BerandaTafsir TematikBeberapa Hal tentang Ghibah yang Dibolehkan

Beberapa Hal tentang Ghibah yang Dibolehkan

Ghibah berasal dari kata ghaib, yakni tidak terlihat. Dinamai ghibah karena membicarakan seseorang tanpa sepengetahuannya. Rasulullah saw. mendefinisikan ghibah dengan redaksi ‘engkau membicarakan terkait saudaramu yang dia tidak sukai’ (lihat H.R. Muslim No 2589). Alquran turut menyinggung pembahasan ghibah. Lebih dari itu, bahkan secara tegas menyampaikannya dalam bentuk larangan serta perumpamaan yang mengerikan. Hal ini sebagai peringatan nyata betapa ghibah adalah perbuatan yang haram. Allah swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hujurat: 12)

Menurut az-Zujaj yang dikutip asy-Syaukani dalam tafsirnya, Allah membuat permisalan ghibah dengan memakan bangkai seseorang, sebab bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang mengghibahnya. asy-Syaukani menambahkan bahwa  ayat di atas merupakan isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya yang dilarang untuk dirusak (Fathul Qadir, 5/87).

Baca Juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

Makna Perumpamaan Ghibah dalam Ayat

Secara lebih rinci, dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan hikmah dari perumpamaan ghibah di atas. Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya, apalagi mengoyak kehormatan manusia yang jelas lebih buruk lagi. Kedua, Allah memisalkannya dengan ‘bangkai daging saudaranya’, bukan daging hewan, menunjukan bahwa ghibah sangat dibenci.

Ketiga, Allah swt menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai bangkai, dalam artian ia adalah orang yang sudah mati, sehingga tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya. Keempat, Allah swt menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, supaya hambaNya menghindarinya serta merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Tafsir Al-Qurtubi, 16/335).

Bukan daging hewan seperti daging sapi, daging ayam, tapi justru dimisalkan daging saudara sendiri. Katakanlah saudara itu adalah kerabat dekat, membayangkan merusak jenazahnya saja tidak mungkin, apalagi sampai memakan bangkai mayatnya adalah kemustahilan, karena kita tidak mungkin melakukannya. Justru perbuatan itu sangat dibenci dan pasti dihindari.

Perumpamaan yang menjijikkan ini semestinya semakin meneguhkan setiap muslim untuk senantiasa menjaga lisannya dan berhati-hati dari ghibah. Setiap kali hendak tergelincir, hendaklah mengingat betapa pelaku ghibah akan mendapatkan siksa, sebagaimana perjalanan Rasulullah ketika isra mi’raj yang mendapati pelaku ghibah menerima siksaan berupa mencakar-cakar dada dan wajah mereka sendiri (lihat H.R. Abu Dawud, no. 4878).

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Ghibah yang Dibolehkan

Ghibah dihukumi dosa karena keharamannya. Adapun kebolehan ghibah adalah bukan hukum asal. Hukum asal ghibah adalah haram.  Dalam sebuah kaidah dikatakan,

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Kondisi-kondisi darurat menghalalkan apa-apa yang haram.”

Artinya, apabila hilang ‘illatnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah), maka kembali kepada hukum asal. Kebolehan itupun adalah keadaan darurat. Dikatakan darurat apabila tujuannya benar secara syara’ yang tidak dapat dicapai kecuali dengan ghibah semata. Hendaknya tidak dipahami untuk menyepelekan ghibah dengan mendasari dalil kebolehannya.

Imam Nawawi menjelaskan secara rinci enam keadaan ghibah yang dibolehkan, antara lain: pertama, mengadukan kezaliman orang lain; kedua, meminta tolong untuk menghilangkan kemungkaran; ketiga, meminta fatwa (pendapat hukum) dari seorang alim; keempat, mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadis; kelima, memperingatkan manusia dari bahaya seseorang atau dari bidah yang ada padanya; keenam, memperkenalkan seseorang kepada orang lain dengan ciri khusus yang dimilikinya, yakni menyebut orang lain dengan sebutan yang dia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16/124-125).

Sebagai salah satu contoh tentang ghibah yang dibolehkan tergambar dalam sebuah hadis yang menceritakan Hindun bintu ‘Utbah yang pernah mengadu dan meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Hindun menjelaskan secara rinci masalah rumah tangganya, bahkan menyebut nama suaminya. Di sini Hindun melakukan ghibah. Karena beliau menyebutkan tentang kejelekan suaminya, yaitu suaminya bakhil, tetapi Rasulullah tidak mengingkarinya.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan bakhil, dia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Lalu Rasulullah saw. menjawab, “Ambillah nafkah yang cukup untukmu dan anak-anakmu, sesuai dengan batas kewajaran.” (H.R. Bukhari, no. 5364).

Ini berarti bahwa jika ghibah itu dalam rangka tujuan yang jelas, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi sebelumnya, maka membicarakan keburukan seseorang tidak dipermasalahkan. Selain itu, bisa dikatakan bahwa tujuan ghibah yang dimaksud diniatkan untuk bisa mendatangkan manfaat dan meminimalisir mudarat dari orang yang di’rasani’.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2  

Penutup

Balasan dari menjaga kehormatan seseorang tidaklah main-main dan merupakan perbuatan mulia. Dalam sebuah hadis dari Abu Darda’ berkata, Nabi saw bersabda, siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya (H.R. at-Tirmidzi, 1931). Tidak melakukan ghibah sama dengan ikut menjaga kehormatan seseorang.

Namun terkadang jika terdapat kondisi yang mengharuskan untuk ghibah, dalam arti membicarakan hal yang tidak disukai dari seseorang dengan tujuan yang jelas dan dengan sebatas keperluannya, maka ada beberapa ulama yang membolehkannya, dengan catatan maksud dan tujuannya jelas, tidak hanya dalam rangka mencaci, membully dan merendahkan seseorang tersebut.

Namun, bilamana seseorang terlanjur ghibah, Ibnu Katsir mengutip pendapat ulama lain memberikan solusinya. Hendaknya memuji orang yang dighibahi dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat yang dia telah mencela orang itu (Tafsir Ibnu Katsir, 4/276). Selain itu, bentuk kafaratnya adalalah memohonkan ampunan untuknya (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/78).

Adapun meminta dihalalkan (istihlal) kepada pihak yang di’rasani’, ini bersifat situasional, karena khawatir memicu respon negatif. Mendoakan kebaikan untuknya, memohonkan ampunan, dan menceritakan kebaikannya adalah penebus dosa ghibah. Wallah a’lam.

Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa
Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...