BerandaTafsir TematikTafsir AhkamApakah Bulu Babi Juga Diharamkan? Begini Pendapat Ulama Tafsir

Apakah Bulu Babi Juga Diharamkan? Begini Pendapat Ulama Tafsir

Salah satu hewan yang diharamkan di dalam Islam adalah babi. Al-Qur’an menyatakan bahwa daging babi hukumnya haram seperti halnya menkosumsi bangkai dan darah. Meskipun redaksi yang digunakan al-Qur’an untuk menyatakan keharaman babi memakai bahasa lahmul khinzir atau daging babi, akan tetapi ada ulama’ yang menyatakan bahwa yang dimaksud sebenarnya tidaklah keseluruhannya diharamkan. Hal ini tampak pada hukum terkait penggunaan bulu babi. Dengan begitu, tulisan ini akan mengurai pendapat para ulama tafsir tentang hukum bulu babi yang memunculkan beragam pendapat.

Baca juga: 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati

Diharamkannya Daging Babi

Ulama’ mengmbil kesimpulan keharaman babi berdasar beberapa dalil yang salah satunya firman Allah yang berbuyi:

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah [2] :173).

Imam Ibn Katsir menyatakan bahwa usai Allah memerintahkan untuk memakan dan mensyukuri makanan baik yang telah diberikan oleh Allah, Allah menjelaskan makanan yang diharamkan oleh Allah pada manusia. Diantaranya adalah daging babi. Entah apakah babi tersebut disembelih atau mati secara wajar.

Dan termasuk dari daging babi adalah bagian gajihnya. Kesimpulan masuknya gajih dalam pernyataan daging babi ini bisa saja lewat pemahaman secara bahasa daging mencakup gajih, lewat pemahaman bahwa redaksi daging telah mewakili bagian gajih (taghlib), atau berdasar metode qiyas (Tafsir Ibn Katsir/1/481).

Imam Al-Alusi menyatakan, meski Al-Qur’an memakai redaksi daging babi dan seakan hanya menyinggung soal hukum dagingnya saja, tapi sebenarnya yang hendak disinggung adalah seluruh bagian tubuh dari babi. Hal ini disebabkan daging adalah bagian paling utama dari hewan untuk dikonsumsi, Sementara bagian lain seakan-akan mengikuti daging tersebut. Mungkin saja hikmah pemakaian redaksi “daging” adalah untuk menolak secara telak kepada orang yang menganggap daging babi adalah makanan baik dan yang paling baik di antara hewan lain. Dan kepada mereka yang berpikiran tidak mungkin daging babi diharamkan (Tafsir Al-Alusi/2/99).

Baca juga: Pesan untuk Suami-Istri dalam Berumah Tangga pada Surah Al- Baqarah ayat 233

Ragam Pendapat Tentang Hukum Bulu Babi

Imam Ar-Razi menyatakan, bahwa ulama’ telah bersepakat, babi beserta seluruh bagiannya hukumnya haram dikonsumsi. Kemudian untuk bagian bulu, secara zahir ia tidak masuk dalam redaksi “daging babi”, meskipun ulama sepakat mengenai keharaman serta hukum najisnya babi.

Selanjutnya terkait hukum boleh atau tidaknya memanfaatkan bulu babi, ulama’ berbeda pendapat. Ada yang membolehkan memanfaatkan bulu babi untuk bahan menjahit. Meski boleh dimanfaatkan, bulu babi tersebut tetap dihukumi najis hanya saja dianggap ma’fu (dimaafkan) (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/33).

Meskipun Imam Ar-Razi berkomentar bahwa hukumnya bulu babi najis, adalah hasil kesepakatan ulama, akan tetapi itu tampaknya hanya klaim belaka. Kemudian pada kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah menyatakan bahwa mayoritas ulama’ meyakini bahwa bulu babi hukumnya najis. Maka tidak boleh memanfaatkannya sebab sama saja dengan memanfaatkan benda najis. Namun mazhab Malikiyah meyakini bahwa bulu babi hukumnya suci (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/6896).

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, tidak ada ada perbedaan pendapat bahwa seluruh bagian babi itu diharamkan, kecuali soal bulunya. Hal ini didasarkan pemakaian bulu babi untuk menjahit yang sudah ada sejak zaman Nabi dan terus ada sampai setelah nabi wafat, serta tidak ada teguran dari Nabi dan para ulama’ terkait hal itu. Nabi sendiri pernah ditanyai soal menjahit dengan bulu babi, lalu nabi menjawab “tidak ada apa-apa” (Tafsir Al-Qurthubi/2/222).

Baca juga: Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

Berbagai uraian di atas menjelaskan kepada kita bagaimana hewan babi diharamkan untuk dikonsumsi. Meski Al-Qur’an hanya berbicara hanya perihal dagingnya saja, tapi itu menunjukkan bahwa yang diharamkan tidaklah terbatas dagingnya saja. Namun juga gajih dan selainnya. Untuk bagian bulu, ulama’ berbeda pendapat dikarenakan ada dalil lain yang mengindikasikan kesucian bulu babi. Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...