Amin al-Khuli merupakan salah satu dari sekian mufasir modern yang melakukan pembaharuan terhadap tafsir Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa pemikirannya adalah respon terhadap pemikiran Muhammad Abduh yang menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (kitab hidayah). Menurutnya, Al-Qur’an adalah kitab sastra Arab, oleh karenanya itu harus didekati dengan bahasa Arab agar menghasilkan penafsiran obyektif. Ia kemudian menciptakan metode tafsir sastrawi agar Al-Qur’an terbebas dari berbagai kepentingan.
Bernama lengkap Amin bin Ibrahim bin ‘Abdul Baqi bin ‘Amir bin Ismail bin Yusuf Al-Khuli. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1895 di Menoufia, sebuah kota kecil di provinsi Monufia, Mesir. Ia berasal dari keluarga yang religius, terutama ibu dan kakeknya, yakni Fatimah bint ‘Ali ‘Amir al-Khuli dan syekh ‘Ali ‘Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Shibhi. Beliau merupakan alumni Al-Azhar yang ahli dalam bidang qira’at.
Pada umur tujuh tahun, Amin kecil pindah ke Kairo dan berada di bawah pengawasan pamannya. Di sana ia digembleng untuk mempelajari pendidikan agama Islam secara ketat, yakni dengan menghafal Al-Quran, mempelajari Tajwid Thuhfah, Jazariah, fikih dan nahwu. Ia juga diwajibkan oleh kakeknya untuk menghafal Kitab al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah, dan Matan Alfiah. Berkat dorongan tersebut, pada usia sepuluh tahun ia telah menghafal 30 juz Al-Qur’an dalam qiraat riwayat Imam Hafs (Metode Tafsir Sastra: 64).
Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah
Pada tahun 1907, Amin al-Khuli masuk ke Madrasah al-Qissuni. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah Madrasah Usman Pasa selama tiga tahun. Ketika bersekolah di sana, Amin terkenal sebagai anak yang luar biasa cerdas. Hal ini membuat salah satu gurunya di Usman Pasa, Syekh ‘Abdul Rahman Khalfah kagum dan menyarankannya agar melanjutkan studi ke Madrasah al-Qadha’ Al-Syar’i (Akademi Hukum).
Setelah mempertimbangkan dengan matang saran gurunya tersebut, Amin al-Khuli lalu mengikuti tes masuk dan lulus dengan nilai yang memuaskan. Ia melewati berbagai tahap ujian, mulai dari tes hafalan, membaca kitab, hingga membuat esai dalam bidang fikih dan nahwu. Di Madrasah inilah Al-Khuli mempertajam kemampuan intelektual, karena selain mendalami ilmu-ilmu keislaman, ia juga mempelajari al-jabar, matematika teoritis, astronomi, fisika, kimia, sejarah dan geografi.
Selain mendalami berbagai ilmu, Amin al-Khuli juga aktif berorganisasi. Salah satunya adalah organisasi Madrasah Ikhwan al-Safa dengan konsentrasi bidang seni dan sastra. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, Ia turut andil bagian dalam membangkitkan perjuangan Mesir pada tahun 1919 melawan kekuatan kolonial Inggris melalui kampanye-kampanye penyatuan kekuatan militer dan intelektual masyarakat sipil.
Amin al-Khuli menamatkan sekolahnya pada tahun 1920 dan diserahi tugas untuk mengajar di Madrasah al-Qadha’ Al-Syar’i. Kemudian pada tahun 1923 ia bertolak ke Italia karena dipilih sebagai imam di kedutaan Mesir di Roma. Ia berada di sana selama tiga tahun lalu dipindahtugaskan menjadi imam di kedutaan besar Mesir di Berlin pada tahun 1926. Perjalanannya ke Eropa inilah yang kemudian hari mempengaruhi perspektifnya terhadap Al-Qur’an dan kajiannya.
Pasca selesai penugasan menjadi imam, Amin al-Khuli kembali ke Mesir dan mengajar di Universitas Kairo. Karirnya terus menanjak sampai ia diberi jabatan ketua jurusan Bahasa Arab, hingga wakil Dekan, dan menjadi guru besar studi Al-Quran di sana. Karirnya ini kemudian meredup manakala ia bersengketa dengan para intelektual Al-Azhar ketika menjadi promotor disertasi doktoral Muhammad Ahmad Khalafallah pada tahun 1947. Keduanya dianggap kafir karena pandangan kontroversial Khalafallah tentang kisah-kisah Al-Qur’an.
Aktivitas intelektual, sosial, dan politik Amin al-Khuli kemudian lebih banyak dicurahkan dengan menulis dan mengkaji seni dan sastra. Di antara karya-karyanya adalah; Fi al-Adab al-Misri: Fikr wa Manhaj, Al-Mujaddidun Fi al-Islam ‘ala asas Kitabay: al-Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at Li alSuyuti wa Bugyat al-Muqtadin wa Minhat al-Mujiddin ‘Ala Tuhfat al-Muhtadin li al-Maragi al-Jurjawi, Silat al-Islam bi Islah al-Masihiyyah, Mahij Tajdid Fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab dan lain-lain.
Dari berbagai karya di atas, Amin al-Khuli sangat concern mengenai sastra dan bahasa Arab. Perhatiannya ini kemudian ia arahkan ke dalam kajian Al-Qur’an, di mana ia mencoba menafsirkan Al-Qur’an dengan seobyektif mungkin melalui pendekatan sastra. Hal ini dilakukan olehnya karena pendekatan tafsir yang selama ini ada dengan beragam kecenderungan yang melatarbelakangi para mufasir tidak mampu menangkap maksud dan tujuan otentik Al-Qur’an (Al-Tafsir Ma‘alim Hayatihi Manhajuhul Yawma: 11).
Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir
Dalam berbagai kesempatan suami dari Bint As-Syathi ini mengkritik berbagai metode dan corak tafsir Al-Qur’an. Menurutnya, sikap berlebihan dalam menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an pada aspek tertentu dapat menyebabkan para mufasir menyimpang dari tujuan Al-Qur’an. Ia juga dengan tegas mengkritik tafsir ilmi yang memaksakan teks-teks keagamaan agar senantiasa selaras dengan teori-teori sains kontemporer yang relatif dan bisa berubah-rubah kapan saja teori tersebut diruntuhkan.
Bagi Amin al-Khuli, langkah pertama yang harus dilakukan mufasir adalah memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar dan sebagai karya sastra yang tinggi. Selanjutnya, Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab itu didekati dengan pendekatan sastra dan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai atribut utamanya. Ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an dapat dipahami secara proporsional dan apa adanya baik oleh muslim maupun non-muslim (Alquran Kitab Sastra Terbesar: 23). Wallahu a’lam.