Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi

0
419
Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi
Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi (sumber: Unsplash)

Dalam sistem kepemimpinan yang ideal, seseorang seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan dan integritasnya, bukan sekadar faktor keturunan, kekayaan, atau kedekatan dengan penguasa. Prinsip ini dikenal sebagai meritokrasi, yaitu sistem yang menempatkan seseorang dalam suatu posisi berdasarkan prestasi dan kompetensinya. Islam, melalui Alquran, telah menegaskan pentingnya meritokrasi dalam memilih pemimpin dan mengemban amanah kepemimpinan.

Kepemimpinan Harus Diisi Berdasarkan Kompetensi

Alquran mengajarkan bahwa seseorang yang diberikan amanah kepemimpinan haruslah orang yang memiliki kapasitas dan keahlian yang cukup. Dalam kisah Nabi Yusuf misalnya, beliau secara tegas menawarkan diri untuk mengelola perbendaharaan negara karena memiliki dua kualitas utama, yaitu kecerdasan dan integritas.

قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ ۝٥٥

Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (Q.S. Yusuf: 55).

Quraish Shihab dalam tafsirnya menyoroti bahwa pemilihan pemimpin harus mengutamakan kompetensi dan amanah. Beliau menjelaskan bahwa Nabi Yusuf tidak sekadar meminta jabatan, tetapi ia memilih tugas yang sesuai dengan keahliannya, yakni perbendaharaan negara. “Permintaan jabatan yang diajukan oleh Yusuf as. kepada Raja di atas tidaklah bertentangan dengan moral agama yang melarang seseorang meminta jabatan. Permintaan tersebut lahir atas dasar pengetahuannya bahwa tidak ada yang lebih tepat dari dirinya sendiri dalam tugas tersebut.” (Tafsir Al-Mishbah, 6: 484).

Baca juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

Ia juga menyoroti bahwa Nabi Yusuf tidak serta-merta menerima segala bentuk jabatan yang ditawarkan kepadanya, melainkan secara selektif memilih tugas yang sesuai dengan keahliannya, yaitu dalam bidang perbendaharaan negara. Ini mencerminkan prinsip penting dalam kepemimpinan Islam bahwa seseorang sebaiknya hanya mengambil peran yang benar-benar mampu dijalankan dengan baik.

“Dapat juga dikatakan bahwa sebenarnya Yusuf as. terlebih dahulu ditawari atau ditugasi oleh Raja untuk membantunya dalam berbagai bidang. Tawaran itu diterimanya, tetapi Yusuf as. memilih tugas tertentu–bukan dalam segala bidang. Karena itu, dia bermohon kiranya penugasan tersebut terbatas dalam bidang keahliannya saja, yakni perbendaharaan negara.” (Tafsir Al-Mishbah, 6: 485).

Kepemimpinan Adalah Amanah, Bukan Hak Istimewa

Islam menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah hak yang diwariskan atau didapat karena kedekatan pribadi, tetapi merupakan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Allah Swt. berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا ۝٥٨

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. (Q.S. An-Nisa: 58).

Ayat ini menegaskan bahwa ketika menempatkan seseorang dalam jabatan tertentu, harus diperhatikan apakah dia benar-benar berhak atas amanah tersebut. Pemimpin yang dipilih karena nepotisme atau kepentingan kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuannya hanya akan membawa kehancuran bagi masyarakat.

Baca juga: Al-Qawiyyu al-Amin sebagai Idealitas Kepemimpinan

Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa amanah bukan hanya sebatas titipan, tetapi juga mencakup kepercayaan dan tanggung jawab dalam berbagai aspek kehidupan. Ia menyatakan, “Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat.” (Tafsir Al-Mishbah, 2: 480).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa amanah memiliki dimensi moral yang kuat. Seseorang yang menerima amanah harus menjaga dan mengembalikannya sesuai haknya. Selain itu, ia menegaskan bahwa amanah dan keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminasi, sebagaimana ia katakan, “Baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras.” (Tafsir Al-Mishbah, 2: 481).

Dampak Positif Meritokrasi dalam Kepemimpinan

Ketika meritokrasi diterapkan, kepemimpinan menjadi lebih efektif karena dipegang oleh individu yang benar-benar kompeten dan berintegritas. Pemimpin yang terpilih atas dasar kompetensi cenderung mengambil keputusan yang tepat, mengelola sumber daya dengan bijak, dan menjalankan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Dengan sistem ini, praktik korupsi dan nepotisme dapat diminimalisasi, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah atau organisasi dapat meningkat. Selain itu, stabilitas sosial pun terjaga karena masyarakat merasa dipimpin secara adil dan profesional.

Baca juga: Mengangkat Alquran: Peran Performatif dan Simbolisme dalam Pelantikan Pemimpin

Alquran dengan jelas mengajarkan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada meritokrasi, bukan faktor nepotisme, kekayaan, atau keturunan. Islam menekankan bahwa jabatan adalah amanah yang harus diberikan kepada orang yang memiliki kompetensi dan integritas. Dalam memilih pemimpin, baik di lingkungan kecil maupun dalam skala negara, umat Islam harus berpegang pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Alquran. Dengan begitu, kepemimpinan yang dihasilkan akan memberikan manfaat nyata dan mendatangkan keberkahan bagi semua.

Wallahu a’lam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini