Alquran diturunkan kepada sosok yang dijuluki “al-Amin”, sehingga sudah bisa dipastikan jika Rasulullah berkata itu adalah wahyu dari Allah, maka sudah dipastikan itu adalah wahyu dari Allah. Posisi Rasulullah yang juga merupakan “al-Umm” (tidak bisa membaca dan menulis) menjadi validasi yang lebih serius bahwa Alquran bukan tulisan tangan Rasulullah.
Lalu, mengapa Allah masih perlu menjelaskan keabsahan Alquran menggunakan frasa Lā Rayb Fīh (tiada keraguan di dalamnya) pada surat al-Baqarah ayat 2? Atau apakah sebenarnya itu bukan bermaksud untuk mengukuhkan validitas Alquran?
Baca Juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans
Ragam tafsir Lā Raib Fīh
Ibnu al-Jauzi dalam Zad al-Masir menyebutkan bahwa para mufassir memang memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait dengan penafsiran frasa Laa Raiba Fiih. Setidaknya menurut Ibnu Jauzi ada tiga pendapat mufassir mengenai frasa ini :
Pertama, bahwa memang secara tekstual frasa tersebut adalah frasa nafi. Frasa nafi merupakan peniadaan sebuah entitas dari hukum. Dalam hal ini Alquran ditiadakan dari hukum keraguan, sehingga tidak ada keraguan yang bisa menempel pada Alquran.
Namun secara kontekstual, frasa ini merupakan frasa nahi. Frasa nahi merupakan frasa yang menunjukkan larangan. Artinya maksud dari “tiada keraguan” adalah “jangan meragukan!”, sehingga maksud dari para mufassir ini adalah kita tidak diperkenankan membuka ruang keraguan bagi Alquran.
Jika kita mengaku sebagai muslim maka kita harus mantap soal keabsahan Alquran tanpa perlu mempertanyakan banyak hal. Argumen ini juga valid, karena kepercayaan kita terhadap Alquran sebagai kitab suci tanpa butuh bukti apapun menunjukkan kadar keimanan kita yang tinggi. Para pendukung pendapat ini diantaranya adalah al-Khalil bin Ahmad dan Ibnu al-Anbari.
Kedua, bahwa Alquran tidak mengandung keraguan bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka untuk menyadari bahwa Alquran tidak punya celah keraguan kita perlu mencapai derajat taqwa terlebih dahulu. Hal ini menurut para mufassir dijelaskan pada beberapa kata selanjutnya, yakni Hudan lil Muttaqin.
Jadi jika diurutkan, seseorang pertama-tama mencapai derajat taqwa (tentu dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan), dengan demikian seseorang tersebut akan menerima Alquran sebagai kitab suci serta firman Tuhan yang sempurna. Jika sudah demikian, maka seseorang tak akan ragu untuk menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup (Huda). Di antara yang mendukung pendapat ini adalah al-Mubarrad.
Ketiga, tiada keraguan bahwa Alquran itu berasal dari Allah. Pendapat ini menganggap memang yang dimaksud Lā Rayb di sini adalah bermakna tekstual. Sebenarnya pendapat inilah yang memancing pertanyaan di awal tulisan, yaitu ‘mengapa Allah perlu mengkonfirmasi keabsahan Alquran?’ Untuk beberapa orang, konfirmasi adalah proyeksi insekuritas.
Baca Juga: Perdebatan Orientalis tentang Historisitas Alquran
Lantas, apakah tujuan frasa ini justru menutup pertanyaan-pertanyaan tentang validitas Alquran? Atau memang frasa ini justru merupakan proyeksi keberanian Alquran sebagai sebuah kitab suci yang tak takut dikuliti luar-dalam terkait validitasnya dan orsinilitasnya.
Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil menjelaskan skema tersebut sebagai berikut,
لاَ رَيْبَ فِيهِ مَعناهُ أنه لِوُضوحِه وسطوع بُرْهانِه بِحَيْثُ لا يَرْتابُ الْعاقلُ بَعْد النَّظرِ الصَّحيحِ فِي كَوْنِه وَحْياً بالغاً حَدَّ الْإِعجازِ، لا أَنَّ أحداً لا يرْتابُ فِيه، ألا تَرَى إلى قوله تعالى: وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا. الآية فإنه ما أَبْعَدَ عَنْهم الرَّيْبُ بل عرفهم الطَّريقُ المُريح له، وهو أن يَجْتهدوا في معارضة نجمٍ من نجومه ويبذلوا فيها غاية جهدهم حتى إذا عجزوا عنها تحقق لهم أن ليس فيه مجال للشبهة ولا مدخل للريبة
“Makna dari Laa Raiba Fiih adalah karena kejelasan dan kegamblangan banyak bukti, orang yang punya akal sehat tak akan ragu setelah melihat dengan benar eksistensi Alquran sebagai sebuah wahyu yang telah sampai pada level maksimal sebuah mukjizat. Bukan karena tiada seorangpun yang tidak meragukan al-Quran. Tahukah engkau firman Allah berikut, ‘dan jika sebagian di antara kalian ada yang masih meragukan apa yang kami turunkan kepada hamba kami, maka buatlah satu surah saja yang sepadan dengannya….(sampai akhir ayat).’ Keraguan itu bukannya akan menjauh, namun mereka akan ditunjukkan jalan yang nyaman untuk mencapai keyakinan. Yakni dengan cara mereka berusaha menentang Bintang dari sekian Bintang, dan semaksimal mungkin berusaha hingga mereka tak lagi mampu mewujudkan, bahwa (di dalam Alquran) tiada celah untuk tuduhan maupun keraguan”.
Dari penjelasan al-Baidhawi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa Alquran bahkan membuka peluang bagi siapa pun yang ingin membuat tandingannya, dalam rangka menjegal validitas Alquran dan orisinalitasnnya (ternyata Alquran mampu dibuat oleh manusia). Namun faktanya hingga saat ini manusia yang berusaha melakukannya, malah terjerumus pada kebungkaman karena memang Alquran berada pada level yang berbeda dengan kemampuan manusia, tanpa celah dan keraguan.
Misalnya Gary Miller seorang peneliti dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Amerika Serikat, yang justru masuk Islam dan menulis buku The Amazing Qur’an setelah berusaha meneliti kekurangan-kekurangan Alquran. Dengan demikian frasa Laa Raiba Fiih justru merupakan pemantik manusia untuk terus mempertanyakan validitas Alquran dan orisinalitasnya, hingga akhirnya justru membuktikan dengan sendirinya orisinilitas al-Quran dan tak lagi mampu berkata-kata. Wallah a’lam