BerandaKisah Al QuranBelajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam

Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam

Salah satu episode pembuka kehidupan manusia bermula dari kisah tentang kesalahan. Sebagaimana diketahui Nabi Adam dan Ibu Hawa diturunkan ke muka bumi karena gagal mengelakkan diri dari tipu muslihat Iblis. Mereka mendekati pohon dan mencicipi buah yang Allah telah melarangnya yang menyebabkan segala nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada keduanya sewaktu bertempat tinggal di surga dicabut seketika.

Nabi Adam mengakui, menyesali kesalahan, dan menerima serta menjalankan apa yang ditetapkan oleh Allah pada dirinya. Ia tidak menyalahkan Iblis yang telah menggelincirkannya. Manusia pertama di dunia ini juga tidak meratapi nasibnya. Sebaliknya, dia memohon ampun kepada Allah dan terus menerus memperbaiki diri. Caranya dalam memperbaiki kesalahannya ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umat manusia.

Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa dalam Alquran

Diceritakan dalam Q.S. Ala’raf: 22, ketika Nabi Adam dan istrinya mencicipi buah terlarang tersebut, Allah berseru kepada keduanya sebagai bentuk peringatan dan teguran, “Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”

Dinarasikan lebih lanjut dalam kitab Tafsir al-Qurthubi (juz VII, h. 180) bahwa Allah berfirman, “Bukankah telah dibebaskan bagimu memilih seluruh dedaunan di dalam surga ini daripada hanya satu pohon tersebut?” Nabi Adam menjawab, “Demi kemuliaan Engkau, benar. Akan tetapi, aku sama sekali tidak menyangka akan ada makhluk Engkau yang bersumpah atas nama-Mu padahal dia berbohong.” Lalu Allah berfirman lagi, “Maka demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menurunkanmu ke bumi kemudian kamu tidak akan hidup kecuali dengan bekerja keras.”

Baca juga: Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga

Ada yang menarik dari kisah di atas, bahwa alasan Nabi Adam mau mengikuti bujuk rayu Iblis dikatakan Iblis bersumpah atas nama Allah. Sebab sikap hormat dan patuh Nabi Adam kepada Tuhannya, ketika dirinya mendengar asma-Nya itu terucap, ia akhirnya tertipu dan menuruti perintah Iblis yang sebenaranya telah berbohong. Ini sebagaimana penjelasan dalam kitab Tafsir Jami’ al-Bayan (juz XII, h. 351).

Selain menggunakan Nama Allah, Iblis menguatkan lagi sumpahnya dengan perkataannya, “Sesungguhnya aku diciptakan sebelum kalian berdua dan aku lebih tahu daripada kalian berdua. Ikutilah nasihatku, maka kalian akan mendapat petunjuk.” Karena bisikan disertai sumpah yang mengatasnamakan Allah itulah, Iblis berhasil melakukan tipu daya terhadap Nabi Adam dan Hawa.

Hukuman yang Allah berikan kepada Nabi Adam dan istrinya, tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan ataupun pengingkaran. Akan tetapi, justru pada momen itulah beliau semakin menyandarkan diri kepada Tuhannya dan meminta ampunan atas kesalahannya. Doa yang beliau panjatkan ini kemudian menjadi doa yang sangat sering kita baca sehari-hari, yang tercantum dalam Q.S. Ala’raf: 23.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

Buya Hamka menguraikan doa pada ayat tersebut dengan apik: “Keduanya menjawab, ‘Wahai Tuhan kami! Kami telah menganiaya diri kami.’ Inilah doa dan munajat kepada Ilahi yang telah menyatakan pengakuan kesalahan. Kami telah melanggar larangan. Sekarang, tahulah kami bahwa kami telah menganiaya diri, terasa oleh kami sekarang penderitaan batin kami sendiri. Oleh karena itu ampunan Engkaulah yang kami harapkan lagi.”

“Dan jika tidaklah Engkau ampuni kami dan Engkau nahmati kami, sesungguhnya jadilah kami dari orang-orang yang rugi.” Kami telah menganiaya diri kami sendiri. Telah nyata kelemahan kami. Maka kalau tidaklah Engkau ampuni dosa kami yang telah telanjur itu dan kalau tidaklah Engkau beri rahmat bagi kami dengan petunjuk dan hidayah sehingga buat selanjutnya kami hati-hati, niscaya rugilah kami, jiwa kami takut akan kerugian itu tetapi jalan lain untuk membangkitkan jiwa kembali kepada kebahagiaan dan kemenangan, tidak ada. Jalan hanya satu, yaitu kembali ke dalam perlindungan Engkau, berjalan di atas jalan Engkau.” (Tafsir al-Azhar, juz VIII, h. 193).

Menggali Ibrah: Manusia di antara Salah dan Ampunan

Sudah menjadi sunnatullah bahwa watak dasar manusia ialah sering berbuat kesalahan dan kelalaian. Manusia menyadari bahwa kehidupan dunia ini bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Ada banyak rintangan, tantangan, bahkan jebakan yang seringkali membuatnya terlena dengan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dalam hidupnya. Banyak aspek dari diri manusia yang selalu ingin keluar dari rambu-rambu yang sudah Allah tetapkan. Ketidakmampuan menjaga diri ketika berhadapan dengan aturan Allah adalah realitas yang menimpa pada kebanyakan mereka.

Rasulullah saw. telah menyampaikannya dalam sebuah hadis.

 كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat.” (H.R. Tirmidzi).

Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memperbaiki dirinya dari kesalahan yang telah ia lakukan. Hal ini relevan dengan kisah Nabi Adam dan istrinya. Kisah tentang kesalahan yang telah Nabi Adam dan istrinya lakukan menuju sebuah kisah ketaatan yang heroic; mereka bergerak melakukan perbaikan atas kelalaian yang mereka perbuat.

Baca juga: Nilai Kesetaraan hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Nabi Adam mengajarkan dengan baik persoalan tersebut. Hukuman yang Allah berikan kepada keduanya tidak menjadikan beliau memilih jalan pembangkangan ataupun pengingkaran, bahkan beliau tidak menyalahkan setan yang telah menjerumuskan; tak mencaci maki, menggerutu, dan menyalahkan pihak lain atas tipu dayanya. Namun, justru momen tersebut yang menjadikan Nabi Adam lebih berpasrah menyandarkan diri dan meminta ampunan atas kesalahannya.

Dapat dipahami bahwa kelalaian dalam hal ini berkonotasi negatif. Justru pada titik itulah hubungan ketergantungan seseorang dengan Allah seharusnya mulai dibangun dengan erat, seperti halnya Nabi Adam dan Ibu Hawa. Posisinya sebagai hamba yang penuh dengan kelalaian, kealpaan, dan dosa, sangat membutuhkan dan harus terus bergantung kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Memaafkan dan Mengampuni dosa.

Baca juga: Benarkah Nabi Adam a.s. Penghuni Pertama Bumi?

Toh, seluruh bagian dari hidup manusia sepenuhnya bersandar pada “pemberian” Allah selaku Tuhan yang menciptakan. Yang memberi kita rezeki tidak lain Allah; yang memberi solusi atas setiap masalah pun Allah. Adakah yang mampu menggantikan posisi tersebut? Tidak ada.

Karena itulah, Nabi Adam sungguh telah memberi teladan bahwa bagi siapa saja yang sedang jatuh dalam jurang kelalaian, tidak boleh ada kata menyerah untuk memohon ampunan dan rahmat-Nya. Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan, dan bersabar terhadapnya, juga tidak pernah putus asa untuk menyandarkan diri dan berharap kepada-Nya. Sebab, hubungan dengan Allah adalah prioritas utama manusia selaku makhluk-Nya. Bayangkan betapa sengsaranya apabila Allah tidak lagi melihat seseorang sebagai hamba-Nya. []

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Gus Baha jelaskan tata krama dalam interaksi sosial

Gus Baha Jelaskan Pentingnya Tata Krama dalam Interaksi Sosial

0
Dalam interaksi antar sesama di kehidupan bermasyarakat, Islam mengajarkan bahwa  muslim harus memperhatikan adab dan tata krama sosial, terlepas dari status dan kedudukan dalam...