Banyak karya tafsir Al-Qur’an yang lahir di bumi Nusantara, mulai dari Abdur Rauf as-Sinkili pada abad 17 M hingga M. Quraish Shihab pada abad 21 M (modern). Karya-karya tafsir tersebut hadir dalam – dan membawa – beragam latar belakang sosial-budaya penulisnya. Artikel ini akan menjelaskan tentang background sosial-budaya penulisan tafsir Al-Qur’an di nusantara menurut Islah Gusmian.
Tafsir Al-Qur’an di Nusantara ditulis oleh berbagai tokoh yang berasal dari beragam komunitas. Di antara mereka ada yang berperan sebagai penasihat pemerintahan (mufti), guru, kiai di pesantren, surau, atau madrasah. Ada pula yang berasal dari dunia akademik dan politik. Latar belakang itu mewarnai produk tafsir mereka. Menurut Islah Gusmian setidaknya ada lima background sosial-budaya penulisan tafsir di Nusantara.
Pertama, tafsir Nusantara yang ditulis dalam ruang politik kekuasaan atau negara. Tafsir semacam ini biasanya ditulis oleh tokoh-tokoh yang memiliki peran sebagai bagian pemerintahan seperti hakim atau mufti. Misalnya adalah Tarjuman al-Mustafid karya Abdur Rauf as-Sinkili yang berposisi sebagai penasihat kerajaan Aceh. Tafsir ini diperkirakan ditulis pada tahun 1675 M, tepatnya pada akhir kekuasaan Sultanah al-Alam.
Contoh lainnya adalah Tafsir Al-qur’an al-‘Azim karya Raden Penghulu Tafsir Anom V, seorang Penghulu Ageng ke-18 dalam dinasti Kartasura. Nama aslinya adalah Raden Muhammad Qamar dan dilahirkan pada tanggal 11 Rabiul Awwal Tahun Jimakir 1786 Jawa (1854 M). Dia adalah anak ke-6 dari Raden Pengulu Tafsir Anom IV. Garisketurunannya bersambung sampai Sultan Trenggana, penguasa terakhir Kerajaan Islam Demak.
Kedua, tafsir Nusantara yang ditulis di lingkungan sosial pesantren. Secara umum, setidaknya ada dua jenis pesantren, yakni pesantren yang berada di lingkungan kraton seperti Manbaul Ulum Solo dan pesantren yang ada di luar kraton. Contoh tafsir Nusantara jenis ini adalah Tafsir Al-Qur’an Tarjamah Bahasa Jawi aksara pegon yang diterbitkan pada tahun 1924 atas inisiasi Raden Muhammad Adnan.
Contoh lainnya adalah Tafsir Al-Balagh karya Kiai Imam Ghazali, salah satu guru di pesantren Manbaul Ulum Solo. Tafsir ini diterbitkan secara berkala seperti majalah; ada tahun dan nomor. Selain Tafsir Al-Balagh, terdapat naskah anonim terjemah Al-Qur’an dengan aksara pegon. Karya ini dipakai sebagai bahan ajar di pesantren Manbaul Ulum Surakarta sejak tahun 1927.
Sedangkan contoh tafsir Nusantara karya pesantren di luar kraton di antaranya adalah Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān dan Tamsyiyatul Muslimīn fī Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ᾱlamīn karya KH. Ahmad Sanoesi (1888-1950 M.), Jāmi’ al-Bayān karya KH. Muhammad bin Sulaiman, Tāj al-Muslimīn karya K.H. Misbah bin Zainul Mustofa(1916-1994), dan Al-Ibrīz li Ma‘rifati Tafsīr alQur’ān al-‘Azīz (1960) karya K.H. Bisri Mustofa (1915-1977).
Ketiga, tafsir Nusantara yang ditulis dalam ruang lingkup pendidikan formal seperti madrasah dan kampus. Contoh tafsir ini adalah terjemah Al-Qur’an dengan bahasa dan aksara Bugis karya KH. Hamzah Manguluang, seorang pengajar di Madrasah As’adiyah Sengkang, Wajo. Terjemahan lengap 30 juz ini terbagi kepada tiga jilid dan memiliki dua kolom di setiap halamannya; sebelah kiri untuk ayat Al-Qur’an dan sebelah kanan untuk terjemahannya.
Karya lain dalam tipe ini adalah upaya yang dilakukan oleh Mahmud Yunus, yakni Tafsir Al-Qur’an al-Karim, sebuah tafsir berbahasa Indonesia. Mahmud Yunus merupakan seorang pembaru di bidang pendidikan Islam, khususnya bagi masyarakat Sumatera. Selain itu, ia juga dikenal sebagai alumnus Universitas al-Azhar sekaligus ulama yang ahli dalam bidang bahasa Arab dan tafsir Al-Quran.
Setelah era Mahmud Yunus, muncul beberapa karya tafsir lain yang sejenis. Misalnya, Tafsir al-Madrasi karya Oemar Bakry. Tafsir ini ditulis dalam ruang lingkup madrasah dan diperuntukkan bagi pembelajaran madrasah. Tafsir al-Madrasi ditulis pada era 1950-an dengan memakai bahasa Arab. Karya tafsir ini hingga kini dipakai sebagai bahan pelajaran di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Kemudian, contoh tafsir yang lahir di dunia kampus di antaranya ialah Tafsir Al-Nur (1952) dan Tafsir al-Bayan (1966) karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang dosen di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN), serta Al-Huda, Tafsir Al-Qur’an Boso Jawi karya Bakri Syahdi (1918-1994), mantan rektor UIN Sunan Kalijaga sekaligus mantan Kepala Pendidikan Pusat Eawatan Ruhani Islam Angkatan Darat.
Keempat, tafsir Nusantara yang ditulis dalam ruang organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Persis. Contohnya adalah Kur’an Jawen, Al-Qur’an dengan Cacarakan dan bahasa Jawa, yang diterbitkan oleh ormas Muhammdiyah bidang Taman Pustaka di Surakarta pada tahun 1927. Terjemah ini diduga ditulis secara lengkap, namun saat ini hanya tersisa juz 10.
Kelima, tafsir Nusantara yang ditulis di luar dari basi sosial sebelumnya. Maksudnya, tafsir semacam ini ditulis dalam ruang lingkup lain di luar empat background yang penulis sebut di atas. Islah Gusmian memberi contoh tafsir jenis ini dengan Tafsir Al-Azhar karya Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka. Menurutnya, tafsir ini ditulis dalam ruang masyarakat kota.
Demikian penjelasan tentang background sosial-budaya penulisan tafsir di Nusantara menurut Islah Gusmian. Secara umum penulis setuju dengan kategorisasi yang diberikan, hanya saja ada beberapa catatan: Pertama, contoh tafsir yang diberikan sebagian hanya diambil berdasarkan pada posisi penulis, tidak terlalu memperhatikan konten atau isi tafsir iti. Akibatnya, hal ini rentan terhadap kritik.
Salah satu contoh yang penulis anggap keliru adalah pengkategorian Islah Gusmian terhadap Tafsir al-Misbah sebagai produk tafsir di ruang kekuasaan hanya karena Quraish Shihab berposisi sebagai duta besar tanpa memperhatikan isi lebih dalam. Meskipun mungkin beliau diminta untuk menulis tafsir tersebut, namun – penulis kira – itu bukan dalam rangka sebagai bagian dari pemerintahan.
Kedua, keterbatasan kategorisasi. Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa Islah Gusmian kesulitan dalam melakukan kategorisasi tafsir yang berada di luar empat bidang yang disebutkannya. Akibatnya, ia menamai kategori kelima dengan istilah yang terlalu umum, yakni “di luar dari basis sosial yang spesifik di atas.” Padahal semestinya kategori umum ini bisa dibuat menjadi lebih spesifik.
Terlepas dari catatan-catatan penulis terhadap kategorisasi Islah Gusmian tentang background sosial-budaya penulisan tafsir Al-Qur’an di nusantara. Upanya tersebut telah memberikan kontribusi nyata dalam kajian Al-Qur’an dan tafsir, bahwa tafsir Nusantara lahir, tumbuh, dan berkembang tidak pada ruang kosong, melainkan pada latar belakang yang beragam dan kompleks. Wallahu a’lam.