BerandaTafsir TematikJangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

Kadang, hati seseorang yang kecewa kepada orang lain akan meluapkan emosi dan kemudian muncul rasa iri. Saat mengalami perasaan tidak enak ini, ia terus merutuki dirinya sendiri dan sebisa mungkin mencari cara agar orang yang membuatnya emosi merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Tak jarang ia menggunjing orang tersebut. Dan tentu saja hal ini dilarang, karena menggunjing sama saja mencemarkan nama orang lain. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12 “wa laa yaghtab ba’dhukum ba’dhan” (jangan menggunjing sebagian kalian pada sebagian yang lain), sebagai salah satu cara untuk menjaga tali persaudaraan.

Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Surat Al-Hujurat ayat 12, jangan menggunjing orang lain!

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”

Mengutip at-Tahrir wat-Tanwir anggitan Ibnu ‘Asyur, ayat ini menjadi ayat kelima di Surat Al-Hujurat yang diawali dengan sapaan kepada mukminin. Hal ini mengindikasikan lima ayat tersebut menunjukkan sifat dan sikap buruk yang samar dalam berinteraksi. Kesamaran ini yang menyebabkan sifat buruk tersebut sulit dihindari dan selalu menggerayangi hati manusia.

Surat Al-Hujurat ayat 12 terdiri dari setidaknya tiga adab berelasi dengan orang lain. Pertama, larangan untuk berprasangka buruk. Kedua, larangan untuk memata-matai (stalking) yang berkonotasi negatif, misalnya mencari-cari kesalahan orang. Ketiga, larangan untuk ghibah.

Baca juga: Pakaian Isbal, Indikator Kesombongan, dan Tafsir Ayat-Ayat Takabur dalam Al-Quran

Untuk yang ketiga, Allah lebih mewanti-wanti agar benar-benar dihindari. Hal ini ditunjukkan dengan pencantuman tamsil orang yang ghibah dengan orang yang memakan daging saudaranya sendiri. Sebagaimana pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul Adzim, yang bertendensi pada hadis riwayat Abu Hurairah dalam Sunan Abu Daud:

كل المسلم على المسلم حرام ماله وعرضه ودمه. حسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم

“Haram harta, kehormatan, darah, tiap muslim atas muslim lainnya. Orang yang tercela perangainya ialah ia yang menghinakan saudara semuslimnya sendiri”

Jika ayat ini menjadi dasar larangan ghibah, lalu apa maksud dari ghibah?

Masih dalam kitab yang sama, ghibah diartikan Nabi SAW dengan “dzikruka akhaka bi ma yukrihu” (menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi saudaramu atau menggunjing”. Ibnu ‘Asyur juga mendefinisikannya dengan mengucapkan sesuatu yang tidak disenangi orang lain saat orang itu tidak ada.

Maka kita temukan titik temu bahwa analogi menggunjing orang lain sama saja dengan memakan mayat saudaranya. Artinya, yang menggunjing sama saja iya menggunjing dirinya sendiri. Karena ia dengan orang yang ia gunjing sejatinya setubuh, sepersaudaraan, sehingga ia melakukan hal yang ia tidak suka.  Dalam satu riwayat hadis, menggunjing juga diumpakan seperti anjing yang muntah lalu menjilat kembali muntahan itu. Sama dengan penggunjing. Ia menebar aib orang lain, yang secara tidak langsung termasuk aibnya sendiri.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh

Tidak menggunjing demi menjaga tali persaudaraan

Dengan kita tidak menggunjing orang, kita telah melakukan satu ikhtiar untuk menjaga tali persaudaraan. Karena kita telah menyembunyikan aib orang lain. Yang tentu saja, bila aib itu diumbar, orang yang bersangkutan akan sakit hati kepada kita, sehingga tali persaudaraan akan merenggang. Dengan demikian, mayoritas mufassir dan para fuqaha –selain syafi’iyyah- menghukumi gunjingan ini dengan maksiat besar. Karena dampak yang ditimbulkannya fatal.

Dan, bila prinsip tauhid sosial sudah diterapkan, maka tidak ada sikap menjelek-jelekkan orang lain dengan menggunjingnya. Karena, perasaan satu tubuh dan satu persaudaraan telah tertancap dalam hati. Prinsip tauhid sosial dan persaudaraan ini antara lain disarikan dari surat Al-Hujurat ayat 10:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.

Semoga kita semua dilindungi Allah dari perbuatan buruk pada orang lain, sehingga tali persaudaraan ini senantiasa terjalin dengan baik. Amin.

Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...