Salah satu cara untuk tidak terlibat dalam sebuah hoaks adalah dengan berbaik sangka terhadap orang lain, terutama terhadap sesama orang beriman yang memang dikenal tidak pernah melakukan cela.
Dalam sebuah tafsir atas surah al-Hujurat ayat 12, dijelaskan bahwa berburuk sangka bisa jadi merupakan penyebab awal tindakan buruk lainnya yang lebih fatal, seperti tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan ghibah (membicarakan keburukan orang lain). Oleh sebab itu, sebagai kebalikan dari berburuk sangka, berbaik sangka mungkin saja menjadi langkah preventif awal atas tindakan buruk lainnya.
Terlebih lagi, di era yang serba media sosial, hoaks bisa dengan sangat mudah menyebar. Sebagai tameng dari hal ini, salah satunya dengan tetap berbaik sangka terlebih dahulu sembari mencari validitas sebuah kabar tersebut.
Jika di surah al-Hujurat ayat 12 secara jelas memberikan alarm kewaspadaan terhadap burung sangka, maka di surah an-Nur ayat 12, Alquran menyiratkan bahwa berbaik sangka sebagai salah satu awal perilaku baik dan konsekuensi keimanan seseorang.
Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12
Peristiwa Kabar Hoaks atas Sayyidah Aisyah
Salah satu kisah penting dalam sejarah Islam yang mengajarkan nilai berbaik sangka (ḥusnuẓan) ialah peristiwa ḥadīth al-ifki, atau fitnah yang menimpa Ummul Mukminin, Sayyidah Aisyah r.a., istri Rasulullah ﷺ. Kisah ini menunjukkan teguran Allah atas sebagian kaum mukmin yang mudah terpengaruh oleh berita bohong (hoaks) tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Kemudian turunlah surah al-Nur ayat 12 sebagai peringatan bagi umat muslim supaya berbaik sangka, khususnya kepada orang-orang berintegritas dan berkedudukan mulia sebagaimana Sayyidah Aisyah.
لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ
Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu, dan berkata, “Ini adalah (berita) bohong yang nyata?”
Pada ayat ini, Allah menegur kaum mukmin supaya mereka berbaik sangka manakala mendengar tuduhan yang menimpa Sayyidah Aisyah r.a. Dalam kasus fitnah ini, mereka diminta untuk merenungkan tuduhan itu dan bercermin dengan diri mereka sendiri. Mana mungkin, seorang istri Nabi yang mulia, Ummul Mukminin yang jauh lebih suci terlibat dalam perbuatan yang dituduhkan?
Diriwayatkan pada suatu hadis, bahwa ada seorang mukmin dalam peristiwa itu yang secara yakin tidak membenarkan gosip tersebut, yakni Kholid bin Zaid al-Anshari. Ketika istrinya bertanya mengenai berita yang beredar mengenai Aisyah r.a., Kholid bin Zaid al-Anshari menjawab bahwa itu merupakan kebohongan. Dia bertanya kepada istrinya apakah dia melakukan perbuatan tercela seperti itu, dan ketika istrinya menjawab tidak, dia menegaskan bahwa Aisyah lebih baik daripada mereka berdua, oleh karena itu Aisyah pasti terbebas dari tuduhan tersebut [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathīr, 591].
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq
Berbaik Sangka Sebagai Manifestasi Ketakwaan
Mengutip perkataan Syekh Izzuddin Abdussalam dalam menafsirkan ayat di atas, bahwa ketakwaan orang mukmin mencegah prasangka buruk, sebab ketakwaannya mampu melemahkan perbuatan fasik dan perbuatan durhaka [Syajārah al-Ma’ārif, 92]. Kekuatan takwa seorang mukmin mampu menjadi benteng yang kuat dalam mencegah perbuatan-perbuatan buruk, termasuk salah satunya berprasangka buruk.
Senada dengan penjelasan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah ketika menafsirkan surah an-Nur ayat 12. Berdasar ayat tersebut, disimpulkan bahwa konsekuensi keimanan adalah pembelaan terhadap kaum beriman, paling tidak pembelaan pasif dengan membantah berita kebohongan tersebut.
Ketakwaan seorang mukmin melemahkan dorongan untuk melakukan segala perbuatan yang dimurkai Allah, seperti menyebarkan berita bohong atau terlibat dalam gosip yang tak berdasar atas bukti yang jelas. Ketika seseorang bertakwa, hatinya dipenuhi dengan cahaya keimanan yang menghalangi segala bentuk kecurigaan dan buruk sangka terhadap saudara seiman, sebagaimana tercermin dalam perintah Allah untuk berbaik sangka dalam surah an-Nur ayat 12.
Dengan demikian, ketakwaan merupakan penggerak utama dalam menjaga seseorang dari terjebak fitnah. Sebab, orang bertakwa akan selalu mengedepankan kebenaran, memeriksa informasi yang diterima, dan tidak mudah terpedaya oleh berita bohong yang merusak persaudaraan, lebih-lebih terhadap sesama muslim. Inilah wujud manifestasi dari ketakwaan. Seorang mukmin yang bertakwa ditandai dengan selalu berbaik sangka kepada siapapun. Wallāhu A’lam.