BerandaTafsir TematikBelajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang bisa dilakukan melalui komunikasi yang terbuka dan penuh kasih sayang. Salah satu teladan dialog penuh kasih dan perhatian antara ayah dan anak dalam Alquran ialah dari kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf.

Dalam surah Yusuf ayat 4-5, Allah berfirman:

 إِذْ قَالَ يُوسُفُ لأبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ () قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Ingatlah, ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Baca Juga: Belajar Keteguhan Hati Seorang Ayah dari Kisah Nabi Ya’kub

Teladan Nabi Yakub dan Putranya

Berdasar percakapan antara ayah dan anak pada ayat di atas, bisa dilihat bagaimana Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Yakub, dengan rasa percaya diri dan penuh ketenangan. Ini menunjukkan bahwa seorang anak merasa aman dan nyaman dalam berbagi perasaan atau harapan dengan orang tuanya, terutama seorang ayah yang penuh kasih dan perhatian.

Dialog mereka menggunakan panggilan “ya abati” dan “ya bunayya” yang maknanya wahai ayahku dan anakku tersayang. Panggilan tersebut menggambarkan rasa kasih sayang dan kedekatan antara ayah dan anak. Dan perkataan yang disampaikan Nabi Yakub tersebut menjadi kinayah dari tulusnya nasihat yang disampaikan kepada anaknya. (Tafsir Tahrir at-Tanwir 12/213)

Ketika Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Yakub tidak langsung merespons dengan rasa senang, meski beliau tahu bahwa mimpi tersebut memiliki makna besar. Sebab sebagaimana diterangkan Imam ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib (18/420), sebelum putranya itu menceritakan perihal mimpi tersebut, Nabi Yakub sudah mengetahui adanya gelagat rasa iri dari anak-anaknya yang lain terhadap Nabi Yusuf.

Oleh karena itu, Nabi Yakub dengan bijaksana memperingatkan Nabi Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi itu kepada saudara-saudaranya. Hal itu menunjukkan empati dan kepedulian beliau terhadap dinamika hubungan di antara anak-anaknya. Sebab andai mereka tahu bahwa arti mimpi itu adalah saudara mereka akan memperoleh kemuliaan lebih dari yang mereka peroleh, tentu rasa kecemburuan akan muncul. Dan memang itulah yang terjadi saat mimpi Nabi Yusuf tersebut diketahui oleh saudara-saudaranya.

Komunikasi yang Terbuka dan Dialogis

Di dalam dialog antara Nabi Yakub dan Nabi Yusuf, ada keterbukaan yang luar biasa dari anak kepada ayahnya. Ini menunjukkan bahwa ada komunikasi yang sehat dan terbuka antara mereka. Bukan tidak mungkin, saat ini tidak jarang anak-anak lebih nyaman bercerita dengan teman atau saudara daripada dengan orang tuanya sendiri. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya kurangnya kedekatan emosional atau ketidakmampuan orang tua untuk menciptakan suasana yang mendukung terbentuknya komunikasi terbuka.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk selalu menjaga kedekatan dengan anak-anak, menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk berbagi perasaan, serta mendengarkan mereka dengan penuh perhatian dan empati. Sebagai contoh, Nabi Yakub tidak hanya mendengarkan Nabi Yusuf, tetapi juga memberi nasihat yang bijaksana, yang menunjukkan peran orang tua tidak hanya sebagai pendengar, tetapi juga sebagai pembimbing yang penuh kasih sayang.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!

Menciptakan Hubungan Penuh Kasih

Zakiah Daradjat menerangkan bahwa pentingnya kasih sayang dari orang tua dalam pembentukan kepribadian anak. Rasa kasih dan perhatian dari orang tua merupakan kebutuhan jiwa yang paling mendasar dan berpengaruh terhadap perkembangan emosional dan sosial anak. (Ilmu Jiwa Agama h. 67)

Kasih sayang yang diberikan dengan tulus oleh orang tua akan memperkuat rasa percaya diri anak, membentuk karakter baik, serta meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang merasa dicintai dan diperhatikan cenderung lebih mampu mengelola perasaan dan emosi mereka dengan baik. Mereka juga lebih terbuka dalam berkomunikasi dengan orang tua atau orang lain di sekitar mereka, karena merasa dihargai dan dipahami.

Dengan demikian penting bagi orang tua untuk menciptakan kedekatan emosional dan rasa kasih sayang dengan dialog dan komunikasi efektif. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Yakub dan Nabi Yusuf dalam ayat di atas. Hal ini karena dialog yang penuh kasih dan perhatian dari orang tua dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi anak, memperkuat rasa percaya diri, dan membentuk karakter serta moral mereka. Selain itu komunikasi yang empatik membantu anak untuk mudah menerima dengan lapang hati akan nasihat tentang nilai-nilai agama dan kehidupan. Wallah a’lam.

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU