BerandaKhazanah Al-QuranBelajar Alquran Harus Bersanad!

Belajar Alquran Harus Bersanad!

Dalam khazanah keilmuan Islam dikenal istilah sanad. Yakni silsilah keilmuan yang bersambung sampai kepada Rasulullah. Begitu penting kedudukan sanad dalam beragama, banyak paraulama yang terkenal sebagai pakar juga berkat sanad guru-guru mereka. Tradisi sanad juga masih kental dilestarikan di banyak pesantren di Indonesia.

Sebagai contoh, dalam disiplin ilmu fikih, mayoritas pesantren di Indonesia, Jawa khususnya, melalui silsilah guru para kiai pengasuh pesantren tersebut mayoritas bersambung kepada Imam Syafi’I dari jalur Syeikh Zakaria Al-Anshari. Maftuhin mencatat sanad K.H. Maimoen Zubair di bidang fiqih berada di urutan ke 38 melalui ayahnya, K.H. Zubair yang berguru kepada K.H. Faqih Maskumambang, berguru kepada Syaikh Mahfud Tremas yang berguru kepada Sayyid Abu Bakar Syata, berguru pada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan seterusnya hingga sampai kepada Rasulullah. Pada sanad ini, Syaikh Zakaria Al-Anshari berada di urutan ke 23. (Sanad Ulama Nusantara, hlm. 31-32)

Sementara itu, As-Suyuthi menuliskan secara khusus sanad keilmuannya baik di bidang tafsir, hadis, fikih serta ilmu-ilmu yang lain di sebuah kitab dengan judul al-Mu’jam bi al-Munjim. Syeh Mahfudz Tremas menulis kitab yang secara khusus berisi silsilah sanad keilmuan beliau dari berbagai keilmuan dengan judul Kifayatu al-Mustafiid li Ma‘ala minal Asaanid. Azra mencatat bahwa Syaikh Yasin al-Fadani menulis sebuah kitab yang berjudul Tarajim ‘Ulama’ al-Jawi yang berisi riwayat isnad yang dimilikinya beserta murid-muridnya yang banyak berasal dari Jawa. (Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, hal. 390)

Penelitian M. Syatibi menyebutkan bahwa kelima cendekiawan Alquran yang berpengaruh di Indonesia (K.H. Munawwir Krapyak, K.H Khalil Rejoso, K.H. Munawwar Sidayu, K.H. Said bin Ismail Bangkalan, dan Syaikh Mahfudz Tremas) semuanya bertemu pada Syekh Nashiruddin at-Tablawi dari Syaikh Abu Zakaria Al-Anshari meski menduduki urutan yang berbeda-beda.

Baca Juga: Talaqqi Sebagai Metode Pembelajaran Al-Quran

Mengapa harus bersanad?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu penulis menjelaskan makna istilah sanad supaya memberikan pemahaman utuh terkait tulisan ini. Sanad berasal dari bahasa arab, sanada-yasnudu-sunuudan yang artinya bersandar, naik, berpegang. (Kamus Al-Munawwir, hlm. 1554) Jika dibaca dalam bentuk tsulasi mazid dengan wazan af’ala menjada asnada-yusnidu-isnadan atau biasa disebut isnad bermakna membebankan, menopang, menyandarkan, menisbatkan, tergantung pada konteks kalimat. (Mu’jam al-Ghaniy)

Di dalam ilmu hadis, sanad dipahami sebagai mata rantai para periwayat matan hadis yang bermuara pada Rasulullah. Sanad memiliki posisi yang penting dalam diskurusus ilmu hadis, sebab kualitas serta kuantitas sanad menentukan kualitas sebuah hadis. Maka untuk menentukan kualitas suatu hadis perlu dilakukan sebuah penelitian atau kritik sanad. (Kaidah-Kaidah Ilmu Hadis Praktis, hlm. 156)

Dalam tulisan Hasanah yang berjudul Pesantren dan Transmisi Keilmuan Islam Melayu-Nusantara; Literasi, Teks, Kitab dan Sanad Keilmuan, dia mngutip difinisi sanad dari Zainul Milal Bizawie bahwa sanad adalah transmisi keilmuan yang terjamin kebersambungannya dari guru satu ke guru lainnya sampai ke generasi sahabat yang mengambil ilmu agama dari Rasulullah.

Dari penjelasan tersebut, diambil kesimpulan bahwa mulanya, ilmu keislaman berasal dari satu yakni Rasulullah yang diturunkan kepada para sahabat. Kala itu belum terjadi dikotomi disiplin keilmuan Islam. Tetapi pada masa berikutnya, seiring dengan kemajuan Islam serta kebutuhan zaman, ilmu-ilmu keislaman terbagi menjadi banyak cabang seperti hadis, fiqih, tasawuf, Al-Quran, Qiraat dsb.

Maka tak jarang, dalam silsilah sanad dari disiplin ilmu yang berbeda bersumber dari guru yang sama. Sebagai contoh, sanad ilmu fikih K.H. Maimoen dengan sanad Alquran K.H. Munawwir Krapyak bersumber dari guru yang sama yakni Syaikhul Islam Abu Zakaria Al-Anshari. Sebagaimana tulisan Azra bahwa jejaring sanad keilmuan di setiap zaman memiliki hubungan yang erat terhadap jaringan Ulama’.

Secara esensi, sanad merupakan sistem yang berfungsi menjaga kemurnian agama. Perkataan Ibn al-Mubarak tentang kedudukan sanad, jika saja tanpa sanad, maka seseorang akan mengatakan apa pun semaunya. Dalam beberapa kesempatan, Gus Baha menjelaskan bahwa alasan penting bersanad dalam mengaji adalah dikarenakan adanya pemahaman tentang agama yang hanya bisa didapatkan melalui guru, tidak bisa sebatas dipelajari melalui kitab-kitab tertulis dengan cara membaca (otodidak).

Dalam konteks belajar Alquran, penting memilih guru yang memiliki latar belakang sanad keilmuan Alquran yang jelas. Guru Alquran Rasulullah pun jelas, yaitu malaikat Jibril.

Dalam hadis dari Ibn Abbas dikatakan bahwa di setiap Ramadan, Jibril mengajarkan Alquran kepada Rasulullah:

عن ابن عباس قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن فلرسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة

“Dari Ibnu ‘Abbas. Dia berkata bahwa Rasulullah saw. adalah manusia yang paling dermawan terutama pada bulan Ramadan. Ketika malaikat Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadlan mengajarkan Alquran kepada Rasulullah Saw. Sungguh Rasulullah Saw. kedermawanannya jauh melebihi angin yang berhembus.” (H.R. Al-Bukhari)

Baca Juga: Ibnu Mujahid (2), Konsep Qiraat Sab’ah dan Sanadnya

Rasulullah saw. belajar Alquran kepada malaikat Jibril. Rasulullah saw. kemudian mengajarkan Alquran kepada para sahabat. Parasahabat mengajarkan ilmu yang mereka dapat kepada peramurid mereka di berbagai penjuru dunia, dan seterusnya hingga sampai kepada paraguru kita di Indonesia, seperti K.H. Munawir Krapyak dan tentunya bersambung hingga kepada santri-santrinya.

Waktu terus berjalan, dan sampai lah kita pada masa digital seperti yang kita rasakan sekarang. Belajar agama, termasuk belajar Alquran bisa diakses dengan sangat mudah dan bebas di beberapa platform media sosial. Sekarang, ketika seseorang ingin belajar, dia merasa tidak perlu mendatangi seorang guru dan berhadapan langsung denganya. Modal yang dibutuhkan pembelajar ini hanya paket kuota dan sinyal internet. Lantas, bagaimana dengan latar belakang sosok ‘ustadz’ yang dijadikan sebagai guru? Sudah dianggap tidak penting mungkin.

Wallahu a’lam

Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

0
Bahasa Arab telah berkembang ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. lahir. Meski telah berusia lama, bahasa ini masih digunakan hingga hari ini. Bahasa Arab...