BerandaTokoh TafsirArgumentasi Faydur Rahman Sebagai Kitab Tafsir Jawa Pertama

Argumentasi Faydur Rahman Sebagai Kitab Tafsir Jawa Pertama

Artikel ini ditulis berdasarkan pembacaan saya terhadap tulisan yang telah terbit sebelumnya tentang mempertanyakan tafsir Faydur Rahman sebagai tafsir Jawa pertama. Salah satu argurmntasi yang saya ajukan adalah adanya eksistensi pesantren 4 abad sebelum masa kelahiran Kiai Saleh Darat.

Agaknya, Van Bruinessen pernah mempersoalkan kebenaran adanya pesantren pada abad tersebut. Untuk itu tulisan ini berusaha merekonstruksi tulisan sebelumnya, dan menjadikan tesis Bruinessen terkait muasal pesantren di dirikan sebagai landasan tulisan, berikut penjelasannya.

Muasal Pesantren

Menurut Agus Sunyoto, pesantren berasal dari pengambil alihan pendidikan Hindu-Budha yang kemudian dimasukkan nilai-nilai Islam didalamnya. Pada halaman yang lain, ia juga mencatat pesantren tanjung pura yang didirikan tahun 1418 Masehi. (Atlas Walisongo, hal. 89 dan 166) Akan tetapi tidak ada catatan lebih lanjut apakah ini pesantren sebagaimana yang ia definisikan sebelumnya atau sebatas tempat belajar agama Islam tanpa adanya transformasi pendidikan pra Islam didalamnya.

Bruinessen meragukan tentang eksistensi pesantren sebelum abad 18. Ia menyebut desa perdikan sebagai sarana penyambung pesantren dan pendidikan pra-Islam. Hanya sedikit pesantren yang memiliki latar belakang ini, dan umumnya masih sangat muda. Ia mencatat, pesantren Tegalsari adalah yang tertua diditikan tahun 1742. (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hlm. 92-93)

Relasi Jaringan Ulama Nusantara dan Haramayn

Dalam konteks global, kemunculan pesantren tidak lepas dari Jaringan ulama Nusantara-Haramayn yang telah terjalin sejak abad 17. Jaringan ini melahirkan banyak ulama salaf yang berpengaruh besar pada perkembangan Islam Indonesia. Ulama yang lahir pada masa tersebut seperti Syaikh Arsyad Banjar, Syekh Mahfudz At-Tarmasi, Syekh Ahmad Khatib dsb. Dari sekian banyak ulama diatas banyak memberikan pengaruh pada corak Islam di Nusantara.

Baca Juga: Mengenal Izz al-Din Kasynîṭ al-Jazâ’irî, Pengarang Kitab Ummahât Maqâshid al-Qur’ân

Kiprah dari relasi ulama Haramayn-Nusantara adalah kebangkitan yang nampak pada meningkatnya kuantitas serta semangat keberagamaan di Indonesia, dan bermuara pada semangat antikolonialisme. Hal ini tidak terlepas dari jaringan ulama Nusantara-Haramayn yang tertransmisikan melalui ibadah haji. Terbukti survei yang dilakukan oleh belanda sejak tahun 1853 tahun 1935 banyak mengalami perkembangan. (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, hal. 15)

Tesis yang di ajukan Bruinressen, agaknya selaras dengan kian berkurangnya peran kerajaan Islam di Jawa dalam menghadapi perlawanan Belanda. Perang Diponegoro yang usai tahun 1830 disebut-sebut sebagai akhir dari perlawanan kaum bangsawan sampai sebelum tahun kemerdekaan. Pada saat itu juga penjajahan yang sebenarnya terjadi di Jawa. (Sejarah Modern Indonesia, hal. 257-59)

Sebagai seorang bangsawan, Diponegoro sangat dekat dengan seluruh elemen masyarakat. Di istana ia seorang pangeran, disisi lain ia juga dekat dengan rakyat jelata. Ia juga dekat dengan para ulama salaf yang juga turut membantunya dalam revolusi perang Jawa.

Mumazziq menuliskan bahwa dalam berperang pangeran Diponegoro di dampingi oleh 108 ulama (kiai). Pasca kalah perang, para pengikutnya berdiaspora dan melakukan perubahan perlawanan dalam bentuk pendidikan. Oleh karena itu, banyak pengikut Diponegoro mendirikan pesantren. (Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren, Falasifa, Vol. 07, No. 1, hlm. 146)

Hubungan Kiai Saleh Darat, Haramayn, dan Diponegoro

Sebagai salah seorang ulama salaf jawa, kiai saleh darat memiliki hubungan dengan Diponegoro melalui jalur ayahnya. Kiai Umar, ayah kiai saleh darat merupakan salah seorang pengikut setia Diponegoro dalam perang Jawa yang membawahi wilayah pantura. Dari sini dapat dibaca muasal semangat antikolonialisme kiai Saleh Darat berasal. (Kiai Sholeh Darat dan dinamika politik di Nusantara abad XIX-XX M, hal. 34)

Bentuk nyata perlawanan kiai Saleh Darat terlihat dari ditulisnya tafsir Faydur Rahman. Banyak penelitian disebut sebagai sebuah upaya perlawanan,sebab pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan terkait larangan menulis terjemah Alquran kedalam bahasa daerah.

Penulis belum menemukan dokumen primer terkait kebijakan tersebut, tetapi banyak penelitian terkait tafsir Faydur Rahman menuliskan tentang larangan Belanda terhadap penerjemahan Alquran kedalam bahasa daerah seperti tulisan Istianah, Lilik Faiqoh, Arifin.

Ditulisnya tafsir tersebut juga sebagai bentuk tanggung jawab moral seorang ulama terhadap umat muslim yang terkungkung pada krisis nilai-nilai agama. Hal ini nampak pada mukadimah tafsirnya:

“Anatha ora angen-angen poro menungso kabeh ing maknane Alquran kang wus nurunake ingsun in Quran.  Supoyo podo angen-angen menungso ing Quran, mongko arah mengkno monhko dadi neja ingsun gawe terjemahe maknane quran.”

Hakim menambahkan, salah satu pendapat mengatakan bahwa perkelanaan kiai Saleh Darat ke Makkah dimulai tahun 1835. Tahun ketika syekh Nawawi Banten masih berusia 15 tahun. Sebelum berangkat ke Makkah, ia juga telah menuntaskan belajar ilmu agama di berbagai ulama di wilayah penjuru pesisir pantai utara Jawa.

Baca Juga: Abu Ubaidah Ma’mar al-Taimî, Seorang Mantan Budak, Pengarang Kitab Majâz al-Qur’ân

Pengembaraannya di Makkah tersebut membuka jejaring yang lebih luas dengan berbagai ulama dari seluruh penjuru dunia serta juga menjadi salah seorang penerus transmisi ulama Haramayn-Nusantara. (Kiai Sholeh Darat dan dinamika politik di Nusantara abad XIX-XX M. 56-57)

Layakkah Disebut Tafsir Pertama?

Tafsir Faydur Rahman adalah kitab tafsir berbahasa Jawa pertama, demikianlah yang diakui oleh semua penulis buku tentang kiai Saleh Darat seperti pada tulisan Abdul Mustaqim dan Tulisan Taufik Hakim. Melalui tulisan saya di atas, tafsir Faydur Rahman merupakan bagian dari kemelut sejarah Islam Indonesia pada masa penjajahan.

Mulai dari perdebatan kemunculan pesantren, relasi ulama Nusantara-Haramayn sampai pergolakan politik kekuasaan Islam di Indonesia yang menuntut para intelektual muslim mengubah pola dakwah Islam dari politik budaya ke pendidikan. Bagi saya, Tafsir Faydur Rahman adalah salah satu produk dari proses transmisi-transformasi dakwah tersebut.

Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....