumusan hukum praktis (istinbath al-ahkam). Wallah a’lam