BerandaTafsir TematikImsak sebagai Kesunahan dalam Sahur

Imsak sebagai Kesunahan dalam Sahur

Imsak sebagai istilah yang sudah meng-Indonesia, yakni saat memulai berhenti makan sahur agar tidak terlewat hingga masuk Subuh, merupakan tradisi baik yang diwariskan oleh para ulama Nusantara. Meski demikian, akar praktik dari imsak ini sudah terjadi sejak masa Rasulullah saw. hanya beliau tidak menggunakan istilah tertentu.

Dijelaskan dalam Alquran dan hadis bahwa waktu dimulainya berpuasa adalah ketika masuk waktu subuh. Namun, mengakhiri sahur sebelum mendekati waktu fajar tergolong perkara yang dianjurkan, sebab Nabi dan para sahabat dahulu juga melakukan imsak (menahan diri) untuk mulai berpuasa pada waktu tersebut.

Baca Juga: Asal Muasal Amalan Baca Surah Alkausar Tujuh Kali saat Sahur

Ketentuan waktu memulai puasa

Ketentuan puasa yang menjadi rujukan utama dalam memulai puasa adalah dalam firmanNya,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian perbedaan benang putih dari benang hitam yakni fajar. (Q.S. al-Baqarah [2]: 187)

Ayat tersebut menerangkan bahwa Allah membolehkan hambaNya yang berpuasa untuk sahur (melakukan hal-hal, makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa) sampai masuk waktu fajar. Kata al-khaiṭ al-abyaḍ (benang putih) yakni cahaya yang nampak membentang di ufuk bagaikan benang yang panjang pada saat tampaknya fajar shadiq, dari al-khaiṭ al-aswad (benang hitam) yang membentang bersama cahaya fajar kadzib dari kegelapan malam. (Tafsir al-Misbah, 1/412)

Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (1/395) menjelaskan bahwa benang putih dan benang hitam adalah suatu kiasan. Yang dimaksud dengan benang putih yaitu waktu subuh ketika waktu telah mulai tampak terang, sedangkan yang dimaksud benang hitam adalah waktu malam. Kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud waktu fajar dalam ayat tersebut adalah waktu fajar shadiq.

Penjelasan tersebut berdasarkan sebagaimana yang diterangkan Sayyidah ‘Aisyah: “Tidaklah adzan Bilal mencegah (untuk berhenti) sahur-sahurmu sekalian, sesungguhnya adzan dia (Bilal) merupakan pertanda waktu malam (untuk membangunkan orang), maka makan dan minumlah kamu sekalian hingga kalian mendengar adzan Ibnu Ummu Maktum, sesungguhnya beliau tidak adzan hingga (adzan) ketika waktu fajar tiba.” (H.R. Bukhari)

Baca Juga: Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

Imsak: sunnah mengakhiri sahur sebelum fajar

Secara tuntunan nabawi, imsak -bahasa Arab- (menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa) sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi saw. meskipun istilah imsak tidak diresmikan dengan nama khusus. Sebagaimana dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسّحُوْرِ؟  قَالَ قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً

Sahabat Zaid bin Tsabit mengatakan, Dahulu kami bersahur bersama Nabi saw. sesaat kemudian beliau salat subuh. Anas bin Malik bertanya, “Berapa jeda waktu antara adzan (subuh) dengan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira seukuran rentang waktu membaca 50 ayat.” (H.R. Bukhari Muslim)

Imam asy-Syafi’i (al-Umm 2/105) dan Imam Nawawi (Syarah Shahih Muslim 4/180), menerangkan bahwa dalam hadis tersebut terdapat anjuran agar menyelesaikan makan sahur sebelum datangnya fajar. Imam Mawardi juga mengatakan, bahwa waktu puasa memang dimulai dari terbitnya fajar hingga tenggelam matahari, namun hendaknya sedikit mendahulukan untuk imsak (berhenti makan) sebelum terbitnya fajar (waktu subuh). (al-Iqna’ fil Fiqh asy-Syafi’i: 74)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh seorang mufti Mesir, Syekh Hasanain Muhammad Makhluf, meski kewajiban memulai puasa adalah fajar, tetapi disunnahkan memulai (menahan diri) untuk tidak lanjut makan dan minum sebelum fajar tiba, kira-kira sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat, kira-kira 10 menit. (Fatawa al-Islamiyah min Dar al-Ifta’ al-Mishriyah 1/104)

Mengenai rentang waktu imsak, disebutkan pula dalam Khulashah Al-Wafiyyah karya Kyai Zubair Umar Jailani tentang perkiraan waktu yang digunakan untuk membaca Alquran 50 ayat adalah kira-kira 7-8 menit, yang kemudian di ambil kesepakatan ij’mai dibulatkan menjadi 10 menit.

Baca Juga: Orang-Orang yang Diberi Rukhsah untuk Tidak Berpuasa Ramadan

Adapun penjelasan bahwa hadis di atas memakai keterangan dalam mengukur waktu dengan standar perbuatan fisik, menurut al-Muhallab sangat mungkin karena memang kebiasaan orang-orang Arab sudah biasa mengukur waktu dengan perbuatan-perbuatan terntentu; seperti perkataan mereka ‘selama memerah susu kambing’ atau ‘selama menyembelih unta’. Maka dalam hal ini Zaid bin Tsabit memperkirakan jarak waktu tersebut selama membaca ayat Alquran, sekaligus sebagai isyarat bahwa saat itu merupakan waktu untuk membaca Alquran.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hikmah dari waktu imsak merupakan salah satu bentuk ikhtiyath, agar sebelum masuk waktu salat Subuh tiba, seseorang sudah tidak dalam keadaan makan dan minum sehingga menyebabkan puasanya menjadi batal. Hal ini juga sejalan dengan kaidah yang disampaikan oleh Ali as-Shabuni yang menyatakan bahwa,“Perkara-perkara ibadah seyogyanya mengandung kehati-hatian.” Wallahu a’lam.

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

0
Bahasa Arab telah berkembang ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. lahir. Meski telah berusia lama, bahasa ini masih digunakan hingga hari ini. Bahasa Arab...