Ahlu Kitab secara bahasa berasal dari dua suku kata yaitu kata ahl dan kitab. Kata ahl adalah bentuk kata benda (isim) dari kata kerja (fi’il) yaitu kata ahila-ya’halu-ahlan. Ahl bermakna famili, keluarga, kerabat. Adapun kata kitab atau al-kitab bermakna buku, dalam makna yang lebih khusus yaitu kitab suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahlu yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an.
Sedangkan ahlu kitab menurut istilah adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah). Di antara mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlu kitab karena telah diberikan kepada mereka kitab suci.
Maka menarik untuk membahas dan melihat pendapat beberapa mufassir terkait istilah ahlu kitab yang lurus dalam Q.S. Ali Imran [3]: 113:
۞ لَيْسُوْا سَوَاۤءً ۗ مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ اُمَّةٌ قَاۤىِٕمَةٌ يَّتْلُوْنَ اٰيٰتِ اللّٰهِ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُوْنَ
Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara Ahlu Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat).
Riwayat asbabun nuzul ayat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan Ibnu Mundah yang bersumber dari Ibni Abbas. Ibnu Abbas berkata : “Ketika Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Usaid bin Sa’yah dan As’ad bin ‘Abd serta dari golongan Yahudi masuk Islam, lalu mereka beriman, membenarkan dan mencintai Islam.
Maka berkatalah pendeta-pendeta Yahudi dan orang-orang kafir diantara mereka: “Tidaklah beriman kepada Muhammad dan pengikut-pengikutnya kecuali orang-orang jahat di antara kami, sebab andaikata mereka yang paling baik diantara kami, mereka tak akan meninggalkan agama nenek moyangnya dan pergi ke agama lain.” Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai respon atas kejadian tersebut.
Dikemukakan oleh Ahmad dan lainnya yang bersumber dari Ibni Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata: “Pernah Rasulullah saw mengakhirkan sholat Isya’, kemudian beliau keluar menuju masjid, di dapatinya disitu orang-orang sedang menunggu shalat. Lalu bersabdalah beliau: “Ketahuilah! Sungguh tiada seorangpun dari penganut agama lain yang ingat kepada Allah di saat seperti ini (malam) selain kalian,” maka turunlah ayat ini.
Baca Juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
Menurut al-Qurthubi ayat ini menegaskan bahwa mereka itu yakni al-kitab, adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berlaku lurus, yakni menerima dan melaksanakan secara sempurna tuntunan Nabi-Nabi mereka, sehingga bersedia untuk percaya kepada kebenaran dan mengamalkan nilai-nilai kebenaran dalam agama.
Hal ini disebabkan oleh kesediaan mereka untuk selalu membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud, yakni tunduk patuh atau shalat malam. Pada umumnya, para mufassir memahami kelompok yang dibicarakan oleh ayat ini adalah ahl al-kitab yang memeluk agama Islam.
Adapun menurut Ibn Katsir yang pendapatnya senada dengan al-Qurthubi bahwa yang dimaksud dengan ahlu kitab yang lurus dalam ayat ini adalah golongan ulama ahlu kitab yang telah masuk Islam. Selain beriman, para ulama ahlu kitab ini juga taat pada perintah Allah yakni dengan bertaqwa dan banyak beribadah di malam hari yang digambarkan dalam ayat ini dengan membaca ayat-ayat Allah dan bersujud (shalat).
Lain halnya dengan pendapat Quraish Shihab yang mengeksplorasi kedua riwayat asbabun nuzul. Di mana ia mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan ahlu kitab yang lurus dalam ayat tersebut (jika mengikuti riwayat asbabun nuzul kedua) adalah umat yang mengikuti agama Allah dalam bingkai syariat yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad.
Mereka itu disifati dengan lurus maksudnya adalah jujur dan menginginkan kebenaran serta kebaikan. Sifat yang mereka miliki itulah yang mendorong mereka terus mentadabburi kitab-kitab yang mereka yakini.
Meskipun kitab-kitab mereka itu dianggap telah ter-tahrif (akibatnya tercamournya antara wahyu dan buah pikiran manusia sehingga tidak bisa dibedakan) namun menurut Shihab di dalamnya akan ditemukan bagian-bagian wahyu yang orisinil. Seperti halnya berbagai macam doa dan munajat kepada Allah yang dapat mendatangkan khusyu’ dan ketenangan apalagi jika dibaca di tengah malam.
Sedangkan untuk menerangkan riwayat yang pertama, ia mengutip pendapat al-Sya’rawi bahwa yang dimaksud dengan ahlu kitab yang lurus adalah orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam. Sebab tidak ada umat beragama lain menurutnya yang mengenal shalat malam selain umat Islam.
Baca Juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab
Dari beberapa pendapat mufassir baik yang mengeksplorasi riwayat asbabnun nuzul pertama maupun kedua, ada beberapa ibrah juga yang bisa diambil. Pertama, term ahlu kitab harus dimaknai dengan bijak dan tidak boleh dimaknai mutlak sebagai istilah yang berkonotasi negatif (secara aqidah). Sebab sebagaimana telah dijelaskan dalam tafsir, bahwa mereka sebagai makhluk (layaknya umat Islam dan umat beragama lainnya) tentu ada yang baik dan yang buruk.
Kedua, implikasi dari poin pertama khususnya dalam kehidupan sosial adalah tuntutan bagi umat Islam untuk selalu bersikap bijaksana dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam bermuamalah dengan ahlu kitab.
Sebab Islam mengakui independensi dalam beragama, maka perbedaan aqidah tidak boleh menjadi penyebab runtuhnya kemanusiaan dalam kehidupan sosial. Apalagi terbawa pada pendapat-pendapat yang semena-mena dalam mendiskreditkan dan memandang negatif ahlu kitab serta menilai mereka secara general sebagai musuh umat Islam. Wallahu a’lam.