BerandaTokoh TafsirMufasir Kontemporer Asal India: Hamiduddin Farahi

Mufasir Kontemporer Asal India: Hamiduddin Farahi

Salah satu kajian lanjutan dari munasabah Al-Quran adalah nizam. Nizam adalah salah satu istilah untuk mendefinisikan keteraturan surat dalam Al-Quran. Secara bahasa, nizam merupakan kata dasar munazam, yaitu sesuatu yang menarik keteraturan surat. Sedangkan secara istilah nizam, yaitu ikatan dari beberapa ayat yang berbeda sehingga membentuk suatu keteraturan atau susunan.

Dari nizam, inilah kemudian muncul teori ‘amud Al-Quran yang digagas oleh Hamiduddin Farahi, seorang mufasir kontemporer dari India. Ia mempunyai magnum opus tafsir Al-Quran berjudul, Tafsir Nizam al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan.

Al-Farahi sebagaimana dijelaskan Mustansir Mir dalam Coherence in The Quran: A Study of Islahi’s Concept of Nazm in Tadabburi Al-Quran, merupakan salah satu mufasir yang menggunakan kerangka berpikir kestrukturan (nizam) dengan berorientasi tema sentral surat. Pada setiap surat, kata Hamiduddin al-Farahi, mempunyai tema pengontrol yang berbeda yang disebut dengan ‘amud.

Nah, pada pembahasan kali ini kita akan mengulas biografi Hamiduddin Farahi. Terkait teoretisasi nizam, ‘amud, dan semacamnya akan dibahas dalam pembahasan yang lain.

Biografi Hamiduddin Al-Farahi

Al-Farahi mempunyai nama lengkap Abd al-Hamid bin Abd al-Karim bin Qurban Qanabir bin Taj Ali atau dikenal dengan nama Hamiduddin yang memiliki kunyah Abi Hamid. Ozturk Hayrettin dalam Principles of Hamiduddin al-Farahi Exegesis of Quran and Interpretation of Surah al-Fil menjelaskan bahwa al-Farahi berasal dari keluarga bangsawan di India yang bernama al-Ansari. Sedangkan nama al-Farahi merujuk pada penisbatan nama desanya yakni Phriha.

Al-Farahi lahir di sebuah desa kecil di distrik Azamgarh, Uttar Pradesh, India pada tahun 1862 M atau 7 Jumadil Akhir 1280 H. Ia merupakan sepupu dari seorang ahli sejarah-teolog terkenal bernama Shibli Naumani dan darinya ia belajar bahasa Arab. Untuk memperdalam sastra Arab, al-Farahi berguru kepada Maulana Faizul Hasan Saharaupuri di Lahore yang merepresentasikan seorang maestro di bidang tersebut.

Tak berpuas belajar bahasa Arab, ia tergelitik untuk belajar bahasa Persia kepada Maulvi Mehdi Husain dari Chitara (Azamgrah). Adapun ilmu fikih ia belajar kepada Abdulhay el-Leknevi dan bahasa Ibrani kepada Joseph Horovitz, sementara filsafar dan Injil kepada Thomas Arnold.

Baca juga: Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko

Karir Intelektual

Menginjak usia dewasa tepatnya 21 tahun, Hamiduddin Farahi direkomendasikan oleh Sir Syed Ahmad Khan, seorang pendiri universitas, untuk masuk ke Akademi Muslim Aligarh guna mempelajari disiplin ilmu modern.  Ahmad Khan menuliskan dalam suratnya bahwa ia mengirimkan seseorang pakar bahasa Arab dan Persia dari pada profesor-profesor di universitas tersebut.

Dari sinilah, kepakaran al-Farahi dibentuk. Di kampus inilah al-Farahi mulai menerjemahkan bagian dari kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Abu Abdullah Ibn Saad al-Zuhri ke dalam bahasa Persia. Alhasil, terjemahan al-Farahi sangat bagus, maka Ahmad Khan tertarik untuk memasukkannya ke dalam salah satu mata kuliah khusus dan al-Farahi lulus dari Allahbad University.

Selanjutnya pada tahun 1897-1907, al-Farahi memulai aktivitas mengajarnya sebagai pengajar bahasa Arab di Madrasah Islam di Karachi. Di Karachi, al-Farahi ditunjuk sebagai translator untuk Lord Curzon, Raja Muda Inggris (British Viceroy) ke India selama kunjungan diplomatiknya ke Semenanjung Arab.

Selepas itu, Al-Farahi bergabung dengan MAO College Aligrah sebagai Profesor Bahasa Arab (1907-1908) dan di situlah ia berjumpa dengan Joseph Horovits. Saat di Aligarh pula, Al-Farahi belajar bahasa Ibrani dari seorang orientalis Jerman, yaitu Joseph Horovits (1874-1931) (Hamiduddin al-Farahi dalam Exordium to Coherence in the Qur’an: An English Translation of Muqaddamah Nizam Al-Quran).

Ketika berada di Hyderabad, al-Farahi sempat merancang sebuah ide untuk mendirikan sebuah universitas yang memadukan ilmu agama dan modern serta akan diajarkan bahasa Urdu. Ide tersebut terealisasi pada tahun 1919 dalam bentuk Jamah Utsmania, Heyderebad. Akan tetapi, pada tahun 1925 Al-Farahi lebih memilih kembali ke Sarai Meer dan mengkhidmahkan dirinya untuk mengelola Madrasatul Islah, dan mengajar murid-muridnya.

Salah satu muridnya adalah Amin Ahsan Islahi, yang selanjutnya menjadi pengorbit atas gagasan pemikiran al-Farahi sebelum akhirnya al-Farahi wafat pada 11 November 1935 di Mithra.

Baca juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Karya-Karya al-Farahi

Al-Farahi termasuk ulama yang produktif menulis. Sebagaimana yang disampaikan Muhammad Yusuf al-Syurbaji dalam al-Imam Abd al-Hamid al-Farahi wa Manhajuhu fi Tafsirihi: Nizam al-Qur’an wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan bahwa karya-karya al-Farahi sebagai berikut,

  • Asalib Al-Quran

Kitab ini membahas tentang uslub dalam Alquran, pemahaman dan penerapannya dan susunan petunjuknya yang menjelaskan tentang tujuan pemahaman makna. Karya ini dicetak di India pada tahun 1389 H di al Dairah al-Hamidiyah dan kembali dicetak pada tahun 1411 H.

Kitab ini terdiri dari 2 jilid dalam bahasa Urdu yang menjelaskan tentang nahwu dan sarraf, diterbitkan pertama ketika al-Farahi masih hidup. Dan penerbitan kedua di saat wafatnya al-Farahi karena kepedulian muridnya yakni Syeikh Akhtar Ahdan al-Islahi di tahun 1357 H.

  • Amtsal Asif al-Hakim

Merupakan kitab kumpulan dari Hikayat Asif, al-Farahi menukilnya dari bahasa Inggris ke bahasa Arab. Karyanya ini masuk ke dalam salah satu jadwal si sebagian Madrasah Diniyah di India. Mulai diterbitkan ketika al-Farahi sudah wafat.

  • Imran fi Aqsam Al-Quran (1329 H),
  • Tuhfah al-I’rab, Al-Takmil fi Ushul al-Ta’wil,
  • Jamharah al-Balaghah
  • Aqsam Al-Quran
  • Dalail al-Nizam,
  • Diwan al-‘Arabi,
  • Al-Ra’y al-Sahih fi Man huwa al-Dzabih,
  • Al-Qa’idah ila ‘Uyun al-‘Aqa’id,
  • Mufradat Al-Quran,
  • Nizam Al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bi al-Furqan, dan lain sebagainya.

Demikianlah pengenalan kita terhadap sosok mufasir kontemporer Al-Quran dari India, Hamiduddin Al-Farahi. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...