Makna kata huda dalam Al-Quran sering diartikan petunjuk atau juga masyhur penyebutannya dengan kata hidayah seringkali dikaitkan dengan perihal keagamaan. Padahal selain dalam hal keagamaan, petunjuk sendiri sebenarnya terdiri dari beberapa macam diantaranya, petunjuk naluri, petunjuk indra, petunjuk akal dan petunjuk taufik.
Petunjuk naluri salah satu contohnya dimiliki seorang bayi yang tanpa diajarkanpun ia dapat langsung menyusu kepada ibunya. Berdasarkan banyak penelitian, bayi di dalam kandungan dapat mendengarkan suara di luar kandungan, hal tersebut merupakan contoh dari petunjuk indra yakni indra pendengaran. Sedangkan petunjuk akal yakni seperti ilmu pengetahuan tentang kayu yang dicelupkan ke air akan terlihat bengkok. Terakhir petunjuk taufik, petunjuk ini berada sepenuhnya di genggaman Allah Swt, tidak ada yang dapat merubahnya sekalipun seorang Rasul-Nya.
Dikisahkan oleh suatu riwayat ketika Abu Thalib mengalami tanda-tanda seperti akan wafat, dalam keadaan masih belum mengucap syahadat, Rasulullah Saw berusaha membujuknya, tetapi petunjuk taufik dari-Nya tidak berada di pihak Abu Thalib hingga wafatnya.
Sahabuddin di dalam bukunya Ensiklopedia al-Qur’an menyebutkan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat 306 kata huda yang diulang dengan berbagai bentuk derivasinya. Sedangkan di dalam Mu’jam Mufahras, kata huda dengan berbagai derivasinya disebutkan 307 kali pada 61 surah. Kata huda sendiri berasal dari kata hada-yahdi-hidayah (هدى-يهدى-هداية ) yang berarti memandu, menunjukkan jalan, menuntun, membimbing, menunjuki sebagaimana yang terdapat di kamus bahasa Arab al-Ma’ani.
Sedangkan kata lain yang berakar sama dengan kata huda yakni adalah kata ahda yang merupakan fi’il madli (kata kerja lampau) yang berarti memberi hadiah, menganugerahi. Adapun kata ihtada berarti mendapatkan petunjuk. Ringkasnya bahwa makna kata huda adalah petunjuk yang dapat menuntun manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang-benderang (kebenaran).
Baca Juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi
Makna kata huda dan derivasinya dalam beberapa ayat
Al-Quran begitu banyaknya mengulang kata huda dengan berbagai konteks yang berbeda-beda sehingga nantinya berpengaruh terhadap penjelasan makna di masing-masing kata.
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ – ١٢٠
Artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah”. (Q.S Al-Baqarah (2):120)
Di dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata hudallah (هدى الله) pada ayat di atas adalah berupa agama Islam, sedangkan al-huda ( الهدى) yang kedua yakni petunjuk yang tidak adanya kesesatan di dalamnya diungkapkan dengan kata مَا عَدَاهُ ضَلاَل . Meskipun secara terjemah tetap diartikan sebagai sama-sama petunjuk, namun penjelasan keduanya ternyata berbeda.
Adapun derivasi kata huda yang mengandung makna pengetahuan.
وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ – ١٦
Artinya: “Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Nahl (16):16)
Kata yahtaduna (يَهْتَدُوْنَ) merupakan bentuk kata kerja mudlori’ yang menyimpan arti akan atau sedang (melakukan pekerjaan). Selain itu, kata kerja tersebut menyimpan kata ganti pelaku mereka. Maka kata kerja tersebut berarti “mereka akan diberikan petunjuk”. Petunjuk dalam ayat di atas memiliki makna pengetahuan, yang mana Allah Swt menciptakan tanda-tanda berupa bintang-bintang dan sebagainya, yang darinya manusia akan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Multi Meaning dalam Kosakata al-Qur’an
Allah Swt menggunakan kata al-Hadi (الهَادِ) sebagai salah satu asma’-Nya dan juga menyebutkan di dalam Al-Quran.
وَّلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوْا بِهٖ فَتُخْبِتَ لَهٗ قُلُوْبُهُمْۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ – ٥٤
Artinya: “dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa (Al-Qur’an) itu benar dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepadanya. Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Q.S Al-Hajj (22):54)
Kata Al-‘ilm (العِلْم) dari ayat di atas menurut Tafsir Jalalain memiliki makna tauhid dan al-Qur’an. Allah Swt mengungkapkan kata Hadi ( هَادِ) untuk menyebutkan diri-Nya yang berarti Pemberi Petunjuk. Hal tersebut seakan memiliki pesan tersirat bahwa hanya Allah-lah Dzat Sang Maha Pemberi Petunjuk atau hidayah.
Petunjuk atau hidayah hanyalah Allah Swt yang dapat menganugerahinya, sedangkan jika hidayah tersebut seakan berasal dari perkataan, perbuatan orang lain, ceramah seorang Kyai maka hal tersebut hanyalah sebagai perantara hidayah Allah Swt. Tetapi, beberapa hidayah juga dapat diusahakan oleh manusia sendiri dan tentunya atas izin atau ridlo Allah Swt.
Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al Quran: An-Nur dan Al-Huda
Contoh sederhana misalnya terdapat orangtua yang berusaha mendidik anaknya melalui pendidikan di pondok pesantren dengan harapan kelak dapat menjadi orang ‘alim. Maka tentunya dengan segala upaya orangtua melalui biaya, tenaga, doa dan juga tentunya kesadaran anak tersebut dalam mematuhi peraturan pondok serta menjaga akhlak khususnya terhadap gurunya, maka dengan izin Allah Swt, Dialah Dzat yang membukakan petunjuk akan ilmu-ilmu-Nya yang luas, sehingga anak tersebut menjadi orang ‘alim.
Pada hakikatnya, seluruh manusia mendapatkan hidayah-Nya baik dalam hal agama maupun kebenaran lainnya. Namun juga, tak sedikit dari manusia yang sebenarnya sudah mendapatkan hidayah-Nya tetapi terkadang ia justru lalai dalam menjalankannya. Maka tugas kita setelah diberi anugerah berupa Islam, kita harus menjaga sebaik-baiknya dengan menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Serta tetap sabar dan ikhlas atas ketentuan-ketentuan-Nya, karena bisa saja Allah Swt dengan mudahnya mencabut hidayah-Nya.
Wallhhu a’lam.