BerandaUlumul QuranBelajar Membaca Alquran; Dulu dan Sekarang

Belajar Membaca Alquran; Dulu dan Sekarang

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf (w. 833 H) yang dikenal sebagai Ibnul Jazary, seorang pakar qira’at menyatakan dalam kitabnya, Thayyibat an-Nasyr Fi Al-Qiraat Al-Asyr tentang tiga unsur yang wajib dipenuhi dalam sebuah cara baca (qiraat) Alquran.

Tiga hal itu tertera dalam bentuk syair berikut:

فَكُلُّ مَا وَافَقَ وَجْه نحو…وَكَانَ لِلرَّسْمِ احْتِمَالًا يَحْتَوِي

وَصَحَّ اِسْنَادًا هُوَ الْقُرأن… فَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ الْاَركْاَن

وَحَيْثُمَا يَخْتَل رُكْنِ اثبت… شُذُوذُهُ لَوْ اَنَّهُ فِي السَّبْعَة

Tiga unsur tersebut yaitu:

  1. Sebuah cara baca (qiraat) Alquran harus sesuai dengan kaidah ilmu nahwu. Seperti yang kita ketahui bahwasannya Alquran diturunkan menggunakan bahasa Arab, sedangkan bahasa Arab tidak pernah lepas dari kaidah nahwu, sehingga bacaan Alquran yang benar juga harus sesuai dengan kaidah nahwu.
  2. Tulisan dari sebuah cara baca (qiraat) Alquran harus sesuai dengan kaidah penulisan Rasm Utsmaniy, meskipun dalam satu penulisan kata bisa dibaca dengan beberapa bacaan yang sudah disepakati oleh imam qira’at.
  3. Sebuah cara baca (qiraat) Alquran itu mempunyai sanad yang sahih. Dalam artian riwayat qiraat tersebut harus bersambung kepada Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Perintah dan Keutamaan Membaca dalam Alquran

Apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka sebuah qira’at menjadi qira’at yang syadz, meskipun kaidah bacaannya terdapat dalam qira’at sab’ah. Dengan demikian, seseorang yang membaca Alquran harus tahu tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tiga unsur di atas. Misal ilmu nahwu, ilmu rasm utsmaniy dan yang lainnya.

Ada yang mengatakan bahwa aturan tentang ketiga unsur di atas hanya berlaku pada masa lalu, karena pada masa itu, tulisan Alquran tidak memiliki tanda seperti titik, harakat, apalagi wakaf. Jadi penguasaan dalam ilmu rasm dan kaidah nahwu sangat dibutuhkan agar terhindar dari kesalahan ketika membaca Alquran.

Sedangkan saat ini, sudah banyak kemudahan dalam mempelajari cara baca Alquran. Hal ini karena bentuk tulisan Alquran sudah disempurnakan dengan harakat, tanda titik, waqaf dan tulisannya pun sudah menggunakan standar ustmani. Dengan begitu siapa saja bisa bisa membaca Alquran, tanpa harus mengetahui ilmu qiraat, ilmu rasm dan lainnya.

Membaca Alquran, baik paham kandungan dan keilmuannya ataupun tidak paham tetap bernilai ibadah. Namun tetap dengan syarat memenuhi aturan cara membacanya, yakni harus sesuai dengan kaidah tajwid (kaidah cara membaca Alquran).

Baca Juga: Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya

Keutamaan Belajar Membaca Alquran dengan Talaqqi

Dalam mempelajari tajwid, seseorang tidak cukup hanya dengan membaca kitab atau buku saja, karena hal yang paling penting dalam mempelajari tajwid bukan sekadar pada pemahaman saja, akan tetapi seseorang harus bisa mempraktikkan dengan benar. Sedangkan cara mempraktikkan kaidah tersebut harus dengan bimbingan guru yang sudah ahli. Ada kalanya seorang guru memberi contoh bacaan terlebih dahulu kemudian murid menirukan, atau dengan cara murid membaca terlebih dahulu, setelah itu guru mengoreksinya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh As-Suyuti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, hal. 153.

Sayangnya, di era yang serba mudah dan cepat, banyak sekali orang yang ingin belajar membaca Alquran, akan tetapi terhalang dengan kesibukan, sehingga tidak jarang dari mereka memilih untuk menempuh jalan pintas, yaitu belajar mengaji Alquran melalui sosial media.

Menurut K.H. Baha’uddin Nur Salim atau yang dikenal dengan Gus Baha’, belajar membaca Alquran melalui media sosial hanya sebagai penyempurna. Hal yang pokok adalah belajar mengaji langsung kepada seorang guru yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw. karena dengan mempelajari secara langsung kepada seorang guru, seorang murid juga bisa langsung dikoreksi jika ada kesalahan. Banyak sekali bacaan Alquran yang tidak bisa diucapkan dengan baik dan benar kecuali dengan bimbingan guru ahli seperti bacaan isymam, tashil, ikhfa’, saktah, dan lainnya yang biasa disebut dengan bacaan-bacaan yang gharib.

Lebih lanjut Gus Baha’ berpesan, “Pokok yang penting talaqqi. Anut guru. Barokahe anut guru lehe moco qur’an gak keliru.” (yang penting yaitu belajar langsung dengan seorang guru, patuh terhadap guru. Jika patuh terhadap guru, maka membaca Alquran tidak akan keliru).

Baca Juga: Nafi’ al-Madaniy: Pakar Qiraah yang Serius pada Kajian Rasm

Abdul Fattah Al-Murshofi dalam kitabnya, Hidayat al-Qari Ila Tajwid Kalam al-Bari menyatakan tentang keutamaan belajar dengan tatap muka langsung dalam syairnya:

مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ عَنْ شَيْخٍ مُشَافَهَةً… يَكُنْ عَن الزَّيْغ وَالتَّصْحِيْفِ فِي حَرَم

وَمَن يَكُن آخِذًا لِلْعِلْمِ مِنْ صُحُفٍ… فَعِلْمُهُ عِنْدَ اَهْلِ الْعِلْم ِكَالْعَدَم

Seseorang yang mempelajari sebuah ilmu dari gurunya secara musyafahah (tatap muka) maka akan terhindar dari kesalahan, sedangkan orang yang mempelajari ilmu hanya dari buku maka ilmunya tidak akan dianggap.

Walhasil, meski sekarang sudah banyak kemudahan, satu hal yang tetap tidak bisa ditinggalkan karena hal tersebut menjadi pokok dalam menjaga hadduttawatur, menjaga bacaan dari kesalahan yaitu musyafahah kepada seorang guru. Wallah A’lam

Mahmud Yunus
Mahmud Yunus
Santri aktif Pondok Tahfidh Yanbu'ul Quran, Kudus; Tim lajnah muroqobah Yanbu'a. Bisa disapa @cakmachmoed
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU