BerandaTokoh TafsirBeda Orientasi Politis Penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka

Beda Orientasi Politis Penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka

Salah satu yang menyebabkan penafsiran Alquran itu banyak dan beragam adalah orang yang menafsirkan banyak dan berbeda-beda. Tidak hanya pada ayat Alquran yang mempunyai kandungan hukum, perbedaan penafsiran itu juga akan terlihat pada ayat-ayat jenis yang lain. Sebagai contoh di sini adalah penafsiran Sayyid Qutb (1906-1966 M) dalam Tafsir fi Dzilal Al-Quran dan Hamka (1908-1981 M) dalam Tafsir Al-Azhar ketika menafsirkan surah Alhujurat ayat 10-13. Dua mufasir ini dipilih karena keduanya mempunyai kemiripan latar belakang keilmuan dan proses penyelasaian kitab tafsir, meski tidak semuanya mirip, apalagi sama persis.

Menurut Munir Muhammad Nashir dalam Asma’ Suwar Al-Quran wa Fadhailiha surah Al-Hujurat secara garis besar berisi dua hal. Pertama, tata krama terhadap Nabi Muhammad saw; Kedua, tata krama dan prilaku terhadap orang lain. Misal mendamaikan dua pihak yang berselisih; menolak permusuhan; berhati-hati untuk tidak bersikap merendahkan dan mengolok-olok orang lain (baik secara  tindakan maupun ucapan); menjauhi ghibah, tajassus, su’ dzan; dan mengajak untuk saling mengenal dengan orang lain. Kandungan yang kedua ini yang akan didapati dalam ayat 10 dan 13.

Demikian juga dengan penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka, substansi pemahaman keduanya terhadap empat ayat tersebut sebenarnya sama, namun ada penekanan-penekanan yang berbeda di beberapa bagian tafsir yang menjadikan penafsiran mereka mempunyai orientasi yang berbeda.

Baca Juga: Sayyid Qutb dan Hamka: Mirip tapi Tak Sama

Penafsiran Sayyid Qutb atas surah Alhujurat ayat 10-13

Berdasar pembacaan Tafsir fi Dzilal Al-Quran terbitan Dar Asy-Syuruq, Bairut 1412 H, Juz Ke-26 halaman 529-531

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 10

Bagi Sayyid Qutb, ayat ini merupakan landasan teologis bahwa umat Islam itu bersaudara. Oleh karena itu, sebagai saudara harus menjaga dan memelihara persatuan, perdamaian dan rasa cinta. Namun jika ada yang berselisih, maka dibolehkan untuk memerangi pihak yang berbuat zalim dengan tujuan agar kembali ke barisan umat Islam, bukan untuk menghancurkannya.

Selain solusi ini, Sayyid Qutb memberikan alternatif lain yang menurutnya bersifat lebih prinsip, yaitu adanya satu kepemimpinan dalam umat Islam, sehingga bisa menyatukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Dengan begitu menurutnya akan meminimalisir perselisihan di antara umat Islam, kalaupun masih ada yang berbuat zalim, maka berarti pihak tersebut merupakan pemberontak yang wajib diperangi sebagaimana Ali bin Abi Thalib RA. ketika memerangi para pemberontak dalam perang Jamal dan perang Shiffin.

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 11

Tidak mengolok-olok, mencela dan memanggil dengan panggilan yang buruk menurut Sayyid Qutb merupakan ciri dan karakter dari masyarakat yang unggul. Tiga larangan ini merupakan dasar dari etika yang luhur yang harus dibangun dalam bermasyarakat. Lebih lanjut dia menjelaskan tentang petunjuk lain dari ayat 11 yaitu bahwa bentuk fisik atau lahiriyah dari seseorang itu tidak bisa dijadikan sebagai standar ukuran tentang nilai hakiki seseorang, hanya Allah yang mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu, jangan sekali-kali orang yang kaya merasa lebih mulia dan menghina orang miskin, orang yang kuat mencela orang yang lemah, yang lebih sempurna merendahkan yang cacat dan seterusnya, padahal bisa jadi orang yang dihina, yang dicela dan yang terlihat lebih rendah kualitas tampilannya itu lebih baik daripada yang mencela dan menghina.

Pada ayat ini, Sayyid Qutb juga menyoroti redaksi wa la talmizu anfusakum. Baginya yang juga seorang sastrawan, pemilihan redaksi ini sarat makna karena mengumpamakan sesama muslim dengan satu tubuh, yang berarti bahwa ketika mencela sebagian, maka dia seperti mencela semuanya.

Termasuk yang diwanti-wanti dalam ayat ini adalah tidak memanggil seseorang dengan panggilan yang jelek yang seseorang tidak menyukainya. Hal ini dikarenakan pada masa Rasul banyak para sahabat yang memberi gelar yang tidak baik kepada sahabat yang lain, dan sahabat tersebut tidak menyukai hal tersebut.

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 12

Berdasar ayat ini, Sayyid Qutb mengatakan bahwa seseorang yang menyayangi saudaranya maka tidak akan ada keraguan dan prasagka di hatinya. Hati yang berprasangka buruk adalah hati yang kotor. Tidak hanya dilarang berprasangka buruk, tetapi juga tidak boleh tajassus (memata-matai, mencari-cari kesalahan dan aib dari seseorang).

Pada bagian ini, Sayyid Qutb banyak menukil riwayat hadis yang menjelaskan tentang larangan berburuk sangka, ghibah dan tajassus (mencari-cari kesekahan orang lain). Larangan lain yang juga menjadi pesan dalam ayat ini adalah ghibah (membicarakan perihal orang lain yang tidak disukai oleh orang tersebut). Al-Quran memvisualkan orang yang suka ghibah dengan orang yang makan daging saudaranya yang busuk. Betapa sangat menjijikkan hal tersebut.

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 13

Bagi Sayyid Qutb, ayat ini mempunyai empat pesan utama. Pertama, perbedaan-perbedaan yang ada, ras, warna kuit, bahasa, negara dan lainnya itu tidak penting, karena manusia yang beragam ini berasal dari pokok yang satu. Kedua, tujuan dari keragaman ini untuk saling mengenal bukan untuk bermusuhan. Ketiga, nilai manusia yang sebenarnya di hadapan Allah swt adalah ketakwaan seseorang, bukan ras, warna kulit, bahasa dan lainnya. Keempat, ketakwaan inilah yang nantinya dapat meyelamatkan manusia dari fanatisme kesukuan, fanatisme ras dan lainnya.

Menurut Sayyid Qutb fanatisme tersebut merupakan kejahiliahan yang kemudian hari dikemas dan dibungkus dalam berbbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Islam memerangi fanatisme jahiliah tersebut agar sistem Islam ini tegak di bawah satu panji, yaitu panji Allah, bukan panji negara, bukan panji nasionalisme, bukan pula panji ras dan lainnya.

Baca Juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13

Penafsiran Hamka atas surah Alhujurat ayat 10-13

Berdasar pembacaan Tafsir Al-Azhar terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta tahun 2001 halaman 196-208

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 10

Perintah untuk mendamaikan dua pihak (sesama muslim) yang sedang berselisih menjadi pesan utama dalam ayat ini. Yang berbeda dari penafsiran Hamka di sini adalah kesabaran dan optimismenya. Ini terlihat dari penafsiran berikut “jika salah satu pihak masih tetap kukuh tidak mau berdamai, maka hendaklah diketahui apa sebab-sebab yang membuat mereka tetap ingin berperang.”

Pada penjelasan ini dia menukil riwayat yang diyakini sebagai sabab nuzul dari ayat tersebut. Adalah peristiwa perselisihan dan perkelahian suku Aus dan Khazraj yang sebenarnya dipicu oleh pertengkaran sepasang suami istri yang berbeda suku. Perkelahian ini kemudian diketahui oleh Nabi dan Nabi mengutus sahabat untuk melerai mereka. Akhirnya mereka bisa berdamai.

Ada tiga catatan dari Hamka dalam tafsir ayat ini. Pertama, pesannya bahwa “orang yang hendak mendamaikan benar-benarlah tegak di tengah, jangan berpihak, tunjukkan letak kesalahan masing-masing, karena bila keduanya telah sampai berkelahi tidak mungkin dikatakan bahwa yang salah hanya satu saja.”

Kedua, Misal peperangan kedua pihak yang sama-sama muslim itu tidak dapat dielakkan, betapa hebat peperangan itu terjadi, keduanya tetap dikatakan sebagai orang yang beriman. Ini merupakan isyarat dari awal ayat ini yang menggunakan panggilan ‘hai orang-orang yang beriman’.

Ketiga, Hamka mengomentari peperangan sesama muslim yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. Menurutnya, pertentangan para sahabat Rasul tersebut sama halnya dengan perselisihan di antara saudara Nabi Yusuf. Dalam kasus mereka tidak ada yang keluar dari wilayah dan nubuwwah. Di sini Hamka mengatakan dengan jelas bahwa dia sepakat dengan sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 11

Menurut Hamka, orang yang beriman tidak akan mengolok-olok, mencela dan memanggil dengan panggilan yang buruk. Sikap ini menjadi ciri dan karakter dari orang yang beriman. Pesan pada ayat ini berlaku untuk semua manusia, tidak hanya laki-laki tetapi juga berlaku pada perempuan.

Ketika menjelaskan ayat ini Hamka juga menceritakan kebiasaan orang Minang yang memberi julukan kepada anak-anaknya yang masih kecil. Di sini kita akan mengetahui bahwa Hamka memiliki gelar si Malik Periuk, karena Hamka sering diam-diam membuka periuk di dapur dan memakan lauk yang ada di dalamnya. Selain itu, dia juga mendapat gelar Datuk Indormo ketika sudah menginjak dewasa. Untuk gelar yang tidak menyakitkan dan orang yang diberi gelar tidak keberatan, yang demikian itu tidak apa-apa.

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 12

Ketika menafsirkan ayat ini Hamka lebih banyak menyinggung tentang pemimpin pemeritahan. Menurut Hamka seorang pemimpin harus menjauh dari berprasangka buruk terhadap rakyat yang dipimpinnya. Jika seorang pemimpin berbuat demikian, sering berprasangka buruk, suka curiga, pada akhirnya akan berlanjut pada upaya mencari-cari kesalahan rakyat, dan apa pun akan dibenarkan untuk dijadikan sebagai alasan penangkapan dan pemenjaraan. Akhirnya banyaklah timbul penangkapan. Hal ini akan membuat rakyat selalu dirundung rasa ketakutan dan rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Larangan yang lain dalam ayat ini yaitu ghibah (membicarakan aib orang lain). Itu adalah hal yang menjijikkan sebagaimana digambarkan dalam ayat, ‘seperti makan bangkai saudaranya sendiri’. Hamka menganggap orang yang suka ghibah tadi dengan pengecut. Dia memberikan kesan khusus pada orang yang demikian dengan syair.

Elok umbutnya pandan singkil

Dilipat lalu diperkalang

Manis mulutnya sehingga bibir

Hatinya bulat membelakang.

  • Tafsir surah Alhujurat ayat 13

Hamka menafsirkan ayat ini dengan dua versi. Pertama, ayat ini berarti Adam dan Hawa sebagai representasi dari penciptaan manusia pertama yang berbeda jenis kelamin. Kedua, ayat ini berarti manusia secara keseluruhan, tidak terbatas pada Nabi Adam dan Hawa.

Pada perjalanannya, manusia ini berbeda-beda dan beragam. Keragaman ini bukan untuk menambah jauh satu sama lain, tapi sebaliknya, yaitu agar bertambah dekat, saling mengenal. Semuanya berstatus sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka hanya ketakwaannya.

Oleh karena itu, ayat ini sebenarnya juga ingin menghapus kesenjangan sosial di antara manusia, keturunan raja itu lebih mulia, keturunan Ali dan Fatimah lebih mulia daripada keturunan orang biasa, dan seterusnya.

Baca Juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Hal-Hal di Balik Penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka

Dua penafsiran yang memiliki kemiripan konteks penulisan di atas, pada akhirnya tetap mempunyai perbedaan. Beberapa perbedaan ini yang menyebabkan orientasi penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka tidak sama. Beberapa hal di belakang penafsiran yang berbeda dari kedua mufasir tersebut antara lain dapat dilihat pada poin-poin berikut.

  1. Posisi Sayyid Qutb dan Hamka yang tidak sama. Sayyid Qutb memosisikan dirinya sebagai tahanan pemerintah karena sebagai aktivis dari organisasi yang mempunyai visi yang berseberangan dengan pemerintah. Sedangkan Hamka memosisikan dirinya sebagai tahanan pemerintah, korban fitnah dan hoaks.
  2. Sayyid Qutb membawa visi dan misi organisasi yang diikutinya dalam penafsirannya, yakni Ikhanul Muslimin. Sementara Hamka tidak mempunyai agenda organisasi di dalamnya, dalam empat ayat di atas, dia hanya bersuara sebagai seorang individu
  3. Hamka mengutip lebih banyak hadis dalam menafsirkan, sementara Sayyid Qutb tidak terlalu banyak. Ini menyebabkan perbedaan keluasan cakupan penjelasan dari masing-masing mereka.
  4. Hamka lebih terlihat memasukkan unsur tempat, yakni keindonesiaan dalam tafsirnya daripada Sayyid Qutb yang tidak banyak menyinggung kebiasaan masyarakat setempat.

Untuk poin satu dan dua memberi pengaruh yang dominan dalam perbedaan orientasi penafsiran kedua mufasir kondang tersebut. Ini dapat dilihat khususnya kecenderungan penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka pada ayat 10 dan 13. Di situ terlihat jelas bahwa Sayyid Qutb sedang mengkampanyekan sistem pemerintahan yang diusung organisasinya. Berbeda dengan penafsiran Hamka yang tidak demikian. Ketika sudah mengetahui keterpengaruhan seorang mufasir oleh keadaan yang mengitarinya, maka cukuplah hal tersebut berhenti di pemahaman Sayyid Qutb saja, bukan berarti penafsirannya adalah satu-satunya maksud dari ayat yang ditafsirkan, terbukti masih ada penafsiran lain yang berbeda, yaitu penafsiran Hamka dan tentu tafsir-tafsir lainnya. Wallah a’lam

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...