Dalam khazanah hermeneutika Al-Quran, nama Muhammed Arkoun tentu menjadi salah satu yang pemikirannya wajib dibahas. Sarjana asal Aljazair ini, dengan berbekal pendidikan relijius-tradisionil sejak kecil dan juga binaan pendidikan tingginya di Barat mencoba melakukan hal yang seimbang. Metode hermeneutika yang ia cetuskan berusaha mencairkan kembali kebekuan pemahaman umat Islam dalam pembacaan wahyu Tuhan. Begitu pula, tawaran metodenya ini juga berupaya mengkritisi dominasi positivistik Barat, meski dengan meminjam teori-teori postmodern. Sebagai seorang intelektual pembaharu, Arkoun tidak hanya sebatas merumuskan sebuah konsep. Ia ternyata juga memberikan satu contoh pengaplikasian metodenya pada surah Al-Fatihah. Sebagaimana yang ia katakan pada karyanya Tarikhiyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, dipilihanya surah Al-Fatihah ini karena menurutnya surah ini adalah saripati dari Al-Quran.
Baca juga: Mengenal Muhammad Arkoun serta Pemahamannya tentang Al-Quran
Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun
Arkoun mengenyam pendidikan tinggi yang lama di Eropa, tepatnya Universitas Sorbonne Paris, Prancis. Hal itu pulalah yang kemudian mempengaruhi pemikiran Arkoun sebagaimana dalam pemikirannya nampak kuat adopsi teori semantik Ferdinand de Saussure atau antropologi Paul Ricoeur. Menurut Waryono Abdul Ghafur dalam buku Al-Quran dan Tafsiranya dalam Perspektif Arkoun, dalam Studi Al-Quran Kontemporer, setidaknya ada dua pendekatan yang Arkoun masukkan dalam bangunan metode hermeneutikanya untuk memahami wahyu teks Al-Quran.
Pertama, historis antropologis. Seluruh fenomena sosial-budaya menurut Arkoun bisa diketahui melalui perspektif historis. Namun, dalam mencari rentetan historis harus dibatasi kronologis dan fakta-fakta nyata. Arkoun menjadikan historisitas sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Apabila metode ini diaplikasikan pada teks-teks agama, maka akan didapatkan makna-makna potensial yang sebenarnya bersemayam dalam teks itu. Menurut Arkoun, sebuah ungkapan bersifat cair dan menjadi beku dalam bentuk tulisan. Ini artinya, dalam teks sendiri sebenarnya memiliki makna jika diinterpretasikan.
Kedua, linguistik-semiotika. Dalam hal ini, Arkoun mengadopsi teori De Saussure tentang teori language, parole, dan lague. Dalam asumsi Arkoun, Al-Quran yang bisa diraih manusia hanya pada sisi lague dari wahyu. Adapun parole Tuhan, manusia tidak mampu menggapainya karena makna ungkapan hanyalah mutakallim sendiri yang memahami. Makna parole wahyu bersifat transenden dan tak terbatas (infinite). Atas dasar teori ini dihasilkanlah dua istilah oleh Arkoun, yaitu significant (penanda) dan signifie (petanda). Arkoun menyebutkan bahwa dalam wahyu yang sudah tertulis mushaf terdapat penanda dan berbagai petanda di dalamnya.
Baca juga: Ragam Makna Fitnah dalam Al-Quran yang Penting Diketahui
Pembacaan Arkoun pada Surah Al-Fatihah dengan Metode Hermeneutikanya
Dengan mengacu pada hermeneutika yang telah ia cetuskan, Arkoun mencoba mengaplikasikannya dengan memilih surah Al-Fatihah untuk ditafsirkan. Turunan dari pendekatan hermeneutika Arkoun menghasilkan sebuah pendekatan analisis linguistik-antropologis dengan tiga tahapan dalam pembacaan surah Al-Fatihah.
Pertama, tahap analisis linguistik-kritis. Tahap ini berupaya mengenalkan tanda-tanda bahasa dalam teks. Karena Al-Quran memakai bahsa Arab, maka yang perlu diketahui adalah tanda bahasa Arab. Pada tahap ini, Arkoun menganalisis unsur-unsur linguistik seperti determinan (isim ma’rifah), pronomina (kata ganti orang/dhamir), sistem kata kerja (fi’il), sistem kata benda (isim), struktur sintaksis, prosodi (persajakan/syair-menyair). Hasil dari langkah pertamanya ini adalah temuan empat leksis dan tujuh predikat yang bisa termuat dalam surah Al-Fatihah.
Leksis | Predikat |
بِسْمِ ٱللَّهِ |
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ |
ٱلْحَمْدُ |
رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ |
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ |
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ |
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ |
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ |
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ |
|
غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ |
|
وَلَا ٱلضَّآلِّينَ |
Kedua, tahap analisis hubungan-kritis. Selesai dengan langkah pertama rasanya tidak cukup bagi Arkoun. Ada dominasi pembaca dan apa yang dibaca, dan gap tersebut ingin dijembatani Arkoun dengan cara kritis-hubungan (crelation-critique) melalui postulatisasi petanda akhir (signifie dernier). Pencarian petanda akhir tersebut menurut Arkoun dapat ditempuh dengan eksplorasi historis dan antropologis.
Eksplorasi historis-antropologis tersebut adalah mencari petanda akhir dengan mengetahui asbabun nuzul yang bisa didapatkan dari tafsir khazanah klasik. Tafsir khazanah klasik yang dirujuk Arkoun pada surah Al-Fatihah adalah tafsir Mafatih al-Ghayb anggitan Fakhruddin Ar-Razi. Dari tahapan kedua ini, ia memperkenalkan lima kode dalam teks yaitu kode linguistic, keagamaan, simbolis, budaya, dan anagosis.
Baca juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah
Ketiga, tahap mistis/simbolis. Untuk mengungkapkan berbagai simbol yang pernah hadir, kajian antropologi budaya Arab penting bagi Arkoun dalam menganalisis mistis. Analisis simbol tersebut diharapkan wacana Al-Fatihah tidak hanya sebagai wacana fonem saja, tetapi menjadi bahasa perfomatif.
Tujuan dari langkah Arkoun ini nampaknya adalah sebagai sebuah upaya penciptaan pemikiran Islam yang menggabungkan rasionalotas modern dan kritis di dunia Barat, serta angan-angan sosial di dunia Timur Tengah. Di samping menolak kebekuan (fringiditas) pemikiran dalam dunia Islam, sekaligus dimaksudkan untuk menolak dominasi posistivis dan scientis Barat.
Akhirnya, satu hasil telaah Arkoun pada surah Al-Fatihah dengan metode hermeneutikanya menuai inti sebagai berikut. “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamini” menunjukkan kecenderungan pada keilmuan dasar seperti ontologis dan metodologis pengetahuan. Maaliki yamiddin” perihal ekskatologi. “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” bermakna peribadatan. “Ihdinash shiratal mustaqim” berbicara masalah etika. “Alladzina an’amta ‘alaihim” membicarakan ilmu kenabian. Kemudian, “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladhdhallin” mencakup masalah sejarah, spiritual kemanusiaan, tema-tema simbolis orang-orang yang buruk (kejahatan) yang diuraikan dalam kisah-kisah terdahulu. Wallahu a’lam[]